Gerilya ke Fraksi-fraksi DPR, Dewan Pers Beri Masukan untuk RKUHP
Setelah pekan lalu menemui Fraksi Partai Gerindra, hari ini Dewan Pers beraudiensi dengan Fraksi PDI-P DPR. Dalam audiensi itu, Dewan Pers memberikan masukan terkait sejumlah pasal dalam RKUHP.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Pers gencar bergerilya menemui fraksi-fraksi DPR untuk memberikan masukan terkait Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP. DPR diharapkan dapat menyempurnakan draf RKUHP yang masih memuat pasal-pasal multitafsir dan berpotensi mengganggu kebebasan pers.
Salah satu fraksi yang ditemui Dewan Pers pada Senin (8/8/2022) adalah Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP). Pertemuan yang digelar tertutup di Kompleks Parlemen, Jakarta, itu berlangsung sekitar satu jam.
Dari Dewan Pers, hadir di antaranya Ketua Dewan Pers Azyumardi Azra dan Ketua Bidang Hukum Dewan Pers Arif Zulkifli. Adapun dari F-PDIP, hadir anggota Komisi III DPR Ichsan Soelistio dan Johan Budi Sapto Pribowo.
Sebelumnya, pada Jumat (5/8/2022), Dewan Pers telah beraudiensi ke Fraksi Partai Gerindra. Dalam kesempatan tersebut, rombongan Dewan Pers diterima oleh anggota Komisi III DPR dari Fraksi Gerindra Habiburokhman.
Ketua Dewan Pers Azyumardi Azra mengatakan, selain dua fraksi itu, Dewan Pers juga mengagendakan untuk berkunjung ke fraksi-fraksi lain, salah satunya Fraksi Partai Nasdem. Menurut rencana, audiensi dengan Fraksi Nasdem akan dilakukan pada Jumat (12/8/2022).
”Kami tidak menolak RKUHP. Kami hanya ingin memberikan beberapa penyempurnaan perbaikan dari pasal-pasal yang terkait, terutama dengan pers, dengan kebebasan pers,” ujar Azyumardi.
Dewan Pers melihat, beberapa pasal yang diusulkan diatur dalam RKUHP berpotensi akan menghambat atau mengganggu kebebasan pers. Oleh karena itu, Dewan Pers meminta agar draf RKUHP tersebut disempurnakan agar tak ada lagi pasal yang menimbulkan multiinterpretasi.
Kami tidak menolak RKUHP. Kami hanya ingin memberikan beberapa penyempurnaan perbaikan dari pasal-pasal yang terkait, terutama dengan pers, dengan kebebasan pers. (Azyumardi Azra)
”Jangan sampai interpretasinya bisa macam-macam, terutama di tingkat bawah, di tingkat penegak hukum di level bawah. Kami ingin agar RKUHP disempurnakan segera supaya tidak multiinterpretasi dan pers kita secara keseluruhan juga terlindungi,” kata Azyumardi.
Dewan Pers telah menyiapkan daftar inventaris masalah (DIM) RKUHP setebal 16 halaman. Ada beberapa pasal dalam draf RKUHP yang masuk DIM Dewan Pers, salah satunya Pasal 219. Dalam pasal itu diatur ketentuan penghinaan presiden dan wakil presiden dengan ancaman pidana maksimal 4 tahun 6 bulan penjara.
Dewan Pers mengusulkan substansi baru untuk pasal tersebut, yakni jika perbuatan dilakukan untuk tugas jurnalistik, kepentingan umum atau pembelaan diri, maka tidak bisa disebut penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap presiden dan wakil presiden.
Menurut Azyumardi, substansi baru ini bertujuan untuk mencegah adanya kriminalisasi dalam tugas jurnalistik. Ia tidak ingin wartawan terkena delik akibat melaporkan tugas jurnalistiknya.
”Tetapi, kalau medianya tidak terdaftar secara berbadan hukum, berbadan hukum pers, itu kami tidak bisa melindungi,” kata Azyumardi.
Anggota Komisi III DPR dari F-PDIP, Ichsan Sulistyo, mengapresiasi Dewan Pers yang sudah mengkaji pasal-pasal yang dianggap masih terlalu mengambang. Hal tersebut akan dipertimbangkan untuk diakomodasi dalam draf RKUHP yang akan dibahas DPR bersama pemerintah.
”Nah, di sini dipertegas oleh Dewan Pers, jika perbuatan dilakukan untuk tugas jurnalistik, maka benar-benar yang dilindungi wartawannya, jangan si A yang berbicara, maka wartawannya yang menyampaikan, wartawannya yang kena. Nah, di sini kami protect. Kami masukan untuk tugas jurnalistik,” ujar Ihsan.
Prinsipnya, F-PDIP meminta agar Dewan Pers semakin menajamkan poin-poin yang ingin disempurnakan. Misalnya, tugas jurnalistik yang dilindungi harus berasal dari media yang terdaftar atau terverifikasi di Dewan Pers, berbadan hukum, atau wartawan yang menulis harus lulus uji kompetensi wartawan. ”Nah, jadi hal-hal ini yang mungkin di pasal kurang tegas akan kami pertegas,” ucapnya.
Anggota F-PDIP lain, Johan Budi, sepakat dengan Azyumardi bahwa UU seharusnya tidak memunculkan multiinterpretasi, melainkan satu interpretasi. Hal ini penting agar penegak hukum tidak bisa main-main dalam menjalankan undang-undang. ”Jadi, (RKUHP) harus benar-benar dielaborasi sehingga tidak ditafsirkan berbeda atau dibelokkan,” katanya.
Ia menjelaskan, status RKUHP sebenarnya merupakan RUU operan (carry over) dari tahun 2019. Dalam perkembangannya, RUU tersebut masih membuka ruang masukan bagi publik, pemerintah, dan DPR.
Kementerian Hukum dan HAM pada awal Juli 2022 juga sudah menyampaikan draf RKUHP terbaru yang diklaim sudah mengakomodasi masukan publik. Draf tersebut akan dibahas di masa sidang selanjutnya.
Johan Budi menegaskan, di masa sidang selanjutnya itu, F-PDIP juga akan membuka ruang masukan-masukan dari publik. Namun, masukan-masukan tersebut harus masuk dalam koridor 14 pasal krusial yang kini dibahas oleh pemerintah dan DPR.
”Karena itu, kami masih menerima masukan dan berharap apa yang disampaikan oleh Dewan Pers bisa diperjuangkan dalam RKUHP,” tutur Johan Budi.