Saat Konsolidasi Demokrasi Berpacu dengan Konsolidasi Oligarki
Jika kondisi ini dibiarkan, oligarki yang memiliki uang dan sumber daya yang akan bertarung dalam proses demokrasi yang ada.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·5 menit baca
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Sebuah mural bertema demokrasi menghiasi tembok kantor Komisi Pemilihan Umum Kota Solo, Jawa Tengah, Jumat (13/10/2017).
Situasi demokrasi di sejumlah negara saat ini dinilai tengah mengalami kemunduran, tak terkecuali dengan Indonesia. Di negeri ini, demokrasi dinilai menjadi permainan kaum oligarki yang menguasai sumber daya atau kapital sehingga tidak memberi tempat kepada orang-orang dengan ideologi untuk memberi warna pada kebijakan negara.
Salah satu penyebab demokrasi menjadi mainan kaum oligark di antaranya tidak ada jaminan kesejahteraan sosial bagi masyarakat, yang dapat mendekatkan gap dari masyarakat kelas atas dan kelompok masyarakat miskin. Sepanjang masih ada gap tersebut, sekitar 30 juta warga miskin masih dapat dipengaruhi oleh politik uang.
Demikian benang merah diskusi bertajuk ”Merumuskan Peta Jalan Konsolidasi Demokrasi 2045” sekaligus sebagai penutup Sekolah Demokrasi Angkatan V yang diselenggarakan oleh LP3ES, Minggu (4/9/2022).
Kegiatan tersebut menghadirkan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon, Wakil Rektor III Universitas Diponegoro, Semarang, Budi Setiyono, dan lainnya.
Panitia Pemungutan Suara (PPS) menghitung ulang surat suara Pemilu 2019 untuk kemudian dimasukkan ke dalam kotak suara setiap tempat pemungutan suara di kantor Kecamatan Menteng, Jakarta, Selasa (26/3/2019).
Dalam kesempatan tersebut, Budi mengungkapkan, bangsa Indonesia sudah mengalami proses demokratisasi yang panjang tetapi belum sempurna. Ketidaksempurnaan tersebut bisa dipotret dari adanya kesenjangan pendapatan rakyat kebanyakan dengan sekelompok kecil orang the have yang luar biasa.
Penyebab ketidaksempurnaan itu, kata Budi, antara lain karena adanya transisi demokrasi yang juga kurang sempurna. Di negara maju seperti Perancis, transisi yang terjadi di abad pertengahan dengan revolusi industri yang bersamaan dengan konsep demokrasi dibarengi dengan adanya redistribusi kekayaan nasional yang dikawal secara ketat oleh kekuatan buruh dan kaum liberal/kapitalis.
Redistribusi kekayaan nasional tersebut tidak menyisakan ruang bagi adanya gap yang terlalu tinggi antara kaum the have dan the have not sehingga tidak memunculkan kesempatan bagi kaum berpunya untuk memeroleh kekuasaan kembali secara mutlak.
SUPRIYANTO
Ilustrasi
”Di negara kita ini cukup mengerikan. Demokrasi tak akan punya makna apa-apa jika tidak membawa kesejahteraan. Gap terjadi karena kita tidak mempersiapkan sistem sosial welfare seperti yang ada di Jerman atau negara-negara Nordic. Di Jerman, orang tidak akan terpengaruh dengan uang Rp 100.000 atau Rp 10.000 untuk sekadar mencoblos calon A, B, atau C. Karena rakyat Jerman sudah terbebas dari kebutuhan dasar. Di negara kita, 30 juta rakyat masih menganggap uang Rp 50.000 atau Rp 100.000 itu meaning full untuk bertahan hidup dalam kebutuhan sehari-hari,” katanya.
Fadli Zon menegaskan bahwa demokrasi hanyalah alat untuk mencapai tujuan bangsa. Ia mengutip Bung Hatta mengenai cita-cita kemerdekaan Indonesia, yaitu kebahagiaan rakyat, kesejahteraan rakyat, kebebasan, dan perdamaian. Kebahagiaan rakyat oleh Bung Hatta diartikan sebagai rakyat cukup makan dengan gizi yang memadai, memiliki hunian layak, perumahan layak, sakit bisa ke rumah sakit, dan memiliki jaminan hari tua.
”Demokrasi bukan tujuan, melainkan alat untuk mencapai cita-cita tadi. Itu tujuan kita,” kata Fadli Zon.
Menurut dia, saat ini terjadi perlombaan konsolidasi demokrasi dengan konsolidasi oligarki. Apabila kondisi saat ini dibiarkan, oligarki yang memiliki uang dan sumber daya yang akan bertarung dalam proses demokrasi yang ada. ”Jadi, permainan demokrasi itu permainan orang kaya. Orang yang punya uang,” katanya.
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Fadli Zon
Oleh karena itu, Fadli Zon menilai pentingnya membuat institusi berjalan sesuai dengan keinginan demokrasi. KPU, Bawaslu, dan petugas pemilihan di level paling bawah bekerja secara benar dan netral. Demikian pula dengan aparat pemerintah. Sementara intervensi pun perlu dilakukan secara tepat sehingga demokrasi tidak hanya terbatas pada demokrasi prosedural.
Otoritarian
Agus Harimurti Yudhoyono mengingatkan agar bangsa ini tidak kembali ke masa otoritarian. Ada beberapa indikasi yang patut diwaspadai dan direnungkan bersama terkait benarkah bangsa ini menuju ke arah otoritarian, di antaranya adanya wacana dan operasi politik untuk melanggengkan kekuasaan tanpa melalui pemilihan yang demokratis. ”Tambah sehari pun jika tanpa pemilu demokratis, tentu itu inkonstitusional,” ungkapnya.
Ia juga mengingatkan tentang adanya fenomena government by the few atau kekuasaan yang diatur oleh sekelompok elite. ”Semua bisa diatur antara penguasa dan pengusaha besar. Ini juga tidak sehat. Goverment of the few terbukti di sejumlah negara rontok pada akhirnya,” ujarnya. Alasan lainnya adalah dibungkamnya suara-suara kritis.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Agus Harimurti Yudhoyono
Agus juga mengungkap tentang tantangan demokrasi yang saat ini dihadapi Indonesia, yaitu politik uang yang semakin sulit untuk dikendalikan sehingga yang terjadi adalah pemilu yang transaksional; politik identitas yang semakin mengemuka di Indonesia dan di belahan bumi lainnya, serta adanya elite politik yang ingin mengeksploitasi perbedaan identitas; post truth politic atau politik fitnah di era digital yang juga sulit dikontrol.
Menurut dia, banyak pihak yang tergoda menggunakan post truth politic yang berpotensi memecah persatuan anak bangsa dengan cara menebar berita bohong dan ujaran kebencian.
”Sekarang ada pekerjaan yang merugikan, yaitu buzzer politik yang tugasnya memproduksi berita tidak benar yang bertugas menjatuhkan lawan politik atau lawan usaha. Ini hanya akan membuat kita mundur sekian dekade belakang. Apalagi kalau post truth politic bergabung dengan politik identitas, ini bahaya sekali. Pemilu 2014 dan pemilu 2019 residunya masih kita rasakan sekarang,” kata Agus.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Warga berswafoto dengan latar gapura hias di sekitar TPS 44, Kelapa Gading Timur, Jakarta Utara, pada pemilihan presiden, Rabu (17/4/2019). Hiasan nuansa perdesaan in dibuat untuk menyemarakkan Pilpres 2019 dan mendorong warga untuk aktif memilih.
Sistem elektoral
Agus mengakui, budaya politik memang masih menjadi masalah sehingga menyumbang bagi kemunduran demokrasi seperti penilaian dari sejumlah lembaga internasional, misal The Economist Intelligence Unit. Literasi politik menjadi penting demi membangun kesadaran politik yang rasional dan budaya politik yang bermartabat.
Ia juga mengakui, politik uang bukan semata-mata terjadi secara alamiah di mana masyarakat membutuhkan uang kemudian ditawari oleh politisi yang sedang mengumpulkan dukungan suara. Ia sepakat bahwa maraknya praktik politik uang tersebut sangat terpengaruh oleh sistem elektoral yang sangat terbuka. Ia pun mendukung perlunya kajian perubahan sistem politik elektoral menjadi semi terbuka ataupun semi tertutup.
Ia mencontohkan kader-kader di internal Partai Demokrat yang memiliki gagasan mengenai perbaikan sistem bernegara tetapi tidak memiliki kesempatan turun ke daerah (konstituen) karena harus mengurus partai. Meskipun yang bersangkutan memiliki kapasitas dan integritas yang baik, dalam pemilihan akhirnya terkalahkan oleh orang yang easy going dan tidak memiliki gagasan mendalam tentang bernegara tetapi memiliki kapital.
”Vote buying tidak bisa serta-merta kita hilangkan begitu saja, selagi mereka yang seharusnya independen tetapi malah berpihak. Justru merekalah sumber masalahnya. Bukannya memberikan penalti kepada mereka yang berbuat seperti itu, melainkan jadi bagian dari masalah,” ujarnya.