Revisi UU IKN Berjalan Mulus meski Terindikasi Melanggar Aturan
Revisi UU IKN menjadi satu dari 39 RUU yang telah disepakati pemerintah dan DPR untuk masuk dalam Prolegnas 2023. Kesepakatan mulus diambil meski pemerintah belum menyerahkan naskah akademik dan draf revisi ke DPR.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
KURNIA YUNITA RAHAYU
Suasana rapat kerja Badan Legislasi DPR bersama pemerintah dan DPD di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (12/12/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah menyetujui revisi Undang-Undang Ibu Kota Negara masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2023 meski terindikasi melanggar peraturan perundang-undangan. Pengajuan rancangan undang-undang tidak disertai dengan naskah akademik sebagaimana dipersyaratkan dalam Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Tata Tertib DPR.
Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara atau RUU IKN menjadi satu dari 39 RUU yang telah disepakati pemerintah dan DPR untuk masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023. Kesepakatan yang dimaksud diambil dalam rapat kerja Badan Legislasi (Baleg) DPR dengan pemerintah dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (12/12/2022).
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly mengatakan, UU IKN membutuhkan beberapa revisi untuk memperkuat kesinambungan pembangunan IKN. Salah satunya terkait dengan pengadaan barang dan jasa. Hal lain juga menyangkut tentang penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk pembangunan IKN beserta mekanisme pertanggungjawabannya.
”Ada beberapa hal yang harus kami selesaikan dengan cepat, jadi (revisi UU IKN) itu penting,” kata Yasonna.
Akan tetapi, ia menampik anggapan bahwa kekurangan dalam UU IKN muncul karena pembahasan yang tergesa-gesa. Diberitakan sebelumnya, UU IKN dikritik karena pembahasannya hanya membutuhkan waktu 40 hari. UU yang disahkan dan diundangkan pada Februari lalu itu pun sudah memerlukan revisi sembilan bulan setelahnya.
Yasonna melanjutkan, revisi perlu dilakukan dalam waktu cepat sehingga pemerintah segera mengajukan RUU IKN untuk masuk ke Prolegnas Prioritas 2023. Adapun naskah akademik dan draf revisi yang dibutuhkan, menurut rencana, akan diserahkan pemerintah kepada pimpinan DPR pada awal 2023.
”Ini, kan, masih prolegnas. Kalau sudah masuk, kemungkinan nanti awal tahun depan, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas yang akan mengusulkan draf revisinya,” ujar Yasonna.
Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, RUU IKN telah disetujui untuk masuk dalam Prolegnas Prioritas 2023. Daftar RUU tersebut sudah final dan tidak akan diubah lagi. Ia pun membenarkan bahwa revisi UU IKN diusulkan tanpa naskah akademik dan draf RUU.
”Naskah akademik dan draf IKN diserahkan langsung oleh pemerintah kepada pimpinan DPR pada masa sidang berikut (awal 2023),” kata anggota DPR dari Fraksi Partai Gerindra ini.
KOMPAS/RENDRA SANJAYA
Foto udara Titik Nol IKN di Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Jumat (27/5/2022).
Padahal, mengacu Pasal 43 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP), RUU yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD harus disertai naskah akademik. Ketentuan itu sebagaimana diatur dalam Pasal 43 Ayat (4), tidak berlaku bagi RUU mengenai APBN, penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) menjadi UU, dan pencabutan UU atau pencabutan perppu.
Hal serupa disebutkan dalam Pasal 19 UU PPP yang mengatur lebih rinci mengenai prolegnas. Prolegnas memuat program pembentukan UU dengan judul RUU, materi yang diatur, dan keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan lain. Adapun materi yang diatur itu telah melalui pengkajian dan penyelarasan yang dituangkan dalam naskah akademik.
Tak hanya di UU PPP, kewajiban menyertakan naskah akademik dalam pengusulan RUU juga tercantum dalam Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib. Pasal 113 Ayat (6) mengatur bahwa RUU baik yang berasal dari DPR, Presiden, maupun DPD diajukan dengan disertai naskah akademik, kecuali RUU mengenai APBN, penetapan perppu menjadi UU, dan pencabutan UU atau pencabutan perppu.
Mengenai prolegnas, Pasal 117 Ayat (3) Tata Tertib DPR pun menyebutkan, penyusunan prolegnas prioritas tahunan harus memperhatikan tiga hal. Mulai dari pelaksanaan prolegnas prioritas tahunan tahun sebelumnya, tersusunnya naskah akademik, hingga tersusunnya naskah RUU.
Presiden Joko Widodo saat kemah di IKN Nusantara, Maret lalu.
Namun, Supratman tidak merespons ketika ditanyakan mengenai prosedur pengajuan RUU IKN yang tidak sesuai dengan UU PPP dan Tata Tertib DPR itu.
Ironis
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, melihat, revisi UU IKN ironis sejak awal. Sebab, UU tersebut sudah diajukan untuk diperbaiki hanya dalam waktu sembilan bulan setelah disahkan dan diundangkan. Hal itu menunjukkan betapa mudahnya UU diubah untuk mengadopsi keinginan terbaru pembentuk UU, bukan untuk mengakomodasi kebutuhan rakyat.
”Revisi ini juga mengonfirmasi penilaian publik bahwa penyusunan UU IKN sebelumnya dilakukan atas dasar prinsip asal cepat, asal selesai saja,” katanya.
Menurut Lucius, ini merupakan salah satu dampak dari kecenderungan pembentuk UU yang kerap melalaikan prinsip pembentukan UU sebagaimana diatur dalam UU PPP, yakni penyertaan naskah akademik. Naskah akademik penting sebagai acuan teoretis penyusunan RUU sehingga nantinya UU yang dihasilkan tidak berisi pasal-pasal yang dibuat sekadar untuk melegitimasi keinginan pemerintah atau DPR.
KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO
Peneliti Formappi, Lucius Karus
Lebih dari itu, ujar Lucius, langkah revisi UU IKN yang masuk dalam Prolegnas Prioritas 2023 tanpa naskah akademik memperlihatkan proses legislasi yang terindikasi melanggar peraturan perundang-undangan demi kepentingan tertentu.
”Bagi publik, pelanggaran seperti ini menjadi legitimasi untuk mempertanyakan produk-produk legislasi DPR. Ini jelas pendidikan politik soal penegakan hukum yang buruk dari DPR,” ujarnya.