RKUHP: Denda Tak Dibayar, Kekayaan Terpidana Bisa Disita
Aliansi Nasional Reformasi KUHP meminta ketentuan soal denda di RKUHP ditinjau ulang. Penyitaan aset atau harta kekayaan diharapkan hanya diberlakukan terhadap korporasi.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang sudah disetujui disahkan di tingkat I oleh Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat dengan pemerintah mengatur ancaman penyitaan harta kekayaan senilai denda yang dijatuhkan hakim jika dalam waktu yang tidak ditentukan pidana denda tersebut tidak dibayar. Sejumlah kalangan menilai ketentuan tersebut bisa menimbulkan masalah sosial karena membuat rakyat miskin yang menjadi terpidana kian miskin.
Negara diharapkan tidak mengambil keuntungan/uang dari rakyat tak mampu. Aliansi Nasional Reformasi KUHP meminta ketentuan tersebut ditinjau ulang. Penyitaan aset/harta kekayaan diharapkan hanya diberlakukan terhadap korporasi.
Namun, suara masyarakat sipil tersebut tidak seragam. Sebagian pihak menilai bahwa rumusan penggantian denda di dalam RKUHP sudah memberikan ”emergency exit” bagi terpidana yang tidak mampu secara ekonomi. Apabila denda tidak dibayar atau tidak mampu dibayarkan, pidana alternatif, baik berupa pidana penjara, pidana pengawasan, maupun pidana kerja sosial dalam waktu tertentu, bisa dijatuhkan.
”Berdasarkan Pasal 82 RKUHP, soal kemampuan dan ketidakmampuan seorang terdakwa membayar denda dinilai oleh hakim. Jika tidak dimungkinkan untuk membayar denda, dapat diganti dengan pidana lain,” kata Gatot Goei, Direktur Program Center for Detention Studies (CDS), saat dihubungi, Senin (28/11/2022).
Sebelumnya, sejumlah organisasi nonpemerintah, seperti YLBHI, LBH Jakarta, Amnesty International Indonesia, Greenpeace Indonesia, Trend Asia, LBH Masyarakat, Yifos Indonesia, dan PBHI masih keberatan dengan sejumlah pasal di RKUHP. Di antaranya, pasal tentang hukum yang hidup di masyarakat, pidana mati, perampasan aset untuk denda individu, penghinaan presiden, penghinaan lembaga negara dan pemerintah, penghinaan terhadap lembaga peradilan, unjuk rasa tanpa pemberitahuan, edukasi kontrasepsi, kesusilaan, tindak pidana agama, dan larangan penyebaran marxisme, leninisme, dan paham lain yang bertentangan dengan Pancasila.
Khusus mengenai pasal perampasan aset untuk denda individu, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Julius Ibrani dalam siaran persnya mengungkapkan, hukuman kumulatif berupa denda akan semakin memiskinkan rakyat miskin dan memperkuat penguasa. Metode hukuman kumulatif tersebut merupakan metode yang sangat kolonial dan hanya menjadi ruang bagi negara untuk memeras atau mencari uang dari rakyat.
Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu saat rapat dengar pendapat umum dengan Komisi III DPR pada 14 November mengatakan, jika perampasan aset diterapkan untuk terpidana yang tidak mampu membayar denda, yang timbul bukan hanya masalah pidana, melainkan juga masalah sosial. Pihaknya mengusulkan perampasan aset jika pidana denda tak dibayar untuk terpidana individu harus dihilangkan; dan ketentuan ini khusus untuk korporasi saja.
”Kepada individu hanya dimungkinkan dua kondisi, pembayaran uang pengganti dan pembayaran restitusi. Untuk denda, diharapkan tidak karena ini bisa menimbulkan kemiskinan dan lain-lain,” ujarnya.
Pengaturan pidana denda lebih detail diatur dalam Pasal 79 RKUHP, di mana denda dibagi ke dalam delapan kategori. Kategori pertama paling ringan, yakni denda Rp 1 juta, dan kategori kedelapan paling berat, denda hingga Rp 50 miliar.
Pasal 81 RKUHP mengatur, pidana denda wajib dibayar dalam jangka waktu tertentu dan bisa dilakukan dengan cara mengangsur. Apabila pidana denda tidak dibayarkan dalam jangka waktu yang telah ditentukan, kekayaan atau pendapatan terpidana dapat disita dan dilelang oleh jaksa untuk melunasinya.
Pasal 82 RKUHP mengatur lebih lanjut mengenai hal tersebut. Apabila penyitaan dan pelelangan kekayaan atau pendapatan tersebut tidak cukup atau tidak memungkinkan untuk dilaksanakan, pidana denda yang tidak dibayar itu diganti pidana penjara, pidana pengawasan, atau kerja sosial.
Ketentuan mengenai denda di dalam RKUHP ini berbeda dengan KUHP yang berlaku saat ini. Pada Pasal 30 KUHP diatur, jika pidana denda tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan. Mengenai lamanya kurungan ditetapkan dalam putusan hakim.
Wakil Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradin) Boyamin Saiman mengungkapkan, pihaknya melihat semangat di dalam Pasal 81 dan 82 RKUHP tersebut agar penjara tidak penuh dengan para pelaku pelanggaran. Apabila pidana denda disubsiderkan dengan pidana kurungan, lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan yang saat ini sudah kelebihan penghuni (overcrowding) akan bertambah berat bebannya.
”Saya memaklumi semangatnya. Kalau (terpidana) tidak punya harta beneran, tidak mungkin disita beneran. Nanti diganti kerja sosial,” ujarnya. Hanya saja, ia mengungkapkan bahwa penerapan pasal tersebut nantinya memang sangat bergantung pada kebijaksanaan hakim.
Ia juga melihat bahwa ancaman penyitaan kekayaan atau penghasilan lebih dimaksudkan sebagai pemicu agar para terpidana lebih tertib dalam membayar denda. Sebab, bagaimanapun juga, denda yang dibayarkan menjadi salah satu pemasukan negara, seperti misalnya denda tilang/pelanggaran lalu lintas.
Sementara itu, Gatot mengingatkan, selain KUHP, hakim di dalam memeriksa dan mengadili perkara akan mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). KUHAP mengatur bahwa jangka waktu yang ditetapkan hakim untuk membayar denda bisa diperpanjang kembali dalam waktu satu bulan.
Menurut Gatot, praktik yang terjadi saat ini, para terpidana langsung menjalani hukuman subsider mereka. Misalnya, untuk kasus narkotika, denda maksimal yang diberikan kepada terpidana mencapai Rp 1 miliar. Pada praktiknya, majelis hakim menjatuhkan pidana denda antara Rp 600 juta dan Rp 800 juta.
”Ketentuan sekarang, denda bisa jadi subsider dan uang pengganti diganti pidana penjara. Praktik sekarang masuk dalam subsider. Kasus narkotika kebanyakan menjalankan subsider,” katanya.