Pengesahan RKUHP yang di dalamnya terdiri dari 624 pasal tinggal menanti persetujuan DPR. RKUHP diklaim telah melalui proses panjang untuk menggapai titik temu antara kepentingan individu, masyarakat, dan negara.
Oleh
NINA SUSILO, SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Meski sejumlah pasal dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) masih dinilai bermasalah oleh sejumlah pihak, pemerintah tidak akan membuka kembali ruang diskusi. RKUHP yang kini tinggal menanti persetujuan pengesahan oleh DPR diklaim telah menyerap masukan dari banyak pihak yang berbeda-beda kepentingan sehingga menjadikan RKUHP buah dari titik temu beragam kepentingan.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Ad Interim Tito Karnavian mengakui banyak materi di RKUHP yang diperdebatkan, tetapi sejumlah isu sudah disepakati. ”Sejumlah masalah sudah disepakati dan sudah dikoordinasikan untuk mencari titik temu keseimbangan antara kepentingan individual, kepentingan masyarakat, dan juga negara,” ucapnya seusai rapat tertutup membahas RKUHP yang dipimpin Presiden Joko Widodo di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (28/11/2022).
Tito yang menjabat Menteri Dalam Negeri untuk sementara menjabat Menko Polhukam Ad Interim karena Mahfud MD sedang lawatan ke luar negeri. Selain Tito, rapat dihadiri pula oleh Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej serta anggota Tim Ahli dan Sosialisasi RKUHP yang juga Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Prof Marcus Priyo Gunarto.
Edward menjelaskan, dalam penyusunan RKUHP, pemerintah telah mengakomodasi masukan dari DPR dan kelompok masyarakat sipil, salah satunya dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).
Beberapa pasal yang diperbaiki setelah menerima masukan seperti pasal yang mengatur soal hukum yang hidup di masyarakat dan pidana mati. Fraksi-fraksi di DPR meminta pedoman penyusunan peraturan daerah terkait hukum yang hidup di masyarakat diatur dalam bentuk peraturan pemerintah. Adapun menyangkut pidana mati, tetap tertera dalam RKUHP tetapi nantinya dijatuhkan secara alternatif dengan percobaan.
”Jika dengan jangka 10 tahun terpidana berkelakuan baik, pidana mati diubah pidana seumur hidup, atau pidana 20 tahun,” katanya.
Selain itu, pasal penghinaan terhadap kekuasaan umum dihapuskan. Namun, di Pasal 240 RKUHP ditambahkan terkait penghinaan terhadap pemerintah yang dibatasi pada lembaga kepresidenan. Kemudian, penghinaan terhadap lembaga negara yang terbatas pada legislatif, yaitu DPR, MPR, dan DPD, sedangkan penghinaan terhadap yudikatif dibatasi untuk MA dan MK. Semua penghinaan tersebut, delik aduan.
Definisi yang membedakan penghinaan dan kritik juga dicantumkan dalam penjelasan pasal tersebut. Perbedaan definisi diambil dari UU Pokok Pers yang menegaskan bahwa dalam satu negara demokrasi, kritik itu diperlukan sebagai kontrol sosial. Karena ada penjelasan rinci, menurut Edward, pasal-pasal yang dikhawatirkan tidak akan menjadi pasal karet.
Selain itu, pasal-pasal pencemaran nama baik dan penghinaan yang tertera dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) telah diputuskan untuk dihapus dalam RKUHP.
”Karena teman-teman, terutama media, selalu mengkritik aparat penegak hukum menggunakan UU ITE untuk melakukan penangkapan dan penahanan, untuk tidak terjadi disparitas dan gap, maka ketentuan di dalam UU ITE kami masukan ke RKUHP, tentunya dengan penyesuaian-penyesuaian dan dengan sendirinya mencabut ketentuan pidana, khususnya Pasal 27 dan 28 di UU ITE,” katanya.
Marcus menambahkan, dengan beberapa pasal yang dihapus, RKUHP yang semula 628 pasal menjadi 624 pasal yang terbagi dalam 43 bab.
Adapun menyangkut waktu persetujuan pengesahan tingkat II RKUHP oleh DPR dalam Rapat Paripurna DPR, Edward menyerahkannya kepada DPR untuk memutuskannya. Namun, tak ada diskusi lagi karena persetujuan tingkat I sudah dicapai pada 24 November lalu.
Untuk diketahui, sejumlah pasal dalam RKUHP yang masih dikritisi sebagian kalangan di publik, seperti pasal tentang hukum yang hidup di masyarakat; pidana mati; perampasan aset untuk denda individu; penghinaan presiden, lembaga negara, pemerintah, dan lembaga peradilan; unjuk rasa tanpa pemberitahuan; edukasi kontrasepsi; kesusilaan; tindak pidana agama; dan larangan penyebaran marxisme, leninisme, dan paham lain yang bertentangan dengan Pancasila.
Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu mengakui sejumlah masukan telah diakomodasi. Namun, masih banyak pasal bermasalah yang juga dituntut agar dicabut dari RKUHP tetapi tak dikabulkan, seperti pasal terkait unjuk rasa, perampasan aset untuk denda, dan larangan menyebarkan paham lain yang dianggap bertentangan dengan Pancasila.
Adapun menurut pengajar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada, Herlambang Perdana, pasal penghinaan presiden, lembaga negara, dan pemerintah seharusnya tidak perlu diatur lagi. Banyak negara demokrasi yang sudah menghapus pasal-pasal itu karena tak relevan lagi.
Menyangkut pasal perampasan aset untuk denda, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Julius Ibrani dalam siaran persnya mengungkapkan, hukuman kumulatif berupa denda di Pasal 81 dan 82 RKUHP berpotensi akan semakin memiskinkan rakyat miskin dan memperkuat penguasa.