Serba Kilat untuk Johanis Tanak, Pengusul Keadilan Restoratif untuk Kasus Korupsi
Keputusan Komisi III DPR memilih Johanis Tanak sebagai pengganti Lili Pintauli di jajaran pimpinan KPK terkesan tak serius. Selain tak dibahas mendalam, beberapa fraksi juga sudah mendukung Johanis sejak awal.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·6 menit baca
Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat memilih Johanis Tanak, pengusul penerapan keadilan restoratif pada kasus-kasus korupsi, sebagai unsur pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menggantikan Lili Pintauli Siregar. Sosok tersebut terpilih melalui proses uji kelayakan dan kepatutan yang dilakukan tanpa pendalaman. Sejumlah fraksi mengakui sudah menjatuhkan pilihan sebelum proses digelar.
Uji kelayakan dan kepatutan untuk dua calon unsur pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi di Komisi III DPR, Jakarta, Rabu (28/9/2022) sore, berlangsung singkat. Tidak lebih dari tiga jam, Komisi III DPR mengambil keputusan untuk memilih Johanis Tanak, seorang direktur pada Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung, untuk mengisi kekosongan posisi Wakil Ketua KPK yang ditinggalkan Lili Pintauli Siregar. Lili Pintauli mengundurkan diri sejak Juli saat proses persidangan etik atas dugaan gratifikasi yang ia terima dari sebuah perusahaan milik negara tengah berlangsung.
Johanis terpilih melalui mekanisme pemungutan suara. Dari 54 anggota Komisi III, sejumlah 53 orang hadir dan memberikan suara, baik untuk Johanis maupun I Nyoman Wara, calon unsur pimpinan lainnya. Dari total 52 suara sah, Johanis mendapatkan 38 suara, unggul atas Wara yang memperoleh 14 suara.
”Silakan, nanti laporan ke bohir masing-masing,” kata Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar Adies Kadir seusai menyampaikan perolehan suara.
Dikonfirmasi setelah proses berakhir, Adies mengatakan, ucapannya sekadar guyon. Ia pun mengklarifikasi yang dimaksud dengan bohir adalah ketua umum partai setiap fraksi. ”Kami ini, kan, petugas partai. Bohir kami para ketum partai, ya, harus lapor ke ketum partai masing-masinglah,” katanya.
Nuansa santai dan cepat memang terasa sepanjang uji kelayakan dan kepatutan untuk Johanis dan Wara. Tak seperti uji kelayakan dan kepatutan Komisi III yang biasanya berlangsung kritis dan garang, kedua nama yang diusulkan Presiden Joko Widodo itu hanya diminta untuk memaparkan program kerja jika terpilih sebagai unsur pimpinan KPK, tanpa sesi pendalaman ataupun tanya jawab. Pendalaman dinilai tidak diperlukan lagi karena materi yang sama sudah pernah mereka sampaikan saat mengikuti seleksi calon unsur pimpinan KPK pada 2019.
Nuansa santai dan cepat memang terasa sepanjang uji kelayakan dan kepatutan untuk Johanis dan Wara.
Usulan pemaparan tanpa pendalaman semula disampaikan Fraksi Partai Demokrat, lalu disetujui semua fraksi. ”Tidak usah ada pendalaman, tidak usah ada tanya jawab karena ini melanjutkan yang dulu supaya menghormati proses yang dulu. Tinggal mengambil keputusan,” kata anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Benny K Harman.
Kedua sosok calon pengganti Lili Pintauli itu diambil dari lima calon yang tidak terpilih saat seleksi calon unsur pimpinan KPK di DPR pada 2019. Namun, berdasarkan catatan Kompas, saat proses pemungutan suara serta uji kelayakan dan kepatutan pada pertengahan 2019, Johanis dan Wara merupakan calon yang tidak mendapatkan satu pun suara dari anggota Komisi III. Jika merunut perolehan suara saat itu, masih ada dua sosok yang lebih banyak dipilih, yakni Sigit Danang Joyo dari Kementerian Keuangan (19 suara) dan Luthfi Jayadi Kurniawan yang berlatar belakang dosen (7 suara).
Selain tak ada pendalaman, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Trimedya Panjaitan, mengungkapkan, bahkan tidak ada pembicaraan yang signifikan saat kedua calon diberi waktu lobi selama 30 menit di sela-sela uji kelayakan dan kepatutan. Alih-alih bicara politik, sebelum pemungutan suara, mereka justru menikmati waktu bersama untuk meminum kopi. ”Enggak ada lobi, kita ngopi saja. Karena masing-masing fraksi sudah punya keyakinan sendiri,” ujarnya.
Ia menambahkan, Fraksi PDI-P pun sudah menentukan pilihan sejak Rabu pagi. Dalam rapat kelompok fraksi (poksi) yang dipimpin Bambang Wuryanto, Ketua DPP PDI-P sekaligus Ketua Komisi III DPR, sudah dibahas kekurangan dan kelebihan dari setiap calon. Bambang pun saat itu sudah memberikan arahan terkait preferensi poksi pada salah satu calon.
Sekalipun tidak bisa mengungkapkan calon mana yang menjadi preferensi PDI-P, Trimedya mengatakan, Johanis memiliki nilai lebih karena latar belakangnya sebagai jaksa. Saat ini belum ada jaksa dalam komposisi lima unsur pimpinan KPK. ”Periode sekarang, kan, tidak ada jaksa. Periode lalu ada jaksa,” ujarnya.
Hal senada diungkapkan anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Sarifuddin Sudding. Fraksi PAN sudah membahas dan menentukan pilihan sejak dua hari sebelum uji kelayakan dan kepatutan digelar. PAN memandang, latar belakang kedua calon, yakni Johanis sebagai jaksa dan Wara sebagai auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sama-sama dibutuhkan untuk memperkuat KPK saat ini. Gagasan mereka pun sudah bisa dipahami karena sudah pernah didalami pada seleksi yang sama pada 2019.
Menurut Sudding, tidak ada lobi politik yang digencarkan kedua calon, baik kepada anggota Fraksi PAN maupun anggota Komisi III secara umum. Padahal, hal itu diakui kerap dilakukan para calon yang mengikuti seleksi di Komisi III. ”Selama ini, kan, biasanya ada musyawarah dan lain-lain. Ini, kan, tadi kita lepas, akhirnya terjadi voting, karena itu sangat demokratis,” ujarnya.
Keadilan restoratif
Dalam paparannya, Johanis menyampaikan pengalaman sebagai jaksa dalam menangani sejumlah kasus korupsi. Berkaca pada hal tersebut, pemberantasan korupsi memerlukan upaya pencegahan yang lebih kuat dibandingkan dengan penindakan untuk menghemat biaya yang dikeluarkan negara. Sebab, proses penindakan yang terdiri dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan persidangan membutuhkan biaya yang besar.
Johanis mengusulkan penerapan keadilan restoratif dalam kasus-kasus korupsi.
Oleh karena itu, Johanis mengusulkan penerapan keadilan restoratif dalam kasus-kasus korupsi. Sebab, korupsi merupakan tindak pidana yang sudah merugikan keuangan negara sehingga jangan sampai negara harus mengeluarkan lebih banyak uang lagi dalam proses penanganannya.
”Itu adalah wacana. Komisi III ini, kan, bukan satu pengambil keputusan, tetapi keputusan bersama. Jadi, walaupun ide saya seperti itu, belum tentu diterima teman-teman, itu suatu ide,” ujar Johanis di sela-sela uji kelayakan dan kepatutan.
Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola, mengatakan, pengisian posisi calon unsur pimpinan KPK yang dilakukan pemerintah dan DPR jauh dari prinsip transparansi, akuntabel, dan partisipatif. Hal itu terlihat dari lambatnya pengajuan kandidat oleh presiden dan cenderung tak mengikuti perintah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.
Alvin juga memandang uji kelayakan dan kepatutan yang dilaksanakan oleh Komisi III bermasalah. Sebab, tidak ada pendalaman baik terkait dengan rekam jejak penanganan perkara dan klarifikasi soal harta kekayaan kandidat, khususnya Johanis yang akhirnya terpilih untuk menggantikan Lili Pintauli.
”Johanis adalah jaksa paling kaya ketika seleksi KPK 2019 lalu, tetapi hampir tidak ada proses klarifikasi yang dilakukan. Ia juga sebelumnya terpantau sepakat dengan revisi UU KPK, terutama mengenai adanya Dewan Pengawas dan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan dari kepolisian),” katanya.
Selain itu, Komisi III semestinya mendalami gagasan antikorupsi pada calon. Apalagi, Johanis mengusulkan penerapan keadilan restoratif dalam penanganan tindak pidana korupsi.
Menurut Alvin, penerapan keadilan restoratif pada kasus korupsi akan semakin melanggengkan impunitas koruptor. Terlebih saat masih lemahnya upaya penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan hingga penjatuhan hukuman perkara korupsi dan belum kuatnya instrumen pemberantasan korupsi di Indonesia. Belum lagi keadilan restoratif di kasus korupsi bertentangan dengan kedudukan bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa.
Selain itu, pemilihan Johanis juga tidak terlepas dari potensi konflik kepentingan karena posisinya yang masih menjabat sebagai jaksa. Dalam posisi tersebut, ia rawan terlibat dalam pelanggaran etik, bahkan pelanggaran pidana saat bertugas sebagai unsur pimpinan KPK. Oleh karena itu, Komisi III DPR terkesan tak serius mencari figur calon unsur pimpinan KPK terbaik serta tidak belajar dari kasus Lili yang mundur karena kasus pelanggaran kode etik.