Koalisi Partai Politik Belum Cerminkan Aspirasi Rakyat
Hasil jajak pendapat Litbang ”Kompas”, awal September 2022, menunjukkan, 76,9 persen responden pesimistis dengan koalisi parpol yang terbentuk. Mereka melihat penentuan koalisi hanya berbasiskan kepentingan elite.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO, KURNIA YUNITA RAHAYU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Koalisi partai politik yang kini sudah terbentuk dinilai murni kepentingan elite partai politik, sementara konstituen mereka hanya menerima apa yang sudah diputuskan elite partai tersebut. Namun, poros koalisi ini sangat mungkin bisa berubah dan akhirnya mengikuti kehendak publik karena jika tidak, calon presiden-calon wakil presiden yang diusung oleh koalisi tak akan bisa memenangi kontestasi.
Setidaknya sampai saat ini ada dua koalisi yang telah terbangun. Pertama, Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang di dalamnya ada tiga partai politik, yakni Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Kedua, koalisi Partai Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Berdasarkan hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada awal September 2022, separuh lebih responden (62,4 persen) menyatakan, apa yang dijalin di tataran elite parpol saat ini berpeluang berubah. Banyak peluang yang bisa terjadi terkait koalisi parpol untuk Pemilu 2024, terlebih jelang masa pendaftaran pasangan calon presiden dan wakil presiden dibuka.
Bahkan, 76,9 persen responden pesimistis memandang dua koalisi yang terbentuk sekarang sehingga mereka lebih melihat penentuan koalisi berbanding lurus dengan kepentingan elite serta berbanding terbalik dengan kepentingan pemilih. Apa yang dilakukan dianggap masih penjajakan sekaligus proses mengalkulasi sejauh mana kepentingan mereka terpenuhi di Pemilu 2024.
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno saat dihubungi di Jakarta, Senin (26/9/2022), pun melihat, poros koalisi yang terbentuk murni kepentingan elite dan tidak mencerminkan suasana kebatinan rakyat secara umum. Parpol, menurut dia, mengejar target agar ketua umum bisa maju di Pilpres 2024 dengan tujuan memperoleh efek ekor jas (cottail effect). Sementara itu, konstituen mereka hanya menerima apa yang sudah diputuskan elite partai tersebut.
”Poros-poros yang terbentuk ini, kan, kalau dilihat rata-rata, ada figur-figurnya yang memang tidak dikenal. Jadi, soal poros koalisi itu murni soal kepentingan elite, bukan kepentingan rakyat. Rakyat itu sebenarnya tergantung bagaimana supply politik yang datangnya dari elite, mau dua, tiga, atau empat pasang calon. Tergantung elite karena rakyat tidak bisa menentukan segala-galanya. Rakyat tidak diajak bicara dalam konvensi ini,” ujar Adi.
Karena itu, Adi melihat, poros koalisi ini masih sangat dinamis dan bisa berubah. Apalagi, jika melihat Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar masih membuka ruang untuk menjadi calon wakil presiden dari Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Puan Maharani. Hal tersebut disampaikan Muhaimin di sela-sela silaturahmi politik di antara PDI-P dan PKB di Jakarta Selatan, Minggu (25/9/2022). Padahal, PKB sudah berkoalisi dengan Gerindra.
”Jadi, masih sangat mungkin berubah (poros koalisi). Partai-partai ini, kan, berharap elite mereka atau ketum mereka bisa maju, baik sebagai capres maupun cawapres,” ucap Adi.
Namun, menurut Adi, poros koalisi ini pada akhirnya nanti akan melihat figur-figur potensial capres dengan elektabilitas tinggi untuk memenangkan Pilpres 2024.
”Untuk apa berkongsi kalau jagoan yang diusung kalah. Jadi, pada prinsipnya nanti akan kelihatan siapa calon yang elektabilitasnya tinggi, menjulang, dan mendapat tiket partai. Di situlah kemudian ujian elektoral ataupun ujian dari poros-poros koalisi ini. Kalau calon yang diusung tidak bisa menggoda partai yang lain, ya, enggak menarik pemilunya,” kata Adi.
Akan dibicarakan
Ditemui secara terpisah di Kompleks Senayan, Jakarta, Senin ini, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto mengatakan, apabila Muhaimin ingin menjadi cawapres dari Puan, itu merupakan hak Muhaimin. Namun, ia mengingatkan, PKB sudah berkoalisi dengan Gerindra, maka keputusan akhir pasangan capres-cawapres harus diputuskan bersama dirinya.
”Ini, kan, perkembangan berjalan terus. Kami ikuti, kami diskusi terus sama beliau (Muhaimin),” ujar Prabowo.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman menambahkan, Gerindra menghormati pernyataan Muhaimin yang ingin menjadi cawapres dari Puan. Ia pun mendengar bahwa Muhaimin akan meminta izin terlebih dahulu kepada Prabowo apabila ingin maju dengan Puan sebagai pasangan capres-cawapres.
”Itu, kan, adab yang bagus sekali dan harus kita contoh. Dan beliau (Muhaimin) dengan Pak Prabowo juga sudah ada komitmen kerja sama untuk Pemilu 2024 dan penentuan capres-cawapres ditentukan oleh Pak Prabowo dan Cak Imin (Muhaimin),” ujar Habiburokhman.
Gerindra pun membuka pintu seluas-luasnya apabila PDI-P ingin bergabung dengan koalisi Gerindra-PKB. Sebab, lanjut Habiburokhman, Gerindra dan PKB juga berharap, koalisi yang ada semakin besar.
Bukan bersumber dari kepentingan elite
Sementara itu, Wakil Ketua Umum PAN Viva Yoga Mauladi menegaskan bahwa poros KIB bukan bersumber dari kepentingan elite, tetapi berdasarkan aspirasi pengurus dan kader partai di daerah.Begitu pula dengan PAN, aspirasi selalu ditampung melalui proses dari tingkat kabupaten/kota, provinsi sampai ke pusat.
“Jadi, kalau aspirasi pemilih itu sudah terepresentasi pada aspirasi pengurus dan kader partai di daerah,” kata Viva.
Viva berpandangan, pondasi KIB sangat kuat dan kokoh. Koalisi ini dilandasi oleh platform koalisi yang merupakan akumulasi visi bersama masing-masing partai di KIB. Bahkan, KIB sudah menyelenggarakan pertemuan di tingkat kabupaten/kota. Hal ini menunjukkan bahwa KIB serius membangun koalisi di Pilpres 2024. Bahkan, ada pemikiran koalisi ini dilanjutkan sampai penyelenggaraan pemilihan kepala daerah pada November 2024.
Viva meyakini koalisi tidak akan berubah. Jika ada dinamika ke depan, justru yang terjadi penambahan anggota baru di KIB.
Sependapat dengan Viva, Ketua DPP PPP Achmad Baidowi pun menegaskan bahwa KIB adalah koalisi yang permanen. Baidowi mengakui pembentukan koalisi jauh-jauh hari sebelum pemilu, jarang di Indonesia. KIB, lanjutnya, ingin membudayakan tradisi politik baru.
“Ini memang hal yang baru yang perlu disosialisasikan terus kepada masyarakat supaya memahami koalisi yang terbentuk bukan sekadar akrobat politik, tetapi benar-benar koalisi yang dibangun untuk perbaikan atau kemajuan politik di Indonesia,” ucapnya.