Perppu Pemilu Bisa Lahirkan Persaingan antar-Parpol yang Tak Seimbang
Perppu Pemilu yang memberikan pilihan bagi parpol parlemen tak mengikuti undian nomor urut peserta pemilu, timbulkan persaingan tak seimbang. Untuk mengimbanginya dibutuhkan ruang adu gagasan.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum atau Perppu Pemilu menjadi batu uji bagi demokrasi Indonesia. Ketentuan yang memberikan pilihan bagi parpol parlemen memilih untuk menggunakan nomor urutnya saat Pemilu 2019 pada Pemilu 2024 dinilai diskriminatif dan dapat berimbas pada persaingan yang tak seimbang.
Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu Kaka Suminta mengatakan, penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Perppu Pemilu) tak sepenuhnya sesuai dengan prinsip untuk memenuhi kedaruratan dan kekosongan hukum. Selain mengakomodasi perubahan yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan pemilu di empat daerah otonom baru di Papua dan Papua Barat, perppu juga memberikan pilihan bagi parpol parlemen untuk menggunakan kembali nomor urutnya saat di Pemilu 2019 untuk digunakan pada Pemilu 2024 atau mengikuti undian yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sementara itu, parpol non parlemen dan parpol-parpol yang baru menjadi peserta Pemilu 2024 harus mengikuti pengundian untuk mendapatkan nomor urut.
Menurut Kaka, persoalan nomor urut parpol peserta pemilu bukan hal mendesak untuk dimasukkan ke dalam perppu. Tidak ada pula kekosongan hukum yang terjadi jika ketentuan tersebut tidak ada di perppu. “Hal itu justru memunculkan diskriminasi dan nuansa ketidakadilan, sehingga bisa menjadi beban untuk penyelenggaraan pemilu dan demokrasi,” ujar Kaka dihubungi dari Jakarta, Rabu (14/12/2022).
Ketentuan pada perppu tersebut membuat parpol peserta pemilu berada di level yang berbeda sejak awal. Ketidaksetaraan itu berpotensi mengganggu rasa keadilan, tidak hanya di kalangan parpol, tetapi juga pemilih. Padahal, prinsip keadilan semestinya dijunjung tinggi dalam perumusan regulasi pemilu. “Persoalan yang menyangkut rasa keadilan ini eksesnya bisa panjang, karena keadilan merupakan dasar dari kepercayaan publik,” kata Kaka.
Ketentuan pada perppu tersebut membuat parpol peserta pemilu berada di level yang berbeda sejak awal.
Oleh karena itu, tambahnya, kehadiran Perppu Pemilu menjadi batu uji yang lebih berat bagi demokrasi Indonesia. Proses demokratisasi yang sudah berjalan selama 24 tahun membutuhkan berbagai penyesuaian, tak hanya koreksi terhadap Perppu Pemilu, tetapi juga kinerja lembaga-lembaga terkait.
Ditemui terpisah, Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto mengakui, gagasan penggunaan nomor urut parpol sesuai dengan pemilu sebelumnya berasal dari partainya. Gagasan tersebut didasarkan atas prinsip efisiensi, penghematan atas penggunaan atribut parpol. Selain itu, langkah tersebut juga bisa memperkuat identitas kepartaian (party id) di hadapan masyarakat, karena simbol dan nomor urut parpol bisa lebih melekat di ingatan publik.
Tak hanya itu, PDI-P memiliki alasan ideologis untuk memertahankan angka tiga sebagai nomor urut. Hal itu terkait dengan identitas PDI-P di masa Orde Baru yang identik dengan istilah merah total dengan simbol "metal", juga konsep Trisakti Indonesia yang digagas Soekarno. “Maka kemudian PDI-P melakukan pendekatan dengan parpol lain, dan ternyata banyak yang setuju dengan alasan yang tidak jauh berbeda tentang pentingnya nomor urut yang sama,” ujar Hasto.
Hasto pun menolak anggapan bahwa ketentuan tentang nomor urut yang ada di Perppu Pemilu menghadirkan diskriminasi. Ia mengibaratkan parpol yang bisa mengikuti pemilu dengan seseorang yang berhasil lolos seleksi masuk perguruan tinggi. Jika ada hak istimewa yang didapatkan, itu bukan berasal dari kondisi yang tidak adil, melainkan didapatkan karena bisa memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
“Ini suatu peraturan yang sangat adil sebenarnya, karena untuk ikut serta dalam pemilu itu pun diuji melalui pemenuhan ketentuan yang ditetapkan undang-undang,” kata Hasto.
Serupa dengan PDI-P, sejumlah parpol juga memilih untuk menggunakan nomor urut saat Pemilu 2019 untuk Pemilu 2024, salah satunya Partai Golkar. Wakil Ketua Umum Golkar Nurul Arifin mengatakan, pihaknya mengikuti peraturan yang sudah dibuat karena tentu sudah didasarkan pada diskusi banyak pihak. “Semua nomor dan angka sama bagusnya, kita bisa membangun filosofi dari angka,” ujarnya.
Berbeda dengan PDI-P dan Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) justru memilih untuk mengikuti pengundian nomor dari KPU. Wakil Ketua Umum PPP Arsul Sani mengatakan, pilihan itu dipilih demi rasa keadilan antarparpol. “Bagi PPP, kalau diundi itu lebih memberikan rasa keadilan bagi semua parpol peserta pemilu,” katanya.
Ruang adu gagasan
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini memperkirakan, dengan telah ditetapkannya nomor urut parpol peserta pemilu, masing-masing parpol peserta pemilu akan mulai memanfaatkan media digital untuk mengoptimalkan sosialisasi. Walaupun, masa kampanye baru akan berlangsung pada 28 November 2023-10 Februari 2024.
Untuk itu, lanjutnya, dibutuhkan ruang-ruang alternatif untuk adu gagasan di antara para peserta pemilu. Hal ini, sangat dibutuhkan pemilih dalam menentukan pilihannya di Pemilu 2024 nanti. “Dengan demikian, pemilih memiliki kesempatan untuk mempertanyakan gagasan dan program yang dibawa para peserta pemilu,” ucapnya, dalam diskusi bertajuk "Membangun Ketangguhan Demokrasi Digital Menuju Pemilu 2024", Rabu (14/12).
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini memperkirakan, dengan telah ditetapkannya nomor urut parpol peserta pemilu, masing-masing parpol peserta pemilu akan mulai memanfaatkan media digital untuk mengoptimalkan sosialisasi.
Dalam diskusi itu, Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid juga menyampaikan, forum-forum warga perlu diperkuat untuk mendengarkan gagasan para peserta pemilu. Forum-forum ini bisa disiapkan di kelompok-kelompok masyarakat. “Harapannya, diskursus lebih didominasi ide, gagasan, dan program para peserta pemilu, bukan sekadar gimik politik,” ucapnya.
Kebutuhan adanya ruang adu gagasan itu, menurut Usman, dikarenakan para elite politik yang cenderung memilih jalan pintas melalui populisme. Akibatnya, medium-medium antara seperti keberadaan partai politik, media massa, dan organisasi masyarakat sipil seakan dihilangkan dalam membangun diskursus politik. Seorang pemimpin yang populis pun merasa dia menjadi jawaban atas segala hal dan cenderung menyalahkan semua, kecuali dirinya sendiri.
"Kenyataannya, dalam pemilu maupun dalam jalannya penyelenggaraan pemerintahan, partisipasi masyarakat sangat diperlukan," ucapnya.