Belum genap empat bulan disahkan, UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sudah digugat ke MK. MK diminta untuk membatalkan karena dinilai cacat formil.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi diminta untuk membatalkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang revisi kedua UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan atau PPP karena dinilai cacat formil. Revisi UU PPP dicurigai hanya sekadar untuk melegitimasi keberadaan UU tentang Cipta Kerja yang dibentuk dengan metode omnibus. Sebelumnya, metode omnibus tidak diatur dalam UU PPP.
Pemohon juga meminta agar MK menunda pemberlakuan UU 13/2022 tersebut. Adapun permohonan diajukan oleh Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani, dosen Hukum Tata Negara Universitas Ekasakti Laurensius Arliman, mahasiswa Universitas Indonesia Bayu Satria Utama, Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Mereka didampingi oleh 33 kuasa hukum, di antaranya Arif Maulana dan Muhammad Busyrol Fuad. Sidang perdana pemeriksaan pendahuluan perkara tersebut digelar pada Senin (5/9/2022) dengan hakim ketua panel Wahiddudin Adams.
Salah satu kuasa hukum, Shevierra Danmadiyah, mengungkapkan, UU PPP mengatur proses pembentukan sebuah regulasi setingkat undang-undang harus melalui lima tahapan, yakni perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, penetapan, dan pengundangan. Namun, revisi kedua UU PPP tidak melalui pelaksanaan seluruh tahapan tersebut secara benar. Tiga tahapan, yakni perencanaan, penyusunan, dan pembahasan, tidak dijalankan sesuai prosedur.
Ia juga menyatakan bahwa dalih pemerintah merevisi UU PPP sebagai tindak lanjut putusan MK Nomor 71/PUU-XVIII/2020 terkait uji formil UU Cipta Kerja tidak tepat. Mengacu pada Pasal 10 Ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011, revisi sebuah undang-undang sebagai tindak lanjut putusan MK hanya berlaku jika UU tersebut dinyatakan inkonstitusional. Padahal, UU No 12/2011 tidak pernah dinyatakan bertentangan dengan konstitusi oleh MK.
”Seharusnya yang ditindaklanjuti pemerintah dan DPR adalah memperbaiki UU Cipta Kerja. Revisi kedua UU PPP hanya untuk melegitimasi keberadaan UU Cipta Kerja dan praktik-praktik gelap yang membantu lahirnya UU Cipta Kerja,” kata Shevierra.
Pemohon juga mempersoalkan praktik partisipasi dalam proses revisi kedua UU P3 yang hanya sampai pada tahap informing. Artinya, informasi hanya diberikan satu arah dari pembentuk undang-undang kepada publik, tanpa ada saluran yang disediakan untuk memberikan umpan balik terhadap rancangan revisi yang dilakukan. Hal tersebut dinilai tidak sesuai dengan putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang mensyaratkan adanya partisipasi bermakna atau meaningfull participation dalam pembentukan undang-undang.
Seharusnya yang ditindaklanjuti pemerintah dan DPR adalah memperbaiki UU Cipta Kerja. Revisi kedua UU PPP hanya untuk melegitimasi keberadaan UU Cipta Kerja dan praktik-praktik gelap yang membantu lahirnya UU Cipta Kerja
Kuasa hukum lainnya, Sayyidatul Insiyah, mengatakan, pembentuk undang-undang melanggar enam dari tujuh asas pembentukan peraturan perundangan yang baik, antara lain, pelanggaran asas kejelasan tujuan, kelembagaan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, dan keterbukaan.
Terkait asas kejelasan tujuan, misalnya, kuasa pemohon menilai revisi kedua UU PPP yang ditegaskan oleh pemerintah untuk melaksanakan putusan MK Nomor 91/2020 sebenarnya hanya untuk memberikan payung hukum bagi metode omnibus dalam pembentukan peraturan perundangan. Lebih dari itu pemohon memandang revisi tersebut sebenarnya hanya perwujudan dari kepentingan untuk melegitimasi UU Cipta Kerja yang mendapat penolakan dari masyarakat.
Pelanggaran terhadap asas kelembagaan, menurut pemohon, terlihat ketika dalam pembahasan revisi UU PPP di DPR, tim pemerintah dipimpin oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Padahal, dalam pandangan pemohon, semestinya revisi UU PPP menjadi tanggung jawab menteri di bidang hukum.
Hakim konstitusi Arief Hidayat dan Suhartoyo menyoroti syarat formil dalam pengajuan perkara ke Mahkamah Konstitusi, yakni tanda tangan para pemohon dalam permohonan dan surat kuasa terhadap 32 kuasa hukum yang belum seluruhnya ditandatangani.
Selain itu, Arief juga meminta para pemohon untuk menjelaskan secara gamblang kerugian yang dialami akibat pembentukan UU PPP. Ia juga meminta agar pemohon menggunakan batu uji pasal-pasal di dalam konstitusi dan bukan UU PPP lama. Pasal-pasal di UUD 1945 itu dapat diambil dalam makna eksplisit dan implisit. ”Coba bayangkan, Anda menguji UU PPP baru dengan batu uji UU PPP lama. Itu rasionya bagaimana,” kata Arief.
Suhartoyo mempertanyakan argumentasi pemohon yang menyatakan bahwa MK tidak memerintahkan UU PPP diubah di dalam putusan MK Nomor 91/2021 tentang UU Cipta Kerja. ”Meski tidak secara eksplisit menegaskan itu, MK minta supaya tata cara pembentukan undang-undang dengan menggunakan metode omnibus itu harus diberi fondasi. Apakah itu dalam bentuk undang-undang tersendiri atau menempel di UU No 12/2011 merupakan pilihan pembentuk undang-undang,” kata Suhartoyo yang meminta pemohon untuk membaca kembali putusan Nomor 71/2021 secara utuh.