Usulan Pengganti Lili Pintauli Dapat Nol Suara Saat Seleksi di DPR
Dua nama usulan Presiden sebagai pengganti Lili Pintauli yang mundur dari posisi Wakil Ketua KPK adalah Johanis Tanak dan I Nyoman Wara. Keduanya tidak dipilih satu anggota Komisi III DPR pun saat seleksi pada 2019.
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo mengusulkan dua nama pengganti Lili Pintauli Siregar, yang mengundurkan diri dari jabatan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi saat kasus dugaan pelanggaran etiknya ditangani Dewan Pengawas KPK. Kedua nama tersebut ialah Johanis Tanak dan I Nyoman Wara.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad saat ditemui di Kompleks Senayan, Jakarta, Selasa (20/9/2022), mengatakan, pimpinan DPR telah menerima surat presiden (surpres) terkait pengganti Lili Pintauli Siregar sebagai Wakil Ketua KPK pada Kamis (15/9).
Dalam surat, ada dua nama yang diusulkan Presiden, tetapi Dasco tak mau mengungkapkannya. Untuk menindaklanjuti surat tersebut, pimpinan DPR akan menggelar rapat pimpinan (rapim) pada pekan depan.
”Jadi nanti hari Senin (26/9) itu ada rapim dan kemudian memberikan penugasan kepada komisi teknis terkait, yaitu Komisi III DPR untuk mekanismenya. Nanti Komisi III DPR akan memproses,” ujar Dasco.
Lili mengundurkan diri saat Dewas KPK akan menggelar persidangan etik Lili atas dugaan penerimaan gratifikasi berupa akomodasi dan tiket menonton MotoGP di Mandalika, Nusa Tenggara Barat, dari sebuah perusahaan milik negara. Presiden kemudian menerima pengunduran diri Lili tersebut melalui keputusan presiden (keppres) tertanggal 11 Juli. Artinya, jabatan Wakil Ketua KPK telah kosong sekitar dua bulan.
Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengatakan, calon pengganti Lili akan diambil dari lima calon yang tak terpilih saat seleksi pimpinan KPK di DPR pada 2019. Mereka adalah Sigit Danang Joyo, Luthfi Jayadi, I Nyoman Wara, Johanis Tanak, dan Roby Arya Brata, Kompas (13/7/2022).
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, mengungkapkan, kedua nama yang diusulkan Presiden adalah Johanis Tanak dan I Nyoman Wara. Johanis Tanak yang berlatar belakang sebagai jaksa dan I Nyoman Wara yang berlatar belakang auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
DPR, lanjutnya, memiliki waktu 30 hari kerja di luar waktu reses untuk memproses pengisian jabatan Wakil Ketua KPK. Pada prinsipnya, Komisi III akan segera menjadwalkan proses pengisian jabatan tersebut setelah mendapat penugasan dari pimpinan DPR.
Dari dua usulan nama yang masuk, DPR akan melakukan uji kelayakan dan kepatutan untuk memilih satu di antara keduanya. Uji kelayakan dan kepatutan tetap ditempuh meski keduanya sudah melalui ujian itu saat pemilihan calon pimpinan KPK pada 2019.
”Karena ada dua calon, kami harus pilih satu, ya, harus kami pilih. Bukan lagi persetujuan. Untuk KPK ini, mekanismenya memang bukan persetujuan, tetapi pemilihan. Berbeda dengan hakim agung, berbeda dengan Kapolri itu, kan, persetujuan semua,” ujar Arsul.
Catatan Kompas, saat proses voting dalam uji kelayakan dan kepatutan calon pimpinan KPK pada pertengahan September 2019, Johanis Tanak dan I Nyoman Wara tidak mendapat suara satu pun dari anggota Komisi III DPR. Bahkan, jika merunut suara terbanyak saat proses voting, urutan selanjutnya setelah lima pimpinan KPK 2019-2023 terpilih masih ada Sigit Danang Joyo dari Kementerian Keuangan (19 suara) dan Luthfi Jayadi Kurniawan yang berlatar belakang dosen (7 suara).
Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Gerindra Desmond Junaidi Mahesa mengaku tidak tahu alasan pemerintah memilih Johanis Tanak dan I Nyoman Wara sebagai calon yang pengganti Lili untuk kemudian dipilih DPR. Sebab, panitia seleksi tersebut ada di pemerintah.
Sementara itu, Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri mengatakan, proses pengisian jabatan Wakil Ketua KPK sepenuhnya menjadi ranah dari presiden dan DPR sebagaimana ketentuan Undang-Undang KPK. ”Jadi bukan ranah KPK terkait dengan siapa yang akan mengganti dari Bu LPS tersebut. Kami serahkan sepenuhnya pada mekanisme dan proses sebagaimana ketentuan yang berlaku,” ucapnya.
Argumentasi saat seleksi
Dalam uji publik dan wawancara oleh Tim Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK, akhir Agustus 2019, Johanis Tanak menyampaikan, selama ini ada kekeliruan dalam penerapan operasi tangkap tangan (OTT). Sebab, operasi dan tangkap tangan adalah dua hal yang bertentangan.
”Operasi itu kegiatan terencana. Sementara menurut ilmu hukum, tangkap tangan itu suatu peristiwa pidana yang terjadi yang seketika itu juga pelaku tindak pidananya ditangkap. Jadi, tidak ada rencana untuk ditangkap. Kalau direncanakan, itu bukan lagi tangkap tangan,” kata Johanis.
Menurut dia, jika operasi dengan penyadapan dan kemudian mengetahui bahwa orang itu akan melakukan penyuapan, akan lebih baik kalau yang bersangkutan dipanggil untuk membuat surat pernyataan. Langkah ini juga untuk mencegah agar uang negara tidak banyak keluar untuk membiayai proses pemeriksaan.
”Saya akan memberi masukan ini kepada pimpinan lain bahwa (OTT) tidak sesuai teori hukum. Dengan begitu, uang negara bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kesejahteraan masyarakat,” ujar Johanis.
Sementara itu, I Nyoman Wara, dalam uji kelayakan dan kepatutan calon pimpinan KPK oleh Komisi III DPR, pertengahan September 2019, berpandangan, manajemen sumber daya manusia di KPK bermasalah. Sejumlah persoalan muncul karena pengelolaan pegawai tidak merujuk pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).
Salah satunya mengenai pengangkatan penyidik internal. Padahal, dalam putusan Mahkamah Konstitusi, sudah dinyatakan bahwa KPK memang bisa mengangkat penyidik sendiri, tetapi perekrutannya harus mengikuti ketentuan UU ASN.
Menurut Nyoman, pengelolaan pegawai yang tak mengacu pada UU ASN itu memunculkan sejumlah masalah, di antaranya ketidakjelasan status pegawai. Soal penghasilan, pola pembinaan, dan pengembangan karier pun tak jelas.
Beragam ketidakjelasan itu juga rentan menimbulkan konflik. Ini terutama di antara pegawai tetap KPK dan pegawai negeri sipil (PNS) yang diperbantukan untuk bekerja di lembaga itu.
Lebih dari itu, sistem kepegawaian yang ada saat ini dinilainya membuat KPK tak solid. Dia menilai, pegawai terbagi ke dalam sejumlah faksi. Hal itu berdampak pada kinerja pemberantasan korupsi yang tidak efektif dan efisien.
Ia pun mengusulkan agar ada sistem pengawasan yang ketat terhadap kerja pegawai KPK. Pengawasan itu setidaknya dilakukan dalam tiga bentuk, di antaranya pengawasan oleh atasan langsung. Selanjutnya, perlu ada pengawasan internal yang meliputi ranah kerja dan etik pegawai. Terakhir, pengawasan eksternal, yaitu yang dilakukan oleh BPK.
Selain itu, Nyoman berpandangan, KPK belum mampu mengelola barang sitaan dan rampasan. Hal ini menyebabkan adanya kejanggalan dari hasil audit terhadap BPK pada 2018 yang menyatakan wajar dengan pengecualian (WDP).