Tim Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Mulai Bekerja
Di tahap awal, tim bentukan Presiden Joko Widodo ini akan mengkaji dokumen penyelidikan Komnas HAM atas kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Waktu untuk mengkaji diperkirakan satu hingga dua bulan.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat membutuhkan waktu selama satu bulan untuk menganalisis kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu berdasarkan data dan rekomendasi yang ditetapkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Setelah itu, mereka baru bisa menghasilkan rekomendasi langkah pemulihan bagi korban dan keluarganya berikut upaya pencegahan agar pelanggaran HAM tidak terulang lagi di masa depan.
Ketua Tim Pelaksana Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM (PPHAM) Makarim Wibisono saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (25/9/2022), mengatakan, untuk pertama kalinya, Tim PPHAM bertemu di Surabaya, Jawa Timur, untuk rapat paripurna perdana pada Sabtu (24/9/2022) dan Minggu. Mereka, di antaranya, membahas soal terms of reference (TOR) sesuai dengan payung hukum Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. ”Tim berusaha mengatasi masalah yang menyangkut dampak-dampak yang timbul akibat (kasus pelanggaran HAM) itu dari kacamata non-yudisial. Bagaimana masalah ditanggulangi dengan kelembagaan ini,” tambahnya.
Untuk diketahui, Presiden Joko Widodo pada Rabu (21/9/2022) resmi membentuk Tim PPHAM dengan menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022. Dalam Pasal 5 Keppres No 17/2022 disebutkan bahwa Tim PPHAM terdiri atas tim pengarah dan tim pelaksana. Tim pengarah dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD sebagai ketua serta Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy selaku wakil ketua. Adapun anggota tim pengarah adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Sosial Tri Rismaharini, dan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko.
Sementara itu, tim pelaksana terdiri atas total 12 orang, di antaranya Makarim Wibisono (ketua), Ifdhal Kasim (wakil ketua), dan Suparman Marzuki (sekretaris). Adapun sembilan anggota lainnya adalah Apolo Safanpo, Mustafa Abubakar, Harkristuti Harkrisnowo, As’ad Said Ali, Kiki Syahnakri, Zainal Arifin Mochtar, Akhmad Muzakki, Komaruddin Hidayat, dan Rahayu.
Tim pelaksana, menurut Makarim, membutuhkan waktu setidaknya satu hingga dua bulan ke depan untuk mengkaji kembali dokumen kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu berdasarkan data dan hasil penyelidikan dari Komnas HAM. Tim akan mengadakan diskusi fokus terarah (FGD) dalam menganalisis data dan dokumen dari Komnas HAM itu. Tim perlu menganalisis ulang dokumen itu untuk memberi keyakinan mengenai kasus. Sebab, selama ini, Kejaksaan Agung selalu berdalih bahwa hasil penyelidikan dari Komnas HAM kurang barang bukti sehingga tidak bisa dibawa ke pengadilan HAM.
”Mengkaji kembali dokumen yang bertalian dengan dugaan pelanggaran HAM berat, bertemu muka dengan pihak terkait yang ikut dan melihat peristiwa itu untuk memberi keyakinan pada kasus itu,” katanya.
Hasil akhir dari tim adalah laporan kepada Presiden. Termasuk di dalamnya rekomendasi pemulihan bagi korban dan keluarga korban kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Selain itu, rekomendasi kepada pemerintah agar hal serupa tak terulang kembali di masa depan. Upaya pencarian kebenaran ini juga diharapkan dapat merekatkan kembali hubungan antara rakyat dan negara sehingga hubungan ke depan bisa lebih tangguh.
Ia memastikan penyelesaian secara non-yudisial tidak akan meniadakan penegakan hukum kasus-kasus HAM berat masa lalu. Mekanisme hukum terhadap kasus-kasus tersebut tetap akan berjalan sesuai dengan koridor undang-undang yang berlaku. Justru upaya penyelesaian non-yudisial ini menjadi langkah untuk mengisi kekosongan hukum akibat mandeknya penyelesaian yudisial. Selama proses menunggu itu, korban dan keluarga korban terbebani dan menderita. Beban dan penderitaan itulah yang harus diselesaikan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Komnas HAM Amiruddin Al Rahab berpendapat, hasil penyelidikan Komnas HAM selama ini sudah cukup. Baik kesaksian maupun alat bukti dalam peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu yang terjadi di Indonesia dinilai sudah cukup. Namun, belum ada kemauan yang cukup dari Jaksa Agung untuk menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM. Oleh karena itu, selama 15 tahun ini, sebagian besar kasus dugaan pelanggaran HAM berat mandek di Kejagung.
Hingga kini, Komnas HAM telah menyelidiki 13 peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu dan menyerahkan hasilnya ke Kejagung. Dari 13 kasus itu, baru peristiwa Paniai pada 2014 yang telah ditindaklanjuti oleh Kejagung. Sekarang, pengadilan perkara itu sedang berjalan di Pengadilan HAM Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Makassar, Sulawesi Selatan.
”Jika tim (PPHAM) ini mau bekerja, jangan malah menganalisis ulang data dari Komnas HAM. Tetapi, mereka harus menganalisis dari latar belakang dan konteksnya. Misalnya secara sosiologis dan antropologis, mengapa peristiwa itu bisa terjadi. Prinsipnya, penyelesaian kasus di luar pengadilan itu tahu latar belakang dan konteks pelanggaran HAM berat itu terjadi,” kata Amiruddin.
Lebih lanjut menyangkut keberadaan Tim PPHAM, Amiruddin mengatakan, pihaknya bersikap pasif dan menunggu tim tersebut bekerja. Jika bicara soal kewenangan sesuai UU Pengadilan HAM, hasil penyelidikan Komnas HAM itu seharusnya ditindaklanjuti secara hukum atau yudisial oleh Jaksa Agung. Namun, karena data dan dokumen akan dianalisis Tim PPHAM dari Komnas HAM, Amiruddin mengaku siap jika ditanya oleh Tim PPHAM.
”Tanggung jawab Komnas HAM selaku tim penyelidik peristiwa pelanggaran HAM berat sudah selesai. Namun, selama 15 tahun, Jaksa Agung hanya diam dan tidak menindaklanjuti temuan dari kami,” ujarnya.