Lili Terperosok di “Lubang” Etik yang Sama
Wakil Ketua KPK Lili Pintauli diadukan telah menerima gratifikasi. Penerimaan gratifikasi sebenarnya bukan sekadar pelanggaran kode etik, melainkan sebuah bentuk pelanggaran pidana.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Lili Pintauli Siregar bakal kembali berhadapan dengan Dewan Pengawas KPK dalam sidang etik. Kali ini lantaran Lili dilaporkan telah menerima gratifikasi berupa akomodasi dan tiket menonton MotoGP di Mandalika, Nusa Tenggara Barat, dari sebuah perusahaan milik negara.
Dewan Pengawas (Dewas) KPK telah memutuskan untuk membawa perkara dugaan pelanggaran kode etik unsur pimpinan KPK itu ke sidang etik. Keputusan diambil setelah Dewas KPK melakukan investigasi dengan mengumpulkan keterangan dari sejumlah pihak terkait laporan pemberian gratifikasi kepada Lili.
Menurut rencana, sidang etik akan digelar pada 5 Juli 2022. ”Tanggal 5 Juli ada panggilan sidang,” kata anggota Dewas KPK, Harjono, saat ditanya mengenai kapan sidang etik untuk kasus Lili tersebut digelar, Jumat (1/7/2022).
Baca juga : Lili Pintauli Bakal Kembali Jalani Sidang Etik
Kasus itu bermula dari pengaduan yang diterima Dewas KPK pada medio April lalu. Saat itu, Lili dilaporkan telah menerima gratifikasi dari PT Pertamina (Persero). Diduga, gratifikasi yang diterima Lili berupa akomodasi dan tiket untuk menonton MotoGP di Sirkuit Internasional Mandalika.
Perkara gratifikasi itu menambah panjang kasus dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Lili. Pada akhir Agustus 2021, Lili terbukti melanggar etik karena telah menyalahgunakan pengaruh selaku unsur pimpinan KPK untuk kepentingan pribadi. Tak hanya itu, ia juga berkomunikasi dengan pihak yang perkaranya sedang ditangani KPK, yakni bekas Wali Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara, M Syahrial. Atas pelanggaran tersebut, Lili dijatuhi sanksi berupa pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama satu tahun.
Kemudian, pada 20 April 2022, Dewas KPK menyatakan Lili telah terbukti melakukan kebohongan dalam jumpa pers pada 30 April 2021. Saat jumpa pers itu, Lili menepis telah menjalin komunikasi dengan M Syahrial terkait dengan penanganan perkara. Namun, Dewas memutuskan tak melanjutkan kasus itu karena hukuman untuk Lili sudah termaktub dalam putusan perkara komunikasi dengan M Syahrial sebelumnya.
Putusan Dewas KPK itu tentu memincu kontroversi, terutama terkait sanksi pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama satu tahun. Publik menilai, sanksi tersebut sangatlah ringan diberikan kepada seseorang yang menjabat sebagai pemimpin lembaga antirasuah yang sehari-hari meneriakkan soal integritas dan nilai-nilai antikorupsi lainnya.
Tak pelak, kasus pelanggaran etik Lili turut memperburuk citra KPK. KPK yang sejak kelahirannya pada 2003 selalu menjadi lembaga negara yang paling dipercaya publik kini citranya terus menurun. Hasil survei Litbang Kompas pada Juni 2022 menunjukkan, citra KPK hanya berada di angka 57 persen. Angka ini merupakan titik terendah sepanjang survei Kompas sejak Januari 2015. Padahal, pada survei Januari 2022, citra KPK sempat membaik menjadi 70,9 persen setelah sebelumnya turun dari 76,9 persen pada April 2021 menjadi 68,6 persen dalam survei Oktober 2021.
Sementara itu, setelah adanya kepastian kasus dugaan pelanggaran etik itu akan dilanjutkan ke persidangan, beredar kabar Lili mengundurkan diri dari jabatannya. Terhadap informasi tersebut, Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri menyampaikan, hingga saat ini Lili belum menyampaikan informasi apa pun. Lili masih berkonsentrasi menjalankan tugasnya untuk beberapa waktu ke depan.
Ali menegaskan, KPK tentu mendukung sepenuhnya proses penegakan etik yang sedang berlangsung di Dewas KPK. Sebab, langkah Dewas KPK itu sudah sesuai dengan tugas dan kewenangan yang diatur dalam Pasal 37B Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. KPK menyakini penegakan kode etik insan KPK adalah bagian dari upaya penguatan pemberantasan korupsi yang dilaksanakan oleh lembaga antirasuah tersebut.
Ujian Dewas KPK
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Zaenur Rohman, saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (29/6/2022), mengatakan, perkara etik Lili terkait dugaan penerimaan gratifikasi untuk menonton MotoGP menjadi ujian terakhir bagi Dewas dalam penegakan kode etik di lingkup internal KPK. Dewas diharapkan mampu mengedepankan prinsip zero tolerance.
”Melalui putusannya ini nanti, publik akan melihat, apakah Dewas ini adalah satu lembaga yang masih bisa diharapkan atau tidak? Nah, kalau Dewas kembali lembek, saya khawatir, ini akan semakin meruntuhkan kepercayaan publik terhadap Dewas dan secara tanggung renteng ini nanti juga akan berakibat menurunkan kepercayaan publik terhadap institusi KPK,” ujar Zaenur.
Baca juga : Terbukti Berhubungan dengan Pihak Beperkara, Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Dihukum Potong Gaji
Jika serius ingin menjaga marwah lembaga KPK, Dewas harus menjatuhkan sanksi berat berupa permintaan mengundurkan diri sebagai unsur pimpinan KPK kepada Lili. Sanksi berat ini bukan tanpa alasan. Penerimaan gratifikasi, menurut dia, bukanlah sekadar pelanggaran kode etik, melainkan sebuah bentuk pelanggaran pidana.
Semakin ironis, gratifikasi tersebut diduga diterima oleh pemimpin KPK. Ia menilai, hal ini tak hanya hanya merugikan KPK, tetapi juga negara. Sebab, gerakan melawan korupsi dan memberantas gratifikasi akan menjadi sia-sia ketika pimpinan KPK sendiri menerima gratifikasi dari badan usaha milik negara (BUMN).
Dewas harus menjatuhkan sanksi berat berupa permintaan mengundurkan diri sebagai unsur pimpinan KPK kepada Lili. Sanksi berat ini bukan tanpa alasan. Penerimaan gratifikasi bukanlah sekadar pelanggaran kode etik, melainkan sebuah bentuk pelanggaran pidana.
”KPK sendiri sebagai lembaga yang bertugas menyosialisasikan integritas dan antigratifikasi justru kemudian permisif dalam menerima gratifikasi. Jadi, Dewas sudah harus tegas. Upaya pemberantasan korupsi, upaya menyosialisasikan antigratifikasi, harus diselamatkan,” ucap Zaenur.
Tak ada alasan yang meringankan dari Lili. Sebagai unsur pimpinan KPK, Lili seharusnya sangat paham bahwa gratifikasi itu dilarang. Pun, jika Lili menerima gratifikasi, hal itu harus segera dilaporkan, bukan malah diterima.
Perkara ini sungguh tidak memberi teladan kepada insan KPK, para penyelenggara negara lain, dan juga seluruh rakyat Indonesia. ”Ini adalah contoh yang buruk, dan justru contoh yang buruk tersebut diberikan oleh seorang (unsur) pimpinan KPK,” katanya.
Mengarah ke pidana
Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti, Jakarta, Azmi Syahputra, sependapat dengan Zaenur. Jika Lili terbukti menerima gratifikasi, ada norma perilaku dan norma jabatan yang dilanggar berulang kali dan dapat menjadi tindak pidana jabatan. Perbuatan tindak pidana jabatan ini terjadi karena Lili telah melewati batas wewenang jabatannya.
Terlepas dari itu, kasus etik yang lagi-lagi melibatkan Lili ini sungguh menjadi ujian bagi Dewas KPK sebagai penjaga marwah lembaga KPK. Jika keputusan Dewas nanti bertentangan dengan suara publik dan tak mampu memberikan efek jera, bukan tak mungkin pimpinan KPK dan pejabat negara yang lain, begitu pula masyarakat, akan jatuh pada lubang yang sama. Ironisnya lagi, hal tersebut dilanggengkan oleh penjaga marwah kelembagaan seperti Dewas KPK.