Penyelesaian Non-yudisial Kasus HAM Berat Berisiko Meniadakan Proses Yudisial
Keputusan Presiden yang jadi payung hukum pembentukan Tim Penyelesaian Non-yudisial Kasus HAM Berat Masa Lalu seharusnya menyebutkan secara tegas penyelesaian kasus secara komprehensif, tak hanya non-yudisial.
JAKARTA, KOMPAS — Pembentukan Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu diharapkan tidak menghilangkan proses yudisial untuk menuntaskan sejumlah kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Untuk mencegah hal itu, keputusan presiden yang jadi payung hukum pembentukan tim harus menyebutkan secara tegas bahwa penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu secara komprehensif, tak hanya non-yudisial.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid dihubungi dari Jakarta, Minggu (21/8/2022), mengatakan, pembentukan Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu berisiko menghilangkan proses yudisial dalam menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Sebab, dalam keputusan presiden yang menjadi dasar pembentukan tim menggunakan istilah menyelesaikan. Padahal, proses non-yudisial secara spesifik ditujukan untuk mengupayakan rehabilitasi bagi para korban. Rehabilitasi yang dimaksud merupakan salah satu dari empat hak korban yang wajib dipenuhi dalam kerangka penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat.
Idealnya, menurut Usman, keppres memberikan penjelasan tentang kerangka penyelesaian pelanggaran HAM berat secara komprehensif. Jika tidak, setidaknya diperlukan penegasan bahwa rehabilitasi yang akan dilakukan tidak bersifat substitutif atau menggantikan bentuk penyelesaian lainnya.
Baca Juga: Tim Penyelesaian Kasus HAM Berat Masa Lalu Dikhawatirkan Mempertebal Impunitas
”(Bentuk penyelesaian yang dimaksud) mulai dari pemenuhan hak atas kebenaran, hak atas reparasi yang termasuk hak atas rehabilitasi, jaminan ketidakberulangan kejahatan di masa depan, hingga hak atas keadilan hukum berupa penuntutan pelaku di pengadilan,” kata Usman.
Dihubungi terpisah, Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Tioria Pretty Stephanie menyayangkan kecenderungan tertutupnya penyusunan keppres. Sejak dari rancangan hingga Presiden Joko Widodo menyatakan telah menandatanganinya, keppres yang dimaksud belum pernah dibuka kepada publik.
Oleh karena itu, pihaknya tak bisa menduga isi, cara kerja, dan tujuan dari keppres. Begitu juga proses-proses yang berisiko hilang dengan adanya peraturan ini. ”Namun, apa pun tujuan keppres ini, harus dipastikan bahwa proses yudisial (terhadap pelanggaran HAM berat masa lalu) harus dijamin dan dipastikan berjalan,” kata Tioria.
Secara terpisah, Kantor Staf Kepresidenan menegaskan bahwa Keppres tentang Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu merupakan terobosan pemerintah demi mempercepat pemenuhan hak-hak korban. Pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa keppres tersebut sudah ditandatangani sekaligus menjadi wujud komitmen serius untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu.
”Keppres yang ditandatangani oleh Presiden telah melalui proses pemikiran yang matang dan pembahasan yang panjang dengan melibatkan berbagai komponen bangsa, tidak terkecuali korban pelanggaran HAM,” ujar Deputi V Kantor Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodhawardani dalam keterangan tertulis pada Sabtu (20/8/2022).
Ia pun mengklaim bahwa tim yang dibentuk dengan keppres beranggotakan tokoh-tokoh yang berintegritas, kompeten, dan memiliki pemahaman HAM yang memadai, serta merepresentasikan kelompok yang bisa menjamin tercapainya tujuan keppres. Tim yang terbentuk juga memiliki tiga mandat yang sejalan dengan fungsi sebuah komisi kebenaran, yaitu mandat pengungkapan kebenaran, rekomendasi reparasi, dan mengupayakan ketidakberulangan.
Komitmen terhadap pendekatan non-yudisial yang paralel dengan proses yudisial juga terus diupayakan dengan menempuh dua jalur, yaitu legislative dan executive measures. Apabila menggunakan legislative measure, pemerintah harus mengajukan kembali RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang baru sebelum kemudian dibahas dengan DPR.
”Karena urgensi dan kemendesakan pemenuhan hak korban dan keluarga korban, pemerintah menempuh jalur executive measure dalam bentuk keputusan presiden dengan membentuk Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu,” ujar Jaleswari.
Pada Pidato Sidang Tahunan MPR, 16 Agustus 2022, Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu terus menjadi perhatian serius pemerintah.
”RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sedang dalam proses pembahasan. Tindak lanjut atas temuan Komnas HAM masih terus berjalan. Keputusan Presiden Pembentukan Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu telah saya tanda tangani,” ujar Presiden Jokowi.
Baca Juga: Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Muncul di Pidato Presiden
Presiden Jokowi memerintahkan untuk melanjutkan proses melalui pengadilan (yudisial) dengan memerintahkan Kejaksaan Agung dan mendorong Komnas HAM bekerja memenuhi unsur-unsur dan proses hukum. Paralel dengan proses yudisial yang berlangsung, Presiden juga memberikan arahan perlunya penyelesaian di luar pengadilan (non-yudisial) yang lebih berorientasi pada perlindungan dan rehabilitasi hak korban dan keluarga korban.
Sejak menjabat Presiden tahun 2014, Jaleswari menyebut bahwa Presiden Jokowi telah berupaya keras menyelesaikan kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu. Pada peringatan Hari HAM Sedunia, 9 Desember 2014, di Yogyakarta, Presiden Jokowi menemui korban pelanggaran HAM untuk mendengarkan aspirasi mereka. Pada 2015 juga sempat digagas pembentukan Komite Rekonsiliasi dan Komite Pengungkapan Kebenaran.
Pada 2016 digelar simposium nasional tentang peristiwa 1965/1966 dan rencana pembentukan Dewan Kerukunan Nasional di 2016, tetapi mendapat penolakan publik. Pada Mei 2018, Presiden Jokowi menerima audiensi keluarga korban pelanggaran HAM di Istana guna mendengar aspirasi dan harapan para korban. Pada 2018, dibentuk pula Tim Gabungan Terpadu tentang Penyelesaian Dugaan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu.
Pembahasan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dimulai pada 2019 setelah UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 2006. Pada 2021, Jaksa Agung mulai melakukan penyidikan atas dugaan pelanggaran HAM di Paniai tahun 2014. Pengadilan HAM atas kasus tersebut akan digelar di Pengadilan Negeri Makassar dalam waktu dekat.
Sampai saat ini, terdapat 13 peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu yang belum diselesaikan berdasarkan penyelidikan Komnas HAM. Dari 13 peristiwa tersebut, 9 peristiwa merupakan pelanggaran HAM berat masa lalu yang terjadi sebelum diundangkannya UU No 26/2000 tentang pengadilan HAM.
Sembilan peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu tersebut adalah Peristiwa 1965/1966, Peristiwa Penembakan Misterius 1983-1984, Peristiwa Talangsari 1989, Peristiwa Mei 1998, Peristiwa Penghilangan Paksa 1997/1998; Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II 1998-1999; Peristiwa Dukun Santet 1999, Peristiwa Rumoh Geudong Aceh 1998, dan Peristiwa Simpang KKA Aceh 1999.
Empat peristiwa yang lainnya terjadi setelah tahun 2000 adalah Peristiwa Wasior 2001, Peristiwa Wamena 2003, Peristiwa Jambo Keupok 2003, dan Peristiwa Paniai 2014.
”Dari berbagai peristiwa yang bentangan waktu dan tempatnya sedemikian panjang dan luas, serta konstruksi dan tipologinya yang bermacam-macam, dipastikan tidak bisa diselesaikan hanya dengan satu pendekatan,” ujar Jaleswari.
Menurut Jaleswari, pengalaman di berbagai negara mengajarkan setidaknya ada dua jalan yang perlu ditempuh, yaitu jalan penyelesaian yudisial dan non-yudisial. Jalan penyelesaian yudisial dan non-yudisial merupakan proses yang berbeda, tetapi perlu ditempuh kedua-duanya untuk memastikan tercapainya aspek-aspek keadilan transisional yang diakui komunitas internasional sebagai metode menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu.
Metode penyelesaian tersebut meliputi aspek kebenaran, keadilan, pemulihan,dan jaminan ketidakberulangan. ”Jalur penyelesaian yudisial dan non-yudisial bersifat saling melengkapi (komplementer), bukan saling menggantikan (substitutif) untuk memastikan penyelesaian kasus secara menyeluruh,” tuturnya.
Jalur yudisial diatur oleh UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM, sementara jalur non-yudisial dapat turut diintervensi melalui produk eksekutif. ”Namun demikian, kedua jalur tersebut saling melengkapi dan menyempurnakan. Keduanya dapat dijalankan secara paralel,” ujar Jaleswari.
Baca Juga: Asa Perempuan Lansia Penyintas Pelanggaran HAM Masa Lalu
Mekanisme non-yudisial merupakan upaya pemerintah memberi prioritas pada pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM yang berat.
Apabila mekanisme yudisial berorientasi pada keadilan retributif, mekanisme non-yudisial berorientasi pada pemulihan korban. Mekanisme ini dinilai lebih memungkinkan terwujudnya hak-hak korban, seperti hak untuk mengetahui kebenaran, hak atas keadilan, hak atas pemulihan, dan hak atas kepuasan.
Mekanisme non-yudisial memberi kesempatan yang besar kepada korban didengar, diberdayakan, dimuliakan, dan dipulihkan martabatnya melalui proses pengungkapan kebenaran, pemulihan, fasilitasi rekonsiliasi, dan memorialisasi.
”Keppres merupakan langkah terobosan pemerintah mempercepat pemenuhan hak-hak korban,” ucap nya.