Rakyat Berembuk Cari Capres, Parpol Pun Menuai Hasil
Partai Nasdem dan PSI menginisiasi penjaringan aspirasi masyarakat untuk menentukan capres 2024 melalui mekanisme rembuk. Berbeda dengan konvensi, rembuk diklaim menjamin partisipasi publik dan bebas politik uang.
Sambil menyelam minum air. Inisiatif sejumlah partai politik menjaring aspirasi masyarakat untuk menentukan calon presiden yang akan didukung pada Pilpres 2024 diharapkan bisa memberikan berkah elektoral ke depan. Dapat berhasilkah?
Akhir April 2022, grup percakapan daring Whatsapp pengurus Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Nasdem mulai ramai dengan pembicaraan ihwal tokoh yang dijagokan untuk maju pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Nama-nama yang konsisten berada di papan atas hasil survei sejumlah lembaga pun satu per satu terlontar. Sebut saja Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, dan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa. Ada pula Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir serta Panglima TNI Jenderal (TNI) Andika Perkasa.
Meski masih informal, lontaran-lontaran itu menjadi gambaran jelang Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Nasdem yang diselenggarakan pada 15-17 Juni mendatang. Dalam agenda tahunan itu, seluruh pengurus pusat dan daerah Nasdem akan berembuk menentukan tiga nama calon presiden (capres) yang akan didukung. Melalui mekanisme ini, Nasdem ingin membuat gebrakan sekaligus menepis anggapan publik bahwa penunjukan capres oleh partai politik (parpol) cenderung elitis karena hanya ditentukan segelintir elite.
”Sebagai partai yang ingin menyerap aspirasi masyarakat, tentu kami tidak akan mematok satu nama. Mungkin ada tiga nama, itu akan dibahas dalam beberapa sidang komite,” kata Ketua Koordinator Pemenangan Pemilu Nasdem Prananda Surya Paloh saat ditemui di Nasdem Tower, akhir April lalu.
Sebelum rakernas, Nasdem pun menginisiasi survei periodik setiap dua hingga tiga bulan sekali untuk memantau tingkat elektabilitas para figur potensial.
Baca juga: Munculnya Nama Erick, dan Potensi Kandidasi Pilpres 2024
Sebanyak tiga nama capres itu tak sembarangan dipilih. Usulan disarikan dari pendapat seluruh pengurus dari tingkat ranting hingga pusat. Sebelum rakernas, Nasdem pun menginisiasi survei periodik setiap dua hingga tiga bulan sekali untuk memantau tingkat elektabilitas para figur potensial. Diadakan pula sejumlah diskusi grup terfokus dengan pakar politik dan tokoh masyarakat untuk menghimpun pendapat tentang sosok terkait.
Selain itu, kesamaan visi dan misi, karakter sesuai dengan semangat restorasi Indonesia, serta kedekatan emosional dengan Nasdem jadi penilaian tersendiri. Begitu juga kemauan para kandidat melanjutkan program-program Presiden Joko Widodo.
Adapun tiga nama yang terpilih nantinya akan diserahkan kepada Ketua Umum Nasdem Surya Paloh. Keputusan terakhir memang menjadi hak prerogatif Surya. Akan tetapi, proses penentuannya diklaim tetap demokratis karena Surya dan pengurus DPP Nasdem masih akan berkeliling ke seluruh daerah selama tiga hingga enam bulan untuk kembali menyerap aspirasi masyarakat.
Prananda yang juga menjabat Koordinator Steering CommitteeRembuk Nasional mengatakan, pihaknya sangat hati-hati dalam menentukan capres yang akan diusung. Sebagai partai yang baru dua kali mengikuti pemilu, Nasdem tidak ingin terjerembap pada pilihan yang merugikan. Sebab, bisa saja pengurus terbelah atau para pemilih justru meninggalkan Nasdem setelah capres ditentukan sehingga menjadi serangan balik pagi partai. ”Ini, kan, bisa dilihat dari dua sisi. Bisa menjadi hal yang baik untuk elektoral, tetapi bisa juga menjadi bumerang kalau tidak hati-hati,” ujarnya.
Baca juga: Peningkatan Popularitas Genjot Elektabilitas Ganjar Pranowo
Tidak dimungkiri, Nasdem pun berharap berkah elektoral dari mekanisme pemilihan pendahuluan dan capres yang nantinya diusung. Strategi itu diharapkan efektif mendampingi langkah lain, seperti memperkuat identitas partai dan pemilihan calon anggota legislatif (caleg) dengan ketokohan yang kuat. Di samping berniat memenangi pilpres, parpol ini juga mematok target masuk dua besar raihan suara nasional, dengan perolehan 100 kursi di DPR.
Ide rembuk nasional, kata Prananda yang juga putra Surya Paloh, merupakan konsep pengganti konvensi capres. Pada 2021, Nasdem berniat mengadakan konvensi. Komunikasi informal dengan parpol yang dinilai paling memiliki kedekatan emosional, yakni Golkar, sudah dijajaki sejak pertengahan 2021. Akan tetapi, hingga awal 2022 tidak ada jawaban tegas dari Golkar. Dalam sebuah pertemuan dengan Surya Paloh, Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto pun menyatakan, Musyawarah Nasional (Munas) Golkar 2019 pun telah memutuskan untuk mengusungnya maju di Pilpres 2024.
Tanpa koalisi, Nasdem tak bisa mengusung capres sendiri karena tak memenuhi ambang batas pencalonan presiden.Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, capres dan cawapres hanya bisa diusulkan parpol atau gabungan parpol dengan perolehan kursi minimal 15 persen di DPR atau meraih 20 persen dari perolehan suara nasional.
Oleh karena itu, rembuk nasional dijadikan mekanisme alternatif. Selain menjamin terserapnya aspirasi publik, cara ini juga diklaim tidak berpotensi memunculkan politik uang. Berkaca dari konvensi yang pernah dilakukan parpol-parpol lain sebelumnya, dengan mekanisme one man one vote, pemilihan pendahuluan justru sarat dengan suap.
Baca juga: Cek Ombak Dahulu, Arungi Lautan Pilpres Kemudian
”Di rakernas nanti kami juga akan membahas etika untuk konstituen di setiap provinsi dan kabupaten/kota karena ini bukan one man one vote, melainkan benar-benar rembuk, berdiskusi tentang siapa yang paling tepat,” ucap Prananda.
Semangat menyerap aspirasi publik untuk menjaring capres juga ditemukan pada Partai Solidaritas Indonesia (PSI) melalui Rembuk Rakyat. Ketua DPP PSI Isyana Bagoes Oka menjelaskan, Rembuk Rakyat merupakan terobosan untuk melibatkan masyarakat sebagai pemegang suara penuh dalam pilpres. Semula, seluruh pengurus PSI diminta untuk menyerap aspirasi berbagai kalangan, mulai dari tokoh muda, guru, akademisi, pengusaha, tokoh agama, hingga tokoh adat, tentang sosok yang layak menjadi penerus Jokowi.
Hasilnya, didapatkan sembilan nama, yakni Emil Dardak, Erick Thohir, Ganjar Pranowo, Mahfud MD, Andika Perkasa, dan Ridwan Kamil. Selain itu, ada pula Tito Karnavian, Najwa Shihab, serta Sri Mulyani Indrawati. ”Sembilan sosok tersebut adalah kader-kader bangsa yang dianggap mampu melanjutkan politik kesejahteraan, politik bersih, dan politik keterbukaan yang menjadi kepedulian utama PSI,” ujar Isyana.
Setelah menetapkan sembilan nama, PSI mengadakan jajak pendapat daring di situs https://rembukrakyat.psi.id/ dalam kurun waktu Februari-November 2022. Hingga Rabu (11/5/2022) pagi, tiga nama teratas adalah Ganjar Pranowo (43,8 persen), Erick Thohir (27,4 persen), dan Ridwan Kamil (5,7 persen). Perkembangan bisa dipantau setiap saat melalui situs dan kanal media sosial PSI.
Baca juga: Lebaran dan Panggung Popularitas Para Kandidat Presiden
Isyana menjelaskan, selain jajak pendapat, ada tiga tahapan lain yang dilakukan secara berjenjang. Pertama, sosialisasi dan diskusi daring setiap pekan untuk membahas setiap tokoh secara bergantian. Hingga saat ini, diskusi sudah dilakukan untuk enam figur.
Pengurus PSI juga akan blusukan untuk kembali melihat tanggapan masyarakat terhadap setiap kandidat. Selanjutnya, pandangan dari tokoh masyarakat dan pakar juga akan digali melalui berbagai diskusi agar publik bisa mengetahui lebih jauh ihwal rekam jejak dan keunggulan setiap figur.
”Pada ulang tahun PSI November mendatang, kami akan mengumumkan hasil Rembuk Rakyat,” kata Isyana. Hasil yang dimaksud merujuk pada satu sosok dengan perolehan suara jajak pendapat tertinggi didukung oleh tanggapan publik, tokoh masyarakat, dan para pakar.
Sama seperti Nasdem, PSI juga menjamin proses ini bebas dari politik uang karena berbeda dengan konvensi capres. Jajak pendapat daring secara terbuka dianggap sebagai kunci karena setiap orang bisa berpartisipasi. Untuk menutup kemungkinan satu orang memilih lebih dari satu kali, sistem jajak pendapat juga sudah mengatur agar satu IP address (serangkaian angka sebagai identitas perangkat di jaringan internet) hanya bisa satu kali mengikutinya.
Pengurus PSI juga akan blusukan untuk kembali melihat tanggapan masyarakat terhadap setiap kandidat. Selanjutnya, pandangan dari tokoh masyarakat dan pakar juga akan digali melalui berbagai diskusi.
Meski demikian, lanjut Isyana, PSI tidak mematok dampak elektoral dari mekanisme ini. Tujuan utamanya kembali untuk mendengar keinginan, memberikan ruang, serta mengedukasi politik agar rakyat tak keliru memilih pemimpin. ”Ada tidaknya efek ekor jas tentunya akan kembali bergantung pada pemilih saat (Pemilu) 2024 nanti,” ujarnya.
Efek tak langsung
Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Sirojudin Abbas mengatakan, mekanisme pemilihan pendahuluan memang bisa memberikan efek elektoral bagi parpol penyelenggara karena diasosiasikan dengan capres yang diusulkan. Akan tetapi, itu tidak terjadi secara langsung. Hal itu baru akan terlihat ketika seorang figur resmi diusung sebuah parpol. ”Namun, selama proses rembuk, publik pemilih sudah mulai diajak untuk mengasosiasikan partai dengan tokoh yang dinominasikan,” katanya.
Ia menambahkan, setidaknya ada tiga efek positif yang didapatkan parpol selama proses dilakukan. Pertama, meningkatkan partisipasi internal karena cara ini dapat membuka ruang perbincangan mengenai tokoh yang layak diusulkan. ”Mekanisme ini juga membuka pintu lobi dan pintu dialog antarparpol, tokoh, dan komunitas pendukungnya,” kata Abbas.
Baca juga : Saat Figur Potensial Capres dan Parpol ”Membonceng” Momen Mudik Lebaran
Kedua, menaikkan citra parpol sebagai pusat pemberitaan media massa. Tidak bisa dimungkiri, mekanisme itu menjadi umpan yang menarik untuk mengikuti perkembangan proses rembuk. Setiap kali seorang tokoh disebut, besar kemungkinan juga akan terkait dengan parpol terkait.
Selain itu, tambah Abbas, proses ini juga bisa meningkatkan legitimasi tokoh yang diusulkan. Sebab, mereka akan terus diperbincangkan oleh para kader parpol di daerah-daerah. Apalagi jika parpol yang mengusulkan memiliki jumlah kursi signifikan di DPR.
Peneliti senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional, Firman Noor, mengatakan, berkaca dari pilpres-pilpres sebelumnya, efek ekor jas dari capres yang diusung tidak pernah berdampak signifikan terhadap perolehan suara parpol. Pilihan terhadap parpol lebih didominasi pandangan terhadap identitas dan visi misi, bukan kandidasi. ”Efek ekor jas dari kandidat hanya pernah terjadi pada Partai Demokrat pada Pemilu 2009 dan belum pernah terulang lagi,” katanya.
Ia pun mengingatkan agar parpol membuat mekanisme pengawasan yang kuat dalam proses penentuan capres. Meski menggunakan mekanisme rembuk atau musyawarah, pergerakan kandidat perlu tetap diperhatikan karena potensi politik uang untuk mendapatkan dukungan tidak sepenuhnya tertutup. Apalagi, parpol umumnya memiliki faksi dengan jaringan yang dipelihara dengan politik uang. Jika praktik itu terjadi dan terbongkar publik, reputasi kandidat dan parpol jelas jadi taruhan.