Pengadilan HAM Kasus Paniai Digelar, Korban Pesimistis Dapat Keadilan
Proses hukum yang berjalan dalam kasus Paniai dinilai sarat kejanggalan, tidak transparan, dan tidak bakal menghasilkan keadilan bagi korban.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengadilan Hak Asasi Manusia pada Pengadilan Negeri Makassar menyidangkan Mayor Inf (Purn) Isak Sattu, terdakwa tunggal yang oleh jaksa dinilai bertanggung jawab atas peristiwa berdarah di Distrik Paniai Timur, Paniai, Papua, pada 8 Desember 2014. Perwira Penghubung Komando Distrik Militer (Kodim) 1705/Paniai tersebut dinilai bersalah atas terbunuhnya empat warga dan belasan orang lainnya yang luka-luka saat membubarkan aksi massa warga setempat.
Namun, korban dan keluarga korban yang tergabung dalam Organisasi Korban Pelanggaran HAM Bersatu untuk Kebenaran (BUK) pesimistis pengadilan HAM tersebut mampu menghadirkan keadilan. Ketua Organisasi Korban Pelanggaran HAM BUK Tineke Rumkabu melihat proses hukum yang berjalan dalam kasus Paniai penuh kejanggalan, tidak transparan, dan tidak bakal menghasilkan keadilan bagi korban.
”Dari kasus sebesar itu, hanya satu orang saja yang menjadi tersangka. Banyak pelaku yang ada di tempat kejadian pada saat peristiwa terjadi. Lalu yang lain-lainnya di mana. Kami merasa proses-proses seperti ini, kami sebagai orang Papua berpikir tidak akan dapat keadilan dari pemerintah dan negara,” kata Tineke dalam jumpa pers daring yang diselenggarakan oleh LBH Makassar, YLBHI, PBHI, dan Elsham Papua, Selasa (20/9/2022).
Mayor Inf (Purn) Isak Sattu didakwa bersalah karena selaku komandan militer seharusnya mengetahui pasukannya baru saja melakukan pelanggaran HAM berat, yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan dengan cara melakukan serangan langsung kepada penduduk sipil yang mengakibatkan terbunuhnya warga.
Isak Sattu dinilai tidak melakukan tindakan yang layak untuk mencegah terjadinya peristiwa tersebut. Ia didakwa melanggar Pasal 42 Ayat (1) huruf a dan huruf b jis Pasal 7 Huruf b, Pasal 9 Huruf a, dan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Tineke juga menolak dilakukannya persidangan Paniai di Makassar sebab hal tersebut menyulitkan korban dan keluarga korban untuk mengikuti jalannya persidangan. Dibutuhkan biaya besar jika hendak mengikuti proses tersebut.
Pada akhirnya, Organisasi Korban Pelanggaran HAM Bersatu untuk Kebenaran pun menilai bahwa proses penegakan hukum yang dilakukan untuk kasus Paniai hanyalah untuk menghibur hati warga Papua yang selama ini mengharapkan keadilan. Namun, proses tersebut jauh dari keadilan yang diharapkan warga.
Bagi pemerintah, tambah Tineke, hal tersebut hanya merupakan pencitraan agar dunia internasional melihat Indonesia sedang menangani kasus pelanggaran HAM di Papua.
”Ketika proses di Makassar berjalan, terjadi lagi pelanggaran di Papua, seperti kasus mutilasi di Timika dan Mappi. Seakan-akan kekerasan terus terjadi di Papua,” kata Tineke yang menilai tidak ada itikad baik dari negara untuk menghentikan kekerasan di pulau paling timur Indonesia tersebut.
Hal senada diungkapkan Yones Douw, perwakilan keluarga korban. Ia mempertanyakan siapakah Isak Sattu yang saat ini dihadapkan ke meja hijau. ”Siapa Isak Sattu itu? Apakah korban dan saksi pernah melihat dia, Isak Sattu itu tidak dikenal sama sekali. Kami tidak tahu, tidak kenal dengan yang ditetapkan sebagai tersangka,” ujarnya.
Yones juga mempertanyakan mengapa laporan Komnas HAM dan kepolisian tidak sinkron dengan proses hukum yang berjalan. Ia menyebutkan bahwa ada empat kesatuan yang melakukan penembakan terhadap warga Paniai. ”Pelakunya cuma satu, padahal empat kesatuan. Negara sedang melindungi pelaku sebenarnya. Saksi melihat orang yang mengeluarkan perintah,” kata Yones Douw.
Pesimisme terhadap proses hukum yang kini berjalan juga diungkapkan oleh Matheus Adadikam dari Elsham Papua. Menurut dia, nasib pengadilan kasus Paniai akan sama dengan pengadilan-pengadilan kasus pelanggaran HAM sebelumnya.
Haedir dari LBH Makassar pun mengatakan bahwa pelanggaran HAM tidak mungkin dilakukan oleh satu orang. Karena unsur-unsur dalam delik pelanggaran HAM mencakup perbuatan yang sistematis, meluas, dan dilakukan secara terstruktur sehingga ada yang disebut sebagai pertanggungjawaban atasan.
”Apa yang kelihatan dalam penetapan satu tersangka ini sangat tidak masuk akal. Pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan secara sistematis itu tidak hanya oleh satu orang. Artinya, saya mau bilang bahwa sebenarnya pengadilan HAM kali ini memang diciptakan untuk gagal. Gagal membuktikan siapa pelaku yang sebenarnya,” tambahnya.
Julius Ibrani dari Persatuan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) juga melihat adanya upaya mengebiri dalam penanganan kasus Paniai. Rantai komando dalam proses penanganan kasus Paniai sejak awal diputus, unsur sistematis dan masif dalam kasus tersebut sudah dihapuskan. Hal ini mengakibatkan tanggung jawab komando dan institusi dalam kasus Paniai hilang.
”Menjadi inisiatif pribadi masing-masing. Maka, ini sama saja dengan perbuatan pidana pada umumnya,” kata Julius.