Asa Perempuan Lansia Penyintas Pelanggaran HAM Masa Lalu
Intrik politik yang terjadi pada 1965 mengorbankan sejumlah warga negara, termasuk perempuan. Kini meski sudah lanjut usia, mereka terus berjuang meminta negara memulihkan mereka yang distigma negatif pada masa itu.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO (WAK)
Aktivis HAM yang dimotori oleh Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan mengikuti Aksi Kamisan ke-626 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (16/1/2020).
Menua atau lanjut usia merupakan sebuah keniscayaan. Namun, menjalani hidup hingga usia senja dengan menanggung stigma negatif bukanlah hal yang mudah bagi sejumlah perempuan penyintas kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu. Trauma sebagai korban terus menggayuti hidup mereka hingga lanjut usia.
Ratapan para perempuan lanjut usia (lansia) penyintas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di masa lalu, khususnya peristiwa di tahun 1965, kembali disuarakan oleh Uchikowati Fauzia (70) pada webinar ”Pemenuhan Hak Lansia Khususnya Penyintas Pelanggaran HAM Masa Lalu” yang diselenggarakan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Jumat (3/6/2022).
”Kami sama seperti lansia lainnya. Kami adalah bagian dari bangsa Indonesia. Selama hidup kami tidak pernah tinggalkan Tanah Air. Kami sangat mencintai Indonesia sekalipun kami sering diperlakukan menjadi warga negara kelas dua. Karena itu, penerimaan dalam masyarakat terhadap lansia pelanggaran HAM, terutama penyintas 1965 itu sangat kami perlukan,” ujar Uchikowati dari keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu.
Semenjak reformasi 1998, Uchikowati bersama-sama perempuan penyintas lainnya yang telah lansia tak pernah lelah menyuarakan perjuangan mereka untuk mendapatkan pemulihan dari negara. Dia berharap, Pemerintah Indonesia memberikan ruang yang sama (dengan warga negara lain) bagi para lansia penyintas korban HAM masa lalu, korban tahun 1965, serta memberikan layanan sosial bagi kehidupan mereka di masa tua.
”Bukan karena miskin, melainkan karena mereka penyintas 1965. Karena ketika masih muda, hidupnya dihabiskan bukan untuk kerja, melainkan di dalam penjara. Itu sesuatu yang sangat merugikan karena (yang dialami) pada masa lalu tidak baik. Di sana ada trauma dan stigma yang hingga saat ini belum lepas dan selama ini belum pernah mendapatkan pemulihan dari negara,” kata Uchikowati.
KOMPAS/A PONCO ANGGORO
Suasana di Taman Baca Mini Rumah Belajar Pulau Buru di Savanajaya, Waeapo, Buru, Maluku, awal April 2017.
Sebagai penyintas pelanggaran HAM masa lalu, Uchikowati memaparkan, trauma terus mengikuti sepanjang hidup mereka. Kendati demikian, pendampingan yang dilakukan Komnas Perempuan semenjak reformasi 1998 memberikan kekuatan tersendiri bagi perempuan penyintas.
”Kami bisa berjumpa sesama korban dan menceritakan penderitaan masing-masing sehingga kami tidak pernah merasa sendiri. Ini sangat berarti,” tutur Uchikowati.
Khotimun Sutanti, Koordinator Pelaksana Harian Asosiasi Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan (LBH APIK) Indonesia, mendorong agar pengakuan oleh negara terhadap korban pelanggaran HAM berat, termasuk kekerasan seksual dan marjinalisasi perempuan korban pelanggaran HAM masa lalu, terwujud.
Penguatan lansia penyintas
Veryanto Sitohang, Ketua Subkom Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan, mengungkapkan, webinar tentang pemenuhan hak lansia, khususnya penyintas pelanggaran HAM masa lalu, digelar Komnas Perempuan untuk mengingatkan kita semua. Itu mengingatkan negara bahwa punya utang untuk memenuhi hak-hak lansia, khususnya lansia korban pelanggaran HAM masa lalu.
Komnas Perempuan mencatat sejumlah warga lansia yang ada saat ini merupakan bagian dari korban tragedi 1965. Saat ini mereka telah lansia dan sebagian besar dengan kondisi sakit-sakitan. Sebagian dari mereka tinggal bersama anak, saudara, bahkan ada yang tinggal sendiri dengan keadaan rumah yang tidak terlalu layak.
Perempuan lansia penyintas tragedi 1965 di sejumlah daerah yang membutuhkan perawatan medis yang intensif terus mengalami kesulitan dalam mengakses layanan kesehatan. (Rainy Maryke Hutabarat)
Ada yang tidak memiliki keluarga atau bahkan ditolak keluarga karena latar belakangnya yang dianggap ”salah” padahal mereka dipenjara atau dianggap bersalah tanpa proses hukum dan dibebaskan juga tanpa rehabilitasi nama baik. Hal ini membuat hingga kini ada dari mereka yang masih distigma oleh masyarakat bahkan oleh keluarga sendiri.
Rainy Maryke Hutabarat, anggota Komnas Perempuan, mengungkapkan, selama ini Komnas Perempuan memberikan dukungan kepada para perempuan penyintas pelanggaran HAM masa lalu, baik penyintas tragedi 1965 maupun tragedi 1998.
Untuk penyintas tahun 1965, Komnas Perempuan mendukung penguatan ekonomi melalui program pemerintah yang dilakukan oleh pemerintah daerah, seperti yang dilakukan Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Komnas Perempuan juga mendukung komunitas penyintas melalui pendekatan budaya, seperti komunitas Wanoja Binangkit dan Komunitas Dialita.
KOMPAS/KURNIA YUNITA RAHAYU
Kelompok Paduan Suara Dialita beranggotakan perempuan penyintas peristiwa 1965. Sudah bertahun-tahun mereka berhadapan dengan hukum untuk mendapatkan pemulihan hukum atas masa lalu mereka yang dituduh terlibat peristiwa Gerakan 30 September.
Begitu juga dukungan kepada penyintas untuk membangun memorabilia di 1965 di Palu, Jawa Tengah, DKI Jakarta, serta mendukung langkah mereka dalam mengakses bantuan dan kompensasi negara untuk korban pelanggaran HAM masa lalu melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Dukungan juga diberikan Komnas Perempuan untuk memorialisasi, mendukung rekomendasi Komnas HAM untuk mengakui tragedi Mei 1998 sebagai pelanggaran HAM berat. Selain itu, Komnas Perempuan juga mendukung penguatan ekonomi bagi penyintas kerusuhan Mei 1998 di DKI Jakarta, serta sedang membangun memorabilia Tragedi Mei 1998 di Solo.
Hingga kini, Komnas Perempuan terus mendorong pemenuhan hak atas pemulihan dan kompensasi bagi perempuan korban pelanggaran masa lalu. Sejauh ini para penyintas yang sudah berhasil mengakses bantuan dari LPSK adalah korban 1965 tetapi jumlahnya sangat terbatas.
Meski telah ada Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban, hingga kini para perempuan penyintas kekerasan seksual pelanggaran HAM masa lalu masih mengalami hambatan.
”Perempuan lansia penyintas tragedi 1965 di sejumlah daerah yang membutuhkan perawatan medis yang intensif terus mengalami kesulitan dalam mengakses layanan kesehatan. Skema layanan yang disediakan negara belum memenuhi hak dasar lansia, terutama tempat tinggal dan hak ekonomi,” kata Rainy.
KOMPAS/KHAERUL ANWAR (RUL)
Kalangan perempuan lanjut usa di Desa Sembalun Bumbung, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, antre mendapat layanan pemeriksaan kesehatan di Rumah Adat Desa Sembalun Bumbung, Kamis (2/8/2018). Kalangan usia lanjut dan perempuan janda ansia memiliki kontribusi terhadap angka kemiskinan di NTB.
Hak atas akses keadilan dan pemulihan bagi lansia, termasuk korban pelanggaran HAM berat, disuarakan Sandrayati Moniaga, anggota Komnas HAM, pada diskusi Peringatan Hari Lansia Nasional 2022 pada 25 Mei lalu.
”Lansia korban pelanggaran HAM berat berhak memiliki kesempatan untuk menuntut keadilan. Setiap korban pelanggaran HAM yang berat, beserta keluarga/ahli warisnya, memiliki hak atas reparasi. Program reparasi harus memberikan perhatian terhadap lansia,” ujar Sandrayati.
Karena itu, negara perlu merumuskan ulang kebijakan-kebijakan yang mendukung prinsip-prinsip perlindungan lansia untuk menjalankan kewajiban negara dalam perlindungan HAM bagi lansia.