Tim Penyelesaian Kasus HAM Berat Masa Lalu Dikhawatirkan Mempertebal Impunitas
Argumen bahwa Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu yang dibentuk melalui Keputusan Presiden, tak akan menutup peluang penyelesaian melalui jalur yudisial, dianggap hanya retorika.
Para aktivis Aksi Kamisan kembali berkumpul menggelar aksi di depan Istana Merdeka, Jakarta, dengan mengangkat tema menuntut pemerintah menuntaskan sejumlah kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu, Kamis (15/11/2018).
JAKARTA, KOMPAS — Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu melalui keputusan presiden dikritik. Pembentukan tim dinilai hanya akan mempertebal impunitas dan pemutihan pelanggaran HAM masa lalu yang belum dituntaskan negara.
”Langkah pemerintah membuktikan bahwa Jokowi tidak mampu dan tidak mau menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM, bahkan yang sudah diselidiki oleh Komnas HAM. Alih-alih merangkai kepingan fakta dan informasi untuk mengakselerasi mekanisme yudisial yang selama ini menjadi perintah UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Jokowi justru menutup rapat tuntutan publik dan harapan korban akan kebenaran dan keadilan,” ujar Ketua Setara Institute Hendardi, melalui keterangan tertulis, Rabu (17/8/2022).
Menurut dia, keberadaan tim yang dalam draf keputusan presiden (keppres) disebut Tim Paham berisi sejumlah anggota yang di antaranya dianggap sebagai sosok bermasalah terkait pelanggaran HAM masa lalu. Tak hanya itu, keberadaan tim ini juga akan berimbas luar biasa pada upaya pencarian keadilan karena tidak diberi mandat pencarian kebenaran untuk memenuhi hak korban dan publik sebagai dasar kelayakan apakah suatu peristiwa bisa dibawa ke proses pengadilan HAM atau direkomendasikan diselesaikan melalui jalur non-yudisial.
Karena pilihan non-yudisial telah ditetapkan, Hendardi menilai, Jokowi telah mengingkari mandat UU No 26/2000 bahwa penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi sebelum tahun 2000 bisa diadili melalui Pengadilan HAM Ad Hoc. ”Dapat dibayangkan, segera setelah Tim Paham menyelesaikan tugasnya, Jokowi akan mengklaim bahwa semua pelanggaran HAM telah diselesaikannya,” tambahnya.
Keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia yang rutin menggelar Aksi Kamisan di seberang Istana Kepresidenan berjalan meninggalkan Istana Kepresidenan, Jakarta, seusai bertemu Presiden Joko Widodo, Kamis (31/5/2018). Sejak 2007 Aksi Kamisan di seberang Istana Kepresidenan digelar, pertemuan ini menjadi pertemuan perdana.
Lebih lanjut, menurutnya, mekanisme non-yudisial ini bentuk pengampunan massal dan cuci tangan negara serta melembagakan impunitas semakin kukuh dan permanen. Negara seharusnya membuka kembali persetujuan yang dibuatnya sendiri terkait rekomendasi Universal Periodic Review PBB, 2017, untuk menguatkan komitmen dan meneruskan usaha melawan impunitas. Langkah aktual yang dipilih pemerintah justru berkebalikan dengan komitmen negara terhadap dunia internasional.
Hanya retorika
Argumen bahwa keppres ini tidak akan menutup peluang penyelesaian melalui jalur yudisial, dinilai Hendardi, hanya retorika sejenak yang secara politik adalah hiburan bagi korban. Di tengah konfigurasi kekuasaan yang tidak memiliki perhatian pada penghormatan, pemajuan dan perlindungan HAM, tuntutan penyelesaian pelanggaran HAM di masa yang akan datang akan semakin kehilangan dukungan politik.
”Secara ringkas, Tim Paham hanya panitia yang dibentuk Jokowi untuk memberikan santunan kepada korban yang ditujukan untuk pembungkaman atas tuntutan dan aspirasi korban. Padahal, dalam hukum HAM internasional dan konsep transitional justice bukan hanya right to reparation (hak atas pemulihan) yang harus dipenuhi, tetapi right to truth (hak atas kebenaran), right to justice (hak atas keadilan), dan guarantees of non-repetition (jaminan ketidakberulangan),” tambahnya.
Maka, menurutnya, keppres ini tak hanya harus ditolak, tetapi harus dipersoalkan secara hukum dan politik. Alih-alih memberikan kebahagiaan di Hari Kemerdekaan RI, Jokowi justru mengubur aspirasi dan harapan korban untuk tidak pernah bisa merdeka dari impunitas dan ketidakadilan.
Untuk diketahui, setidaknya ada 13 kasus HAM berat masa lalu yang telah tuntas diselidiki oleh Komnas HAM dan berkasnya diserahkan ke Kejaksaan Agung (Kejagung). Kasus tersebut, antara lain, peristiwa 1965-1966; penembakan misterius 1982-1985; peristiwa Talangsari, Lampung 1989; dan kasus Rumah Geudong pada era Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh 1989-1998. Selain itu, kasus kerusuhan Mei 1998; peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II pada 1998-1999; peristiwa Simpang KKA 1999; pembunuhan dukun santet di Banyuwangi 1999; peristiwa Wasior 2001; peristiwa Wamena 2003; Jambu Keupok, Aceh 2003; dan peristiwa Paniai 2014.
Dari 13 kasus itu, baru peristiwa Paniai 2014 yang diproses oleh Kejagung. Satu orang telah ditetapkan tersangka dalam kasus ini.
Presiden Joko Widodo, dalam pidato kenegaraan di depan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Selasa (16/8/2022), sempat menyampaikan bahwa penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu terus menjadi perhatian serius pemerintah. Ia juga mengangkat soal pengesahan keppres tersebut. ”Keppres (Keputusan Presiden) Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu telah saya tanda tangani,” kata Presiden Jokowi. Selain itu, Rancangan Undang-Undang (RUU) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sedang dalam proses pembahasan dan tindak lanjut atas temuan Komnas HAM juga masih terus berjalan.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Siti Ruhaini Dzuhayatin, melalui keterangan tertulis, Rabu, mengatakan, kebijakan Presiden terkait penyelesaian kasus dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk membentuk keppres, merupakan bentuk komitmen Presiden menyelesaikan kasus-kasus itu. Komitmen itu diklaimnya didasarkan pada tekad kuat Presiden untuk membebaskan Indonesia dari beban masa lalu yang menyandera dan menguras energi bangsa.
”Dengan terselesaikannya pelanggaran berat di masa lalu, bangsa Indonesia dapat menyongsong masa depan dengan percaya diri, bermartabat, dan optimistis dalam mewujudkan bangsa yang tangguh, mandiri, dan kompetitif di tingkat global,” ujarnya.
KANTOR STAF PRESIDEN
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Siti Ruhaini Dzuhayatin
Menurut Ruhaini, penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu sebelum diundangkannya UU Nomor 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dilakukan dengan dua pendekatan. Pendekatan dimaksud ialah yudisial dan non-yudisial.
Secara yudisial, Ruhaini menuturkan, Presiden Jokowi telah menginstruksikan Kejaksaan Agung dan mendorong Komnas HAM untuk terus melanjutkan proses hukum atas pelangggaran HAM berat. Dia mencontohkan kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Paniai Papua yang terjadi pada 2014. Dugaan kasus tersebut sudah dilimpahkan ke pengadilan. ”Atas upaya ini, Presiden mengapresiasi kesungguhan semua pihak, termasuk Kejagung dan Komnas HAM,” kata Ruhaini.
Adapun secara non-yudisial, upaya menyelesaikan pelanggaran HAM berat di masa lalu ditempuh pemerintah dengan menekankan aspek pengungkapan kebenaran, pemulihan korban, dan jaminan ketidakberulangan. Hal ini dilakukan dengan membentuk tim penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu oleh Presiden.
”Keppres saat ini sudah ditandatangani oleh Presiden. (Hal) Ini semakin menguatkan kinerja pemerintah dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu secara non-yudisial yang saat ini sedang berlangsung. Pemerintah dan DPR saat ini juga terus melakukan pembahasan untuk percepatan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,” ujar Ruhaini.
Ruhaini juga mengungkapkan beberapa upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu melalui pendekatan non-yudisial. Upaya tersebut ialah pelaksanaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh Pasca-Daerah Operasi Militer serta penyiapan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Papua yang menjadi bagian dari UU Otonomi Khusus (Otsus) Papua.