Sunyinya Pembicaraan Capres di Masyarakat Adat
Berada di tengah masyarakat adat, terasa sunyi dari pembicaraan capres yang riuh belakangan ini. Sikap skeptis, kiranya, menyelimuti masyarakat adat terhadap pemilu.
Ilu ka nu meunang yang berarti ikut siapa pun yang menang. Demikian prinsip yang dipegang masyarakat Baduy dalam berbagai pemilihan umum, termasuk Pemilu 2024 mendatang. ”Prinsip itu dipegang masyarakat Baduy kerena tak ingin terbelah akibat beda pilihan politik,” ucap Sarpin, warga Baduy Luar yang juga menjabat Kepala Seksi Pemerintahan Desa Kanekes, akhir Oktober lalu.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Tak heran, riuhnya pembicaraan pencalonan presiden belakangan ini tidak dirasakan di Desa Kanekes, tempat warga suku Baduy bermukim, sekalipun itu hanya bendera partai politik. Walakin, desa di Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten itu hanya 140 km dari Jakarta, episentrum berbagai partai politik bermanuver mencari dukungan menghadapi Pemilu 2024 untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR, anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota, serta anggota DPD.
Padahal, Desa Kanekes yang didiami 13.000 jiwa itu separuh warganya berusia 17 tahun ke atas, syarat warga menggunakan hak pilih dalam pemilu. Dari segi kuantitas, tentunya ini ceruk menjanjikan bagi setiap parpol dalam mendulang suara.
Adanya sikap ilu ka nu meunang itu, diakui Sarpin, membuat ia tidak bisa memaksa warga datang ke tempat pemungutan suara (TPS) untuk menggunakan hak politiknya. Selain itu, lanjutnya, pemilu masih sulit diikuti karena tingkat buta huruf masyarakat Baduy masih tinggi. Sebab, ada tradisi di Baduy yang tidak memperbolehkan warganya bersekolah formal.
Hampir semua masyarakat Baduy juga tidak terbiasa mengisi formulir yang jumlahnya sangat banyak seperti pada pelaksanaan pemilu. Kondisi ini menyulitkan untuk mendapatkan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di tiap TPS.
”Pada pemilu yang lalu, ada tiga TPS di dalam permukiman masyarakat Baduy. Sebagian petugasnya direkrut dari luar wilayah Baduy,” ucapnya.
Baca Juga: Ikhtiar Politik Masyarakat Adat di Panggung Elektoral 2024
Sebatas janji
Bagi warga suku yang hidup seminomaden seperti warga suku Laut di Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau, hanya di saat pemilu tempat tinggal mereka ramai dikunjungi tim sukses. Lepas dari momen itu, hanya segelintir peneliti dan jurnalis yang menjumpai mereka.
Desa Tajur Biru, Kecamatan Temiang Pesisir, yang didiami sedikitnya 17 keluarga suku Laut ini, contohnya, sangat jarang dikunjungi orang dari luar. Desa ini merupakan salah satu dari 44 kelompok suku Laut yang hidup tersebar Kepri dengan total populasi 12.800 jiwa.
”Kalau mau ada pemilihan, baru ramai orang ke sini. Mereka bawa kaus, kalender, dan topi yang ada gambar-gambar (calonnya),” kata Ida, anak ketua kelompok suku Laut, awal November lalu.
Setelah pemilu usai, janji-janji para pasangan calon itu tak kunjung terwujud, hilang bersama angin laut.
Ida, perempuan berusia sekitar 30 tahun ini, mengungkapkan, pada Pemilu 2019, tim sukses dari para peserta pemilu sering berdiskusi untuk mendengarkan keluhan warga suku Laut. Mereka berjanji calon yang diusungnya akan menghadirkan solusi untuk masalah-masalah yang dialami suku Laut. ”Ada yang janji mau bangun rumah, ada yang bilang mau bikin toilet, dan ada juga yang ngomong mau pasang listrik. Kami percaya dan dulu semua (warga) datang nyoblos,” ujar Ida.
Namun, setelah pemilu usai, janji-janji para pasangan calon itu tak kunjung terwujud, hilang bersama angin laut. Hingga kini, warga suku Laut di Tajur Biru masih hidup dalam gelap gulita di rumah panggung kayu yang lapuk. ”Kalau kami inginnya itu pejabat sering-sering ke sini, jangan cuma waktu mau pemilihan saja. Hidup kami ini susah, ikan semakin sedikit dan cari kerja di darat pun enggak dapat,” ucapnya.
Bahkan, Tinong, warga suku Laut di Pulau Linau, Kecamatan Lingga Utara, tak berharap banyak pada pemilu. Ia hanya meminta kepada pemimpin yang terpilih lewat pemilu nanti agar wilayah adat suku Laut yang menjadi tempat hidupnya tak dieksploitasi sebagai tambang pasir sehingga ia tetap bisa memperoleh ikan untuk makan sehari-hari. ”Banyak suku Laut jadi lapar karena sulit cari ikan. Di mana-mana laut rusak karena tambang pasir. Kami ingin pemimpin yang baru nanti supaya jangan kasih izin lagi untuk tambang pasir di laut tempat suku Laut cari ikan,” kata Tinong.
Baca Juga: ”Demokrasi Pemirsa”: Membaca Tontonan Politik Menjelang 2024
Kekecewaan
Bagi sejumlah kelompok masyarakat adat Dayak, membicarakan pemilu sama dengan membicarakan kekecewaan. Petrus Tampang (60), Temanggung Taman Kapuas dari Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, yang ditemui awal November, menuturkan, dengan pemilu masyarakat belajar demokrasi. Namun, sayangnya para kandidat yang ikut dalam pemilu hanya datang kepada masyarakat saat ingin mendulang suara. Setelah pemilu, pemimpin terpilih sudah lupa.
”Setelah para calon terpilih menjadi pemimpin, sulit bagi kami menyampaikan aspirasi. Bahkan, sekadar berjumpa untuk bertanya mengenai pembangunan pun sulit,” kata Petrus.
Yustinus (71), Temanggung Pompakng, Kabupaten Sanggau, Kalbar, menuturkan, pemilu penting karena kita harus memilih perwakilan dan pemimpin. Namun, pengakuan hak-hak masyarakat adat masih belum terakomodasi.
”Dalam pemilu kedepan, diharapkan siapa yang terpilih bisa melindungi hak-hak masyarakat adat,” ujarnya.
Catatan Kompas, warga satu TPS pada salah satu dusun di Kalbar pernah tak menggunakan hak suaranya atau golput lantaran kecewa aspirasi mereka tidak direspons pemerintah. Pada Pemilu 2020, warga TPS 01, Dusun Geruguk, Kecamatan Empanang, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalbar, perbatasan Indonesia-Malaysia, golput karena desa mereka tidak kunjung dialiri listrik kala itu.
Di TPS tersebut kala itu ada 87 pemilih. Panitia Pemilihan Kecamatan, Pengawas Kecamatan, dan lainnya telah berusaha membujuk warga agar menggunakan hak pilihnya, tetapi warga tetap tidak mau mencoblos.
Sikap yang ditunjukkan masyarakat adat itu, menurut Staf Direktorat Perluasan Partisipasi Politik Masyarakat Adat Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PB AMAN) Yayan Hidayat, merefleksikan sikap skeptis mereka terhadap sistem. Seperti halnya sistem pemilu, one man one vote atau satu orang satu suara itu bisa memicu keterbelahan politik. Hal itu tak selaras dengan cara hidup masyarakat adat seperti halnya pada orang Baduy.
”Mereka terbiasa dalam pengambilan keputusan dirumuskan secara bersama. Nah, rasa skeptis itu muncul ketika sistem yang ada, one man one vote, bertentangan dengan tradisi mereka,” ucap Yayan.
Baca Juga: Perlindungan terhadap Masyarakat Adat Masih Lemah
Selain itu, menurut Yayan, masyarakat adat juga merasa bahwa mereka hanya diperhitungkan dalam ranah elektoral menjelang pemilu, tetapi ditinggalkan seusai pergelaran pemilu. Hal ini terbukti dari tidak kunjung dituntaskannya Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat. Sejak tahun 2007, RUU itu selalu masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR, tetapi selalu gagal untuk didorong menjadi UU.
Bahkan, sebelum pemilu, janji untuk melindungi dan memajukan masyarakat adat ini juga masuk dalam program Nawacita Presiden Joko Widodo. Namun, hingga saat ini, implementasinya tidak ada. ”Nah, itu gambaran yang paling sederhana saja untuk melihat bahwa, ya, memang komunitas-komunitas masyarakat adat itu dihitung pada saat elektoral saja, tetapi pada saat pengambilan keputusan pasca-elektoral justru ditinggalkan. Itu contoh sederhana pula bagaimana representasi yang dipilih oleh masyarakat adat, baik eksekutif maupun legislatif, ternyata tidak sepenuhnya memperjuangkan kepentingan masyarakat adat,” tutur Yayan.
Masyarakat adat juga merasa bahwa mereka hanya diperhitungkan dalam ranah elektoral menjelang pemilu, tetapi ditinggalkan seusai pergelaran pemilu.
Karena itu, untuk mencari jalan keluarnya, sejak 2014, AMAN terus mendorong Komisi Pemilihan Umum agar merekognisi mekanisme pengambilan keputusan di komunitas masyarakat adat, seperti menggunakan noken. Nokendinilai sebagai pilihan yang tepat sebagai perantara antara sistem one man one vote dan sistem musyawarah yang berlaku di komunitas. ”Noken, kan, perantaranya saja, tetapi di balik itu, kan, ada musyawarah adat secara kolektif,” katanya.
Anggota KPU, Idham Holik, mengatakan, kunci agar masyarakat adat bisa terlibat dalam pemilu ada pada kemampuan anggota KPU di daerah menjalin komunikasi yang persuasif. Upaya itu yang tengah dilakukan KPU agar sosialisasi dan pendidikan pemilih di masyarakat adat berjalan lancar.
Idham menyampaikan, KPU di daerah memang perlu memahami karakteristik masyarakat adat yang pada umumnya mengedepankan keharmonisan sosial. Tidak heran jika mereka tidak mengalami kegaduhan akibat perbedaan politik dan isu-isu politik, serta pertentangan wacana berkaitan dengan isu-isu kampanye. ”Dengan memahami kondisi tersebut, KPU dapat fokus mendorong masyarakat adat menggunakan hak pilihnya. Yang terpenting adalah bagaimana mereka juga memiliki otonomi terhadap keputusan elektoral mereka sendiri,” ujarnya.
Selain KPU di daerah, menurut Idham, tugas menyampaikan informasi kepemiluan kepada masyarakat adat juga perlu disampaikan oleh parpol. Dia mendorong parpol turut meningkatkan literasi elektoral masyarakat adat. ”Sebab, tidak banyak parpol yang berkampanye ke masyarakat adat dan membawa rancangan program khusus masyarakat adat. Saya berharap parpol ataupun calon legislatif tidak hanya berorientasi pada jumlah pasar pemilih yang besar saja, tapi juga dapat memperhatikan kepentingan masyarakat adat yang secara statistik populasi pemilih tidak besar,” tutur Idham.