Sidang Kasus HAM Paniai Mulai Bergulir, Jaksa Minta Sidang Maraton
Sidang kasus pelanggaran HAM berat Paniai akhirnya digelar, Rabu (21/9/2022). Isak Sattu, seorang purnawirawan TNI berpangkat mayor, didudukkan sebagai terdakwa. Sidang ini berpacu dengan waktu yang tersisa 83 hari.
Oleh
RENY SRI AYU ARMAN, FABIO MARIA LOPES COSTA
·5 menit baca
MAKASSAR, KOMPAS — Sidang kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat Paniai digelar perdana di Pengadilan Negeri Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (21/9/2022). Jaksa mengingatkan bahwa waktu yang tersisa untuk persidangan ini adalah 83 hari. Karena itu, mereka meminta sidang digelar secara maraton, setidaknya dua kali sepekan.
Sidang dengan agenda pembacaan dakwaan ini berlangsung singkat di ruang sidang Bagir Manan. Terdakwa Mayor (Inf) Isak Sattu (64), seorang purnawirawan TNI, hadir di persidangan didampingi penasihat hukumnya. Dalam kasus pelanggaran HAM ini, Isak menjadi terdakwa terkait dengan jabatannya selaku perwira penghubung Kodim 1705 Paniai saat masih aktif.
Majelis hakim pada persidangan ini dipimpin Hakim Ketua Sutisna Sawati. Empat hakim anggota yang mendampingi adalah Siti Noor Laila, Robert Pasaribu, Sofi Rahmadewi, dan Abdul Rahman Karim. Sementara jaksa penuntut umum dipimpin Erryl Prima Putera Agoes, Direktur Pelanggaran HAM Berat Jampidus Kejaksaan Agung.
Kasus Paniai adalah peristiwa di mana pasukan TNI menembak warga dan menyebabkan 4 orang meninggal dan 10 lainnya luka-luka di Distrik Paniai, Kabupaten Paniai, Papua. Kasus yang terjadi pada 2014 ini membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk dinyatakan sebagai pelanggaran HAM berat.
Penembakan itu terjadi di tengah unjuk rasa warga yang memprotes pemukulan yang dilakukan oleh sejumlah oknum TNI. Pemukulan ini sendiri adalah dampak cekcok mulut saat seorang anggota TNI nyaris menabrak sekelompok pemuda yang sedang meminta sumbangan di jalan untuk acara Natal.
Dalam dakwaannya, jaksa penuntut umum mengatakan, sebagai komandan militer, Isak Sattu dinilai tidak mampu mencegah terjadinya kejahatan dan pelanggaran kemanusiaan kepada warga sipil. Padahal, kejahatan ini dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah kekuasaannya.
”Terdakwa sebagai komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer seharusnya mengetahui bahwa pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif sedang melakukan, atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat, yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan, melakukan serangan yang meluas atau sistematik,” ujar jaksa.
Jaksa mengatakan, terdakwa mengetahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa pembunuhan. Namun, terdakwa tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut. Terdakwa juga tidak menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
”Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 42 Ayat 1 huruf a dan huruf b Jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf h, Pasal 40 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,” kata jaksa.
Dalam dakwaan yang dibacakan bergantian, jaksa menjelaskan, peristiwa pelanggaran HAM ini bermula pada awal Desember 2014. Saat itu, di sekitar Pondok Natal Gunung Merah, sejumlah warga meminta sumbangan kepada pengendara yang lewat. Sumbangan ini di antaranya untuk acara perayaan Natal. Saat itu, seorang anggota TNI melintas dan hampir menabrak salah seorang yang meminta sumbangan.
Mengingat waktu yang sudah mepet, kami minta persidangan dilakukan secara maraton setidaknya dua kali dalam seminggu.
Selanjutnya, terjadi adu mulut dan anggota TNI tersebut meninggalkan tempat. Namun, tak lama kemudian, dia datang lagi bersama anggota TNI lainnya dan melakukan pemukulan terhadap kelompok yang sebelumnya terlibat cekcok
Saksi dan korban kemudian melaporkan peristiwa ini ke Polres Paniai. Kasus ini berbuntut panjang saat warga melakukan aksi memblokade jalan di lokasi kejadian. Aparat kepolisian berusaha melerai dan membubarkan massa, tetapi sejumlah anggota TNI datang dan meminta polisi mundur. Sebagian polisi mundur, sebagian lainnya masih berusaha melakukan negosiasi. Saat itulah terdengar suara rentetan tembakan.
Massa kemudian berlari ke arah tembakan dan sebagian ke markas Koramil, di mana saat itu Komandan Koramil tidak berada di tempat. Sejumlah saksi mengatakan, terdakwa hanya melihat dan membiarkan anggota Koramil 1705-02/Enarotali mengambil senjata api dan peluru tajam dari gudang senjata.
Dalam situasi tersebut, termasuk saat anggota Koramil melakukan penembakan ke arah massa dan juga melakukan pengejaran serta penikaman dengan menggunakan sangkur, terdakwa tidak berusaha mencegah dan menghentikan serangan terhadap warga. Serangan ini menyebabkan empat warga meninggal akibat peluru tajam dan tikaman sangkur. Sebanyak 10 warga lainnya luka-luka.
Seusai membacakan dakwaan, Erryl mengatakan, sidang harus dijalankan secara maraton. Hal ini karena dari 180 hari masa persidangan, waktu yang tersisa hanya 83 hari.
”Ada lebih 50 saksi yang kami siapkan, belum lagi saksi ahli. Mengingat waktu yang sudah mepet, kami minta persidangan dilakukan secara maraton setidaknya dua kali dalam seminggu. Kami juga akan memilih saksi yang dihadirkan. Jika, misalnya, ada enam yang keterangannya sama, maka kami hanya akan menghadirkan dua di antaranya,” kata Erryl.
Sementara itu, penasihat hukum terdakwa mengatakan menerima dakwaan dan bersiap melanjutkan persidangan. Adapun terdakwa membantah dakwaan yang menyebut aksi dilakukan secara sistematis. ”Jika disebut sistematis, berarti kami sudah mempersiapkan dan mengatur sebelumnya. Padahal, ini kejadian yang spontan dan tiba-tiba,” katanya.
Hakim meminta terdakwa dan pengacara menyiapkan materi persidangan dan pembelaan dalam sidang selanjutnya.
Berlangsung tertib
Sidang berlangsung secara tertib. Selama sidang, pasukan dari kepolisian, termasuk Brimob, bersiaga di gedung pengadilan. Sejumlah kendaraan taktis juga disiapkan untuk mengantisipasi jika terjadi untuk rasa.
Sementara itu, di Papua, situasi juga kondusif. Wakil Kepala Polda Papua Brigadir Jenderal Ramdani Hidayat mengimbau masyarakat tetap tenang dan tidak terprovokasi dengan informasi bohong.
Ramdani menyatakan, semua personel kepolisian di 28 kabupaten dan satu kota di Papua disiagakan untuk mengantisipasi gangguan keamanan. Masyarakat yang melakukan aksi yang berdampak pada situasi keamanan akan diproses hukum.
”Proses persidangan kasus Paniai telah terlaksana sesuai dengan harapan masyarakat. Kami berharap masyarakat bisa menghormati hasil putusan dalam persidangan ini,” ucap Ramdani.
Sementara Kepala Polresta Jayapura Komisaris Besar Victor Mackbon menambahkan, pihaknya telah mendapatkan tambahan 200 personel Brimob Nusantara untuk pengamanan Kota Jayapura. ”Kami akan melaksanakan patroli dan razia senjata tajam secara rutin di seluruh wilayah Kota Jayapura,” ujarnya.