Masukan Perbaikan di Luar 14 Isu Krusial RKUHP Diakomodasi
Meski pemerintah sebelumnya menyatakan akan membatasi sosialisasi dan diskusi pada 14 isu krusial yang telah ditetapkan, tetapi dari 19 pasal yang disorot ada beberapa yang tak masuk dalam kluster isu versi pemerintah.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
Suasana rapat kerja Komisi III DPR dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (3/10/2022). Rapat membahas soal hasil sosialisasi RKUHP ke berbagai elemen masyarakat, salah satunya Dewan Pers.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menerima masukan dari Dewan Pers terhadap 19 pasal yang dianggap bermasalah dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dari sejumlah masukan tersebut, saran terkait 12 pasal diakomodasi untuk masuk pada bagian penjelasan atau reformulasi pasal yang terkait dengan kebebasan pers.
Sejumlah perbaikan yang diterima berdasarkan saran berbagai elemen masyarakat diminta untuk dijadikan bahan perbaikan draf RKUHP. Draf yang dimaksud akan kembali dibahas di Komisi III DPR dan ditargetkan tuntas pada Masa Sidang II Tahun Sidang 2022/2023.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward OS Hiariej dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR di Jakarta, Senin (3/10/2022), memaparkan hasil sosialisasi Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) ke Dewan Pers. Sosialisasi yang dimaksud menindaklanjuti permintaan Presiden Joko Widodo untuk membuka ruang partisipasi publik dari semua kalangan sebelum RKUHP disahkan.
Edward menjelaskan, total terdapat 19 pasal yang menjadi sorotan Dewan Pers karena dinilai terkait dengan jaminan kebebasan pers. Meski pemerintah sebelumnya menyatakan akan membatasi sosialisasi dan diskusi pada 14 isu krusial yang telah ditetapkan, tetapi kenyataannya dari 19 pasal yang disorot itu ada beberapa yang tidak masuk dalam kluster isu krusial versi pemerintah.
Namun, dari seluruh masukan tidak semua bisa diakomodasi. ”Usulan dari masyarakat kami bagi menjadi tiga kategori, yakni setuju untuk ditambahkan ke bagian penjelasan, setuju untuk mereformulasi pasal, dan menolak dengan argumentasi yang valid,” kata Edward.
Ia menjelaskan, sejumlah usulan perbaikan pasal yang diterima di antaranya terkait Pasal 218-219 tentang penyerangan kehormatan presiden dan wakil presiden, Pasal 246, 247, dan 248 tentang penghasutan untuk melawan penguasa umum, Pasal 280 tentang gangguan dan penyesatan proses peradilan.
Selain itu, Pasal 302 tentang tindak pidana terhadap agama dan kepercayaan, Pasal 303 tentang tindak pidana terhadap agama dan kepercayaan dengan sarana teknologi informasi, Pasal 351 tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara. Juga Pasal 437, 443, dan 440 tentang penghinaan.
Adapun usulan yang ditolak adalah terkait dengan Pasal 188 Ayat (2) tentang penyebaran ajaran komunisme/marxisme-leninisme, Pasal 188 Ayat (6) tentang pengecualian terhadap penyebaran ajaran komunisme/marxisme-leninisme, dan Pasal 240 dan 241 tentang penghinaan terhadap pemerintah.
Usulan lain yang juga ditolak adalah terkait Pasal 263 tentang penyiaran atau penyebarluasan berita atau pemberitahuan bohong, Pasal 264 tentang menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebihan, atau tidak lengkap, serta Pasal 304 tentang menghasut seseorang menjadi tidak beragama atau berkepercayaan.
Edward menambahkan, selain dari Dewan Pers, pihaknya juga menerima masukan dari elemen masyarakat lain, salah satunya organisasi non-pemerintah yang bergiat pada isu hukum pidana, yakni Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Sama halnya dengan usulan dari Dewan Pers, masukan dari ICJR juga dikelompokkan ke dalam tiga kategori.
Menanggapi hasil sosialisasi tersebut, Komisi III sepakat untuk meminta pemerintah menjadikannya sebagai bahan untuk merevisi draf RKUHP. Draf hasil revisi yang sudah menyertakan berbagai masukan publik itu nantinya yang akan digunakan dalam pembahasan pada masa sidang berikutnya. Sebab, DPR akan memasuki masa reses pada 5 Oktober dan baru kembali menggelar persidangan sebulan setelahnya.
Partisipasi bermakna
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Habiburokhman, mengatakan, meski masih banyak masukan publik yang harus diperhatikan, hal itu harus dituntaskan secepatnya. Sebab, baik pemerintah maupun Komisi III menargetkan agar RKUHP bisa segera disahkan.
”Prinsipnya, masa sidang depan (RKUHP) harus kita ketok,” kata Habiburokhman.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Taufik Basari, sepakat, target waktu untuk menyelesaikan pembahasan RKUHP harus ditetapkan, yakni masa sidang berikutnya. Namun, ia juga mengusulkan agar waktu pembahasan selama satu masa sidang yang tersisa nantinya bisa dioptimalkan tidak hanya untuk memperbaiki berbagai kesalahan, tetapi juga tetap membuka ruang partisipasi publik.
Partisipasi yang dimaksud juga bukan sekadar melalui penyampaian saran ke Komisi III, tetapi bisa juga melalui berbagai diskusi publik di berbagai tempat. ”Ruang itu harus tetap kita buka untuk memastikan bahwa prinsip partisipasi bermakna dilaksanakan secara konkret sehingga RKUHP tidak dikesankan hanya milik DPR dan pemerintah, tetapi milik semua orang,” kata Taufik.
Selain tetap membuka ruang partisipasi, kata Taufik, diperlukan pula simulasi untuk sejumlah pasal yang menjadi kontroversi di masyarakat. Hasil simulasi nantinya dijadikan sebagai memorie van toelichting atau risalah yang berisi penjelasan latar belakang rumusan pasal dalam perumusan undang-undang. Selain itu, dibutuhkan pula harmonisasi RKUHP dengan undang-undang lain yang mengandung ketentuan pidana.