Komnas HAM: Sambo Lakukan Pembunuhan di Luar Hukum terhadap Brigadir J
Ketua Komnas Ahmad Taufan Damanik mengatakan, Komnas HAM bersama Komnas Perempuan telah selesaikan laporan atas dugaan pembunuhan Brigadir J. Selain pembunuhan di luar hukum, juga penghalangan keadilan.
Oleh
IQBAL BASYARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berkesimpulan telah terjadi extrajudicial killing atau pembunuhan di luar hukum yang dilakukan bekas Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Inspektur Jenderal Ferdy Sambo kepada ajudannya, Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat. Bahkan, penanganan kasusnya pun mengalami obstruction of justice atau penghalangan keadilan.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Ahmad Taufan Damanik saat konferensi pers di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, di Jakarta, Senin (12/9/2022), mengatakan, Komnas HAM bersama Komnas Perempuan telah menyelesaikan laporan terhadap dugaan pembunuhan terhadap Nofriansyah. Laporan akan diserahkan kepada pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Dari hasil seluruh penelusuran, investigasi, pengumpulan fakta, data, dan permintaan keterangan yang sudah dilakukan beberapa waktu terakhir, ada dua kesimpulan yang diperoleh. Pertama, terjadi extrajudicial killing atau pembunuhan di luar hukum yang dilakukan Ferdy terhadap Nofriansyah. Kedua, Komnas HAM pun sangat yakin telah terjadi secara sistematik obstruction of justice atau penghalangan keadilan dalam kasus yang kini sedang ditangani penyidik dan tim khusus Mabes Polri.
Pertama, terjadi extrajudicial killing atau pembunuhan di luar hukum yang dilakukan Ferdy terhadap Nofriansyah. Kedua, Komnas HAM pun sangat yakin telah terjadi secara sistematik obstruction of justice atau penghalangan keadilan dalam kasus yang kini sedang ditangani penyidik dan tim khusus Mabes Polri.
Dari dua kesimpulan pokok tersebut, Komnas HAM percaya bahwa pengenaan Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang pembunuhan berencana yang dilakukan oleh penyidik dikunci oleh dua kesimpulan itu. ”Kami berharap, melalui prinsip-prinsip fair trial (asas praduga tak bersalah), majelis hakim bisa memberikan hukuman yang seberat-beratnya atau setimpal kepada apa yang dilakukan sebagai satu tindak pidana,” ujarnya.
Atas laporan tersebut, lanjut Ahmad, ada lima rekomendasi yang disampaikan kepada pemerintah. Pertama, Komnas HAM meminta untuk melakukan pengawasan atau audit kinerja dan kultur kerja di Kepolisian Negara RI untuk memastikan tidak terjadinya penyiksaan, kekerasan, atau pelanggaran HAM lainnya. Rekomendasi itu tidak semata-mata berangkat dari kasus Nofriansyah, tetapi juga dari data-data, pengaduan, atau kasus-kasus yang mereka tangani selama ini, terutama dalam lima tahun periode di bawah kepemimpinan Komnas HAM periode sekarang.
Kedua, Komnas HAM meminta Presiden Joko Widodo memerintahkan Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo untuk menyusun mekanisme pencegahan dan pengawasan berkala terkait penanganan kasus kekerasan, penyiksaan, atau pelanggaran HAM lainnya yang dilakukan oleh anggota Polri. ”Seperti yang sekarang kita alami, anggota Polri-nya, bahkan pejabat tingginya yang melakukan tindak kekerasan atau penyiksaan itu, maka diperlukan suatu mekanisme pencegahan dan pengawasan berkala,” tuturnya.
Seperti yang sekarang kita alami, anggota Polri-nya, bahkan pejabat tingginya yang melakukan tindak kekerasan atau penyiksaan itu, maka diperlukan suatu mekanisme pencegahan dan pengawasan berkala.
Ketiga, lanjut Ahmad, pihaknya meminta dilakukan pengawasan bersama antara Polri dan Komnas HAM terhadap berbagai kasus kekerasan, penyiksaan, atau pelanggaran HAM lainnya yang dilakukan anggota Polri. Komnas HAM memandang perlu mekanisme bersama antara pihak kepolisian dan Komnas HAM untuk pengawasan kasus-kasus tersebut.
Keempat, mempercepat proses pembentukan Direktorat Pelayanan Perempuan dan Anak di Polri. Adapun rekomendasi yang terakhir adalah memastikan infrastruktur untuk pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, termasuk kesiapan kelembagaan dan ketersediaan peraturan pelaksanaannya. Sebagai UU yang baru disahkan tahun ini, dibutuhkan kelengkapan infrastuktur agar bisa diimplementasikan secara optimal.
Karena itu, kami berharap pemerintah memastikan penyiapan infrastruktur dan peraturan pelaksanaan dari UU TPKS yang merupakan hasil perjuangan dari begitu banyak aktivis HAM, terutama aktivis perempuan.
”Karena itu, kami berharap pemerintah memastikan penyiapan infrastruktur dan peraturan pelaksanaan dari UU TPKS yang merupakan hasil perjuangan dari begitu banyak aktivis HAM, terutama aktivis perempuan,” kata Ahmad.
Bukan pro ”justitia”
Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan, laporan Komnas HAM dan Komnas Perempuan adalah hasil laporan yang tidak pro justitia atau tidak demi atau untuk hukum atau undang-undang. Oleh sebab itu, laporan itu akan disampaikan agar didalami oleh kepolisian. ”Memang betul, kalau dari laporan ini juga memang sudah jelas perencanaan pembunuhan Pasal 340 dan 338 sehingga kalau Sambo itu tidak bisa mengelak,” tuturnya.
Soal motif yang hingga hari ini belum diungkap, menurut Mahfud, tidak harus ada, tetapi boleh ada juga karena terkadang hakim ingin tahu. ”Karena motif itu apakah orang sehat atau orang gila, jadi digali motifnya. Kalau sudah tidak gila sebenarnya cukup. Tetapi mungkin apakah emosional atau terencana dan seterusnya itu terserah polisi yang mengolah itu. Dan polisi kan tahu yang mana yang harus didalami, mana yang tidak,” ucapnya.
Saya kira ini langkah yang tepat dan yang diharapkan masyarakat. Kalau berharap lebih dari itu, langsung menghukum orang, sekarang tidak bisa. Hukum itu ada due process of law (proses hukum yang semestinya).
Adapun langkah-langkah perbaikan yang disampaikan oleh Komnas HAM akan dijalankan. Mahfud mengaku sudah berkoordinasi dengan kepolisian. Kapolri pun disebut sudah melakukan langkah-langkah awal untuk menghentikan segala sesuatu yang tidak tepat karena kejadian seperti itu tidak boleh terjadi di Polri. Langkah-langkah itu nantinya akan dilembagakan, sedangkan pencegahan akan dibuat dalam sebuah mekanisme yang normal di dalam peraturan-peraturan dan kebijakan polisi.
Ia menilai langkah yang dilakukan Polri atas kasus kematian Nofriansyah sudah ada di jalan yang tepat. Bahkan, saat ini sudah ada 12 tersangka yang ditetapkan, yakni pelaku berjumlah 5 orang dan 7 orang yang menghalangi keadilan (obstruction of justice). Itu belum termasuk sejumlah anggota Polri yang dipecat karena etik, demosi, dan ditunda kenaikan pangkatnya.
”Saya kira ini langkah yang tepat dan yang diharapkan masyarakat. Kalau berharap lebih dari itu, langsung menghukum orang, sekarang tidak bisa. Hukum itu ada due process of law (proses hukum yang semestinya),” ucap Mahfud.
Pihaknya pun sudah berkoordinasi dengan kejaksaan dan menegaskan berkas perkara tersangka pembunuhan Nofriansyah tidak dikembalikan terus-menerus dari kejaksaan ke kepolisian. Hanya ada satu kali pengembalian berkas.
”Memang dalam kasus lain banyak yang bolak-balik, tetapi kalau ini kan terang benderang karena sudah ada yang bekerja, ya polisi, Komnas HAM, Komnas Perempuan, masyarakat semua. Agak susah kalau bolak-balik, kalau bolak-balik akan ketahuan di mana masalahnya,” kata Mahfud.