Keadilan Restoratif Dinilai Tidak Bisa Diterapkan pada Kasus Korupsi
DPR menyetujui Johanis Tanak sebagai pimpinan KPK menggantikan Lili Pintauli Siregar melalui rapat paripurna. Namun, masyarakat sipil mengkritik gagasan Johanis untuk menerapkan keadilan restoratif pada kasus korupsi.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO, KURNIA YUNITA RAHAYU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keadilan restoratif dinilai tidak bisa diterapkan dalam kasus korupsi karena tindakan tersebut harus diproses secara pidana. Korban korupsi merupakan seluruh warga negara sehingga tidak mungkin dilakukan perdamaian dengan pelakunya.
Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengaku terkejut dengan pernyataan Johanis Tanak dalam pemaparan visi dan misinya sebagai calon wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggantikan Lili Pintauli Siregar yang mengundurkan diri. Johanis menginginkan keadilan restoratif diterapkan tidak hanya untuk kasus tindak pidana umum, tetapi juga kasus korupsi.
Boyamin menjelaskan, dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ditegaskan bahwa pengembalian keuangan negara tidak menghapuskan hukuman pidana. ”Ini jelas, kok, tidak menghapus pidana. Berarti tetap harus dipidana meskipun sudah mengembalikan uangnya,” kata Boyamin ketika dihubungi di Jakarta, Kamis (29/9/2022).
Ia menegaskan, korupsi dilakukan secara sengaja dengan menyalahgunakan wewenang. Perbuatan korupsi yang memenuhi unsur perbuatan melawan hukum seperti suap atau gratifikasi harus diproses pidana dan tidak ada keadilan restoratif karena ada unsur sengaja. Di dalam sistem hukum disebut ada niat jahat. Percobaan melakukan korupsi juga sudah disebut dengan korupsi karena perbuatan tersebut berkaitan dengan keuangan negara yang masuk dalam kejahatan luar biasa.
Menurut Boyamin, keadilan restoratif diterapkan ketika pelaku dan korban berdamai. ”Nah, sekarang korupsi itu korbannya siapa? Korbannya adalah seluruh warga negara Indonesia. Apakah mungkin pelaku akan berdamai dengan seluruh warga negara Indonesia?” ujarnya.
Ia berharap Johanis yang memiliki latar belakang jaksa bisa memperkuat penuntutan. Perkara yang selama ini mangkrak juga diharapkan bisa cepat diselesaikan. Karena itu, Johanis diharapkan menghentikan kontroversi dan bekerja keras memberantas korupsi.
Hal senada diungkapkan peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman. Ia menegaskan, keadilan restoratif berspektif pada korban. Adapun korban dari tindak pidana korupsi (tipikor) adalah masyarakat luas.
”Kepentingan korban juga tidak bisa diakomodasi dalam proses restorative justice kalau itu tipikor dan juga bagaimana kepentingan terbaik dari korban itu bisa diwujudkan di dalam tipikor itu. Jadi, menurut saya, restorative justice sama sekali tidak relevan untuk jenis pidana berupa korupsi,” kata Zaenur.
Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri mengatakan, KPK menyambut dengan optimis terpilihnya pimpinan KPK pengganti Johanis. Menurut Ali, dengan latar belakang Johanis yang sarat pengalaman dari Kejaksaan Agung akan menjadi penguat pemberantasan korupsi yang diemban KPK.
”Tentunya tidak hanya pada aspek penanganan perkara, namun perspektif dan analisisnya juga akan sangat diperlukan sebagai pertimbangan pengambilan kebijakan lembaga, baik pada strategi pencegahan maupun pendidikan antikorupsi,” kata Ali.
Ia menegaskan, strategi trisula pemberantasan korupsi yang tengah gencar dilakukan KPK tidak bisa diimplementasikan secara parsial, tetapi harus terintegrasi dan simultan satu sama lain. Alhasil, dapat lebih terstruktur dan terpola dalam mencapai visi lembaga serta menurunkan tingkat korupsi di Indonesia. Adapun strategi trisula tersebut adalah pendidikan, pencegahan, dan penindakan.
Tidak hanya itu, Ali menungkapkan, terpilihnya Johanis juga bisa meningkatkan dan menguatkan sinergi antaraparat penegak hukum. Sebab, KPK juga diberikan amanah oleh undang-undang untuk melakukan koordinasi dan supervisi penanganan perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kejaksaan dan kepolisian.
Menurut Ali, penguatan sinergi antaraparat penegak hukum kini menjadi semakin solid, salah satunya melalui Sistem Penanganan Perkara Tindak Pidana secara Terpadu berbasis Teknologi Informasi (SPPT-TI). Dengan sistem itu, penanganan perkara oleh setiap aparat penegak hukum dilakukan dengan lebih transparan, sehingga publik bisa ikut memantau dan mengawasi setiap prosesnya. Harapannya, penanganan perkara menjadi lebih efektif dan efisien dengan tetap menjunjung prinsip-prinsip keadilan hukum.
”Selanjutnya dengan telah lengkapnya komposisi 5 pimpinan sesuai undang-undang, KPK tentu akan segera berkonsolidasi kembali dalam langkah-langkah penguatan pemberantasan korupsi tersebut,” kata Ali.
Ketua KPK Firli Bahuri menyambut gembira pengisian wakil ketua KPK. Menurut Firli, kehadiran Johanis semakin melengkapi energi KPK untuk membersihkan negeri ini dari segala bentuk korupsi. Ia berharap kehadiran Johanis akan semakin menguatkan upaya-upaya pemberantasan korupsi.
Disetujui
Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui Johanis Tanak sebagai pimpinan KPK untuk menggantikan Lili Pintauli Siregar melalui rapat paripurna di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (29/9/2022). Persetujuan diambil setelah laporan Komisi III DPR atas hasil uji kelayakan dan kepatutan serta pemungutan suara yang dilakukan terhadap I Nyoman Wara dan Johanis Tanak.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Habiburokhman, saat membacakan laporan tersebut menjelaskan, penggantian pimpinan KPK dimulai dengan rapat internal Komisi III DPR untuk membahas jadwal, mekanisme, dan tata cara uji kelayakan dan kepatutan pada 27 September. Sehari setelahnya, uji kelayakan dan kepatutan yang dilanjutkan dengan pemungutan suara dilaksanakan.
Dalam pemungutan suara yang diikuti 53 anggota Komisi III DPR, total ada 52 suara sah. Dari total suara sah, Johanis memperoleh 38 suara. Ia unggul atas Wara yang mendapatkan 14 suara.
”Komisi III memandang dibutuhkan pimpinan KPK yang berintegritas, berkualitas, profesional, dan kredibel dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan, sehingga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap KPK dalam melaksanakan program pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi,” ujar Habiburokhman.
Dihubungi terpisah, Wakil Ketua KPK periode 2015-2019 Saut Situmorang memandang, terpilihnya Johanis belum mampu memenuhi komposisi kebutuhan pimpinan KPK. Menurut dia, dalam konteks semakin pentingnya penerapan pasal pencucian uang dalam kasus-kasus korupsi, KPK membutuhkan ahli audit, bukan jaksa.
Meski demikian, ia berharap, kehadiran pimpinan baru KPK bisa mendorong dinamisasi pengambilan keputusan di internal lembaga tersebut. Diharapkan, tidak ada lagi satu sosok yang dominan atas pimpinan lainnya. ”Saya berharap pimpinan yang baru ini datang dengan Tuhannya saja, jangan dengan gerombolan di belakangnya, sehingga dia berani memutuskan sesuatu di situ (KPK),” kata Saut.
Ia juga mengingatkan, Johanis yang berlatar belakang sebagai jaksa agar tidak terjebak dalam konflik kepentingan. Selama ini, tidak jarang jaksa yang terlibat kasus korupsi. ”Jadi, dia harus masuk dengan integritas. Tanpa itu, mau berapa pun jumlah pimpinan KPK, hasilnya akan seperti itu saja,” ujar Saut.