Persetujuan pengesahan RKUHP di tingkat I diwarnai catatan dari Fraksi Partai Demokrat dan PKS. Di luar DPR, sejumlah pihak masih keberatan dengan beberapa pasal di RKUHP.
Oleh
REBIYYAH SALASAH
·3 menit baca
REBIYYAH SALASAH
Sejumlah fraksi Komisi III DPR berpose dengan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy Omar Sharif Hiariej seusai menyetujui pengesahan RKUHP dalam pembahasan tingkat I, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamsi (24/11/2022).
JAKARTA, KOMPAS - Persetujuan pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP tinggal selangkah lagi setelah pemerintah bersama Komisi III DPR menyetujui pengesahan rancangan UU tersebut. Pengesahan RKUHP dinilai dapat menjadi peletak dasar bangunan sistem hukum pidana sebagai perwujudan keinginan dekolonisasi KUHP warisan kolonial Belanda, meski di sisi lain, tak sedikit yang masih keberatan dengan sejumlah norma di dalamnya.
Pengesahan RKUHP di tingkat I antara Komisi III DPR dan pemerintah disetujui dalam rapat kerja di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (24/11/2022). Sembilan fraksi menyetujui pengesahan meski dua fraksi di antaranya, yakni Fraksi Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), memberikan catatan.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Demokrat, Hinca Panjaitan, menyampaikan, fraksinya meminta penerapan KUHP nantinya mengedepankan keadilan restoratif guna mengurangi kapasitas berlebih di lembaga pemasyarakatan. Pemerintah juga wajib menjamin implementasi KUHP tidak akan mengkriminalisasi masyarakat.
Sementara itu, Fraksi PKS meski menyetujui pengesahan RKUHP, mereka menolak sejumlah ketentuan dalam RKUHP karena dinilai bertentangan dengan demokrasi, di antaranya norma penghinaan terhadap presiden dan lembaga negara. ”Delik-delik itu dirasakan kental dengan semangat feodalisme dan kolonialisme yang sejatinya ingin direformasi dari KUHP yang lama,” kata anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKS, Achmad Dimyati Natakusumah.
Suasana rapat kerja Komisi III DPR bersama Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej untuk membahas Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (24/11/2022).
Sebaliknya, anggota Komisi III dari Fraksi Golkar, Supriansa, menilai pemerintah sudah mengakomodasi masukan publik, termasuk dari Fraksi Golkar, dalam RKUHP. RKUHP pun dinilainya mendesak untuk segera disahkan sebagai upaya penegakan hukum yang berkeadilan dan pembangunan sistem hukum nasional.
Hasil paling optimal
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Nasdem, Taufik Basari, menilai telah banyak perubahan positif dalam RKUHP jika dibandingkan dengan draf RKUHP yang telah disetujui disahkan di tingkat I oleh pemerintah dan DPR periode 2014-2019.
”Ini adalah hasil paling optimal yang bisa kita raih melalui proses perjalanan yang panjang dengan perdebatan, pertarungan ide dan pikiran yang mewarnai proses yang kita lalui bersama ini,” ujarnya.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy Omar Sharif Hiariej berharap, RKUHP dapat segera disetujui pengesahannya di tingkat II atau Rapat Raripurna DPR sebelum kelak disahkan oleh Presiden. ”Disetujuinya UU ini dapat menjadi peletak dasar bangunan sistem hukum pidana sebagai perwujudan dari keinginan dekolonisasi KUHP peninggalan warisan kolonial, demokratisasi hukum pidana, konsolidasi hukum pidana, adaptasi, dan harmonisasi terhadap perkembangan hukum yang terjadi,” tutur Eddy.
Sepuluh fraksi di DPR menyepakati RKUHP bersama-sama dengan pemerintah dalam pengesahan tingkat pertama pada rapat kerja antara Komisi III dan Kemenkumham di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (18/9/2019). Persetujuan pengesahan RKUHP di tingkat II atau rapat paripurna DPR urung digelar menyusul unjuk rasa menolak RKUHP terjadi di berbagai daerah.
Reformulasi pasal
Persetujuan pengesahan RKUHP ini setelah pemerintah memaparkan hasil reformulasi sejumlah pasal dengan berbasis pada usulan setiap fraksi. Pasal yang berubah seperti pasal yang mengatur penghinaan terhadap pemerintah dan pasal yang bisa mencegah rekayasa kasus. Setelah dipaparkan, Komisi III kembali memberikan masukan. Sebagian besar masukan diterima oleh pemerintah.
Meski RKUHP telah disetujui untuk disahkan, sejumlah pihak masih keberatan dengan beberapa norma di dalamnya. Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter, misalnya, mengkritisi masih adanya pengaturan delik korupsi di RKUHP. ”Kalau kemungkinan terburuk RKUHP ini disahkan, opsinya ya uji materi ke MK. Itu yang bisa dilakukan,” katanya.
Sementara itu, Aliansi BEM se-Universitas Indonesia dalam siaran persnya mendesak Presiden menunda pengesahan RKUHP hingga tak ada lagi pasal bermasalah. Pasal bermasalah itu seperti ancaman penjara dan denda bagi unjuk rasa tanpa pemberitahuan serta pasal penyerangan kehormatan presiden/wakil presiden.