Revisi UU PPP yang Justru Bisa Mengacaukan Tata Kelola Pembentukan Regulasi
Pemerintah dan DPR diharapkan memiliki visi reformasi regulasi yang sama saat merevisi UU PPP, yakni memperbaiki tata kelola peraturan perundang-undangan secara menyeluruh, bukan hanya untuk memperbaiki UU Cipta Kerja.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
Revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan atau PPP belum menyelesaikan persoalan mendasar dalam penyusunan peraturan perundang-undangan di Tanah Air. Sebaliknya, dengan munculnya perubahan pada beberapa ketentuan lain di luar pengaturan mengenai metode omnibus law, revisi UU PPP justru berpotensi mengacaukan tata kelola pembentukan regulasi.
Dalam Rapat Paripurna DPR dengan agenda Penutupan Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2021/2022, Kamis (14/4/2022), Revisi UU PPP batal dimintakan persetujuan untuk disahkan. Sebab, pimpinan DPR baru menerima surat dari pimpinan Badan Legislasi (Baleg) DPR, Rabu malam, sehingga penjadwalannya dalam rapat Badan Musyawarah (Bamus) akan diputuskan pada masa sidang berikutnya yang akan dibuka pada 17 Mei 2022.
Pembahasan revisi UU PPP itu berlangsung alot, terutama di internal pemerintah sendiri. Lobi-lobi dan rapat setengah kamar terus diintensifkan untuk memastikan RUU itu dapat diselesaikan pada Rabu (13/4/2022) malam. Perbedaan pendapat terutama mengemuka tentang kementerian mana yang akan mengundangkan peraturan perundang-undangan, serta siapa yang akan mewakili pemerintah dalam menghadapi pengujian UU di Mahkamah Konstitusi (MK) dan peraturan di bawah UU di Mahkamah Agung.
Pemerintah akhirnya tetap menginginkan agar kewenangan pengundangan itu digeser ke Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg). Kementerian ini berwenang mengundangkan UU dan peraturan presiden (perpres). Namun, untuk peraturan perundang-undangan di luar UU dan perpres masih menjadi kewenangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
Selain itu, Kemenkumham tidak lagi disebut secara eksplisit sebagai koordinator kementerian yang mewakili Presiden dalam pengujian di MK. Penanganan pengujian terhadap UU di MK disepakati untuk dilaksanakan oleh menteri atau kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan dan melibatkan menteri atau lembaga terkait.
Pengajar hukum tata negara Universitas Andalas, Khairul Fahmi, mengatakan, pengundangan UU dan Perpres oleh Kemensetneg, dan peraturan lainnya oleh Kemenkumham, justru membuat pelaksanaan fungsi pembentukan peraturan perundang-undangan menjadi terpecah-pecah. Ketentuan ini berbeda dengan UU No 12/2011 yang memberikan kewenangan pengundangan seluruhnya kepada Kumham.
”Fungsi pembentukan peraturan perundang-undangan di tangan siapa, atau kementerian mana menjadi tidak jelas. Sebab, mulai dari perencanaan, pembentukan, pengesahan, dan pengundangan itu merupakan bagian proses pembentukan peraturan perundang-undangan, yang merupakan satu kesatuan,” ucapnya, Jumat (15/4/2022).
Sebagai satu kesatuan proses, seharusnya fungsi itu ditangani satu kementerian dan tidak dipecah-pecah ke kementerian lainnya. Kalaupun tidak ditangani oleh Kemenkumham, menurut Fahmi, peran dan fungsi itu dapat dijalankan satu lembaga yang sama, misalnya, Pusat Legislasi Nasional, yang pernah diusulkan Presiden Joko Widodo pada 2019. Sayangnya, sampai sekarang usulan pembentukan Pusat Legislasi Nasional itu belum juga ditindaklanjuti.
Peran pengundangan yang dibagi-bagi, menurut Fahmi, akan mengacaukan tata kelola pembentukan peraturan perundang-undangan. ”Kalau antarkementerian dan lembaga tarik-menarik, yang akan rusak ialah tata kelola peraturan perundang-undangan kita,” ucapnya.
”Penarikan fungsi pengundangan dari Kemenkumham pun memicu pertanyaan mendasar, apakah selama ini ada persoalan dengan fungsi Kemenkumham tersebut. Kenapa fungsi pengundangan harus ditarik dari Kumenkumham, apakah selama ini ada masalah dengan pengundangan di Kumham, sehingga kewenangan itu harus dipecah dengan kementerian atau lembaga lain,” kata Fahmi.
Peran, tugas, dan fungsi Kemensetneg yang membawahi bidang kesekretariatan dinilai tidak berkaitan dengan proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, pergeseran pengundangan UU dan Perpres dari Kemenkumham ke Kemensetneg menjadi pertanyaan.
Menurut Fahmi, pengaturan mengenai pengundangan seharusnya tidak menjadi tarik-tarikan kewenangan antarkementerian dan lembaga. Demikian pula dalam peran perwakilan pemerintah di pengujian di MK maupun MA. Kemenkumham sebagai kementerian yang membawahi bidang hukum dan perundang-undangan bagaimana pun menjadi koordinator perwakilan pemerintah, sekalipun tetap melibatkan kementerian teknis terkait.
Kementerian lain sekalipun secara substansi bertanggung jawab atas isi atau draf UU, tetapi ketika diundangkan menjadi UU dan diujikan di pengadilan, hal itu menjadi tanggung jawab Kemenkumham sebagai kementerian yang membidangi hukum dan perundang-undangan. Demikian halnya saat sinkronisasi, harmonisasi, dan pemantapan konsepsi UU, Kumenkumham memiliki fungsi di dalamnya.
Soal peran Kemenkumham dan Setneg dalam pengundangan, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Achmad Baidowi mengatakan, alasan masing-masing pihak sama kuatnya. ”Karena memang sejarahnya dulu pengundangan ada di Kemenkumham. Baru kemudian pada 2005 pengundangannya dipindah ke Kemenkumham. Jadi, sama-sama punya versi sejarah. Tinggal bagaimana kebutuhan pemerintah,” katanya.
Namun, karena sudah disepakati di pembahasan tingkat I antara pemerintah dan Baleg DPR, Baidowi mengatakan, pengesahan RUU PPP itu dalam rapat paripurna di masa sidang berikutnya hanya soal waktu saja.
PKS Menolak
Dari sembilan fraksi, hanya satu fraksi yang menolak di pembahasan tingkat I, yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sebelumnya, fraksi-fraksi di DPR pun terbelah karena sikap pemerintah yang berbeda menyangkut pengundangan dan perwakilan pemerintah di MK.
Awalnya, hanya Fraksi Gerindra dan Golkar yang mendukung pendapat pemerintah. Namun, setelah melalui lobi-lobi intensif, delapan fraksi menyepakati usulan pemerintah, dan hanya PKS yang meminta pendalaman.
Sekretaris Fraksi PKS di DPR Ledia Hanifa, yang juga anggota Panitia Kerja (Panja) RUU PPP, mengatakan, masih diperlukan pendalaman terhadap pembahasan RUU PPP. Salah satunya dengan mengundang akademisi dan pakar hukum sehingga diperoleh pandangan yang jernih.
”Pembahasan RUU ini terasa dilakukan secara tergesa-gesa dan kejar tayang untuk disahkan. Padahal, seharusnya DPR dapat menjalankan fungsi legislasi yang telah dijamin dalam konstitusi dengan lebih cermat dan hati-hati karena menyangkut keberlakukan suatu undang-undang dalam waktu yang panjang dan kemaslahatan bagi masyarakat luas,” katanya.
Ledia mengatakan, revisi UU PPP pun seharusnya tidak hanya dijadikan sarana untuk menyediakan payung hukum bagi pembentukan UU Cipta Kerja seperti diminta melalui putusan MK. Namun, sebagai ikhtiar menyusun tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan yang lebih baik, serta menyelesaikan tumpang tindih regulasi yang ada.
Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Fajri Nursyamsi mengatakan, pengundangan di tangan Kemensetneg di satu sisi dapat mempercepat pengundangan karena UU tidak bolak-balik antara Kemensetneg dan Kemenkumham.
Hanya saja, ketentuan ini menunjukkan kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan yang semrawut karena melibatkan terlalu banyak kementerian atau lembaga dalam setiap tahapannya. ”Dengan kewenangan yang masih terpisah-pisah, egosektoral masih akan terus ada,” katanya.
PSHK juga menyayangkan proses pembahasan RUU PPP yang kurang partisipatif. Dengan situasi ini, PSHK meminta agar pengesahan revisi UU PPP tidak dilakukan di masa sidang berikutnya.
”Pemerintah dan DPR diharapkan memiliki visi reformasi regulasi yang sama, yakni untuk memperbaiki tata kelola peraturan perundang-undangan secara menyeluruh, serta tidak memanfaatkan momentum perubahan UU PPP ini untuk melegitimasi kepentingan politik jangka pendek,” ujar Fajri.