Skor Indeks Demokrasi Indonesia Membaik, tetapi Tantangan Masih Besar
Setelah terpuruk pada 2020, skor Indonesia pada Indeks Demokrasi 2021 versi The Economist Intelligence Unit kembali meningkat.

Ilustrasi. Sebuah mural bertema demokrasi menghiasi tembok Kantor Komisi Pemilihan Umum Kota Solo, Jawa Tengah, Jumat (13/10/2017). Mural tersebut membawa pesan tentang tumbuhnya proses demokrasi di tengah keberagaman sosial budaya masyarakat.
JAKARTA, KOMPAS — Kenaikan skor Indonesia pada Indeks Demokrasi global patut diapresiasi. Namun, tantangan dalam memperbaiki kualitas demokrasi masih besar karena Indonesia tetap berada di kategori ”demokrasi cacat”. Perlindungan kebebasan sipil, independensi lembaga yudisial, serta keselarasan kebijakan pemerintah dan kehendak publik dinilai bisa memperbaiki kualitas demokrasi.
Indeks Demokrasi 2021 yang diluncurkan The Economist Intelligence Unit (EIU), awal Februari 2022, menunjukkan, skor rata-rata Indonesia pada indeks itu mencapai 6,71. Dari skala 0-10, makin tinggi skor, makin baik kondisi demokrasi suatu negara. Skor ini naik dibandingkan dengan tahun 2020, yakni 6,30, yang sekaligus menjadi raihan terendah Indonesia sejak EIU menyusun indeks ini pada 2006.
Kini, peringkat Indonesia naik dari 64 menjadi 52 dari 167 negara yang dikaji. Indonesia masuk 10 negara dengan kinerja peningkatan skor terbaik. Namun, Indonesia masih masuk kategori flawed democracy (demokrasi cacat).
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute yang juga pengajar komunikasi politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Gun Gun Heryanto, Senin (14/2/2022), mengatakan, kenaikan skor perlu diapresiasi karena sejak 2015 skor Indonesia cenderung turun.
Menurut dia, kenaikan ini dipengaruhi kuat oleh sikap pemerintah. Pada 2020, penanganan pandemi Covid-19 cenderung tidak efektif. Kebijakan publik yang dibuat juga tidak memperhatikan opini masyarakat, termasuk revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi dan Undang-Undang Cipta Kerja. Namun, saat ini UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi yang menandakan regulasi tersebut memang bermasalah sejalan dengan yang selama ini disuarakan oleh publik.
Baca juga : Pandemi Beri Tekanan Indeks Demokrasi Indonesia

Gun Gun Heryanto
”Pemerintah seharusnya sadar, salah satu yang akan menaikkan atau menurunkan Indeks Demokrasi ialah mereka sendiri. Pemerintah harus lebih mengoptimalkan peran selaras dengan kehendak publik,” ujarnya.
Pemerintah juga hendaknya tak memunculkan ketidakpastian penyelenggaraan pemilihan umum karena bisa merusak aspek konstitusionalitas, struktural, dan politis pada sistem demokrasi Indonesia. Keberpihakan pada kebebasan sipil juga harus dibuktikan dengan merevisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mengandung pasal-pasal karet yang mengancam kebebasan sipil.
Pemerintah seharusnya sadar, salah satu yang akan menaikkan atau menurunkan Indeks Demokrasi ialah mereka sendiri. Pemerintah harus lebih mengoptimalkan peran selaras dengan kehendak publik.
Dipengaruhi dua hal
Dalam laporannya, EIU menyebut Indonesia bisa membalikkan tren kemerosotan kualitas demokrasi berkat dua hal. Pertama, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada November 2021 yang menyatakan UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat serta meminta pemerintah dan DPR merevisinya. Selain itu, politik Presiden Joko Widodo yang mengakomodasi berbagai kelompok politik dalam kabinet dinilai kondusif untuk membangun konsensus antarkekuatan politik.
Adapun dari lima indikator yang diukur oleh EIU untuk menentukan Indeks Demokrasi, skor Indonesia naik pada tiga aspek, yakni keberfungsian pemerintah, yakni dari 7,50 menjadi 7,86. Kebebasan sipil naik dari 5,59 menjadi 6,18. Sementara partisipasi politik melesat dari skor 6,11 menjadi 7,22.
Baca juga : Indeks Demokrasi Indonesia Stagnan, Komitmen Elite Diuji
Namun, masih ada dua aspek yang stagnan dibandingkan dengan tahun lalu. Proses elektoral dan pluralisme tak bergerak di skor 7,92. Adapun indikator budaya politik juga masih berada di angka 4,38. Di kawasan Asia Tenggara, kualitas demokrasi Indonesia masih lebih rendah dari Malaysia (7,24) dan Timor Leste (7,06).
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menilai, dua hal yang digarisbawahi EIU berarti pemerintah sangat menjaga independensi peradilan dan mengedepankan konsensus untuk kemajuan bangsa. Pemerintah, menurut dia, tak berpuas diri dengan penilaian itu.
EIU menyebut Indonesia bisa membalikkan tren kemerosotan kualitas demokrasi berkat dua hal. Pertama, putusan Mahkamah Konstitusi pada November 2021 yang menyatakan UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat serta meminta pemerintah dan DPR merevisinya. Selain itu, politik Presiden Joko Widodo yang mengakomodasi berbagai kelompok politik dalam kabinet dinilai kondusif untuk membangun konsensus antarkekuatan politik.

Pemerintah tetap berkomitmen menjaga dan merawat demokrasi. Perbaikan di berbagai aspek juga dilakukan. Untuk bisa mencapai semua itu, katanya, pemerintah bersama elemen-elemen strategis demokrasi serta masyarakat perlu bahu-membahu mengupayakannya.
Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani berharap, pada masa mendatang, kenaikan Indeks Demokrasi juga disumbang oleh kebijakan meluaskan penerapan prinsip keadilan restoratif dalam menangani kasus terkait ekspresi di ruang publik, termasuk yang menggunakan platform media sosial.
”Jika ini dilakukan oleh jajaran penegak hukum, termasuk Polri, saya yakin akan mampu mengerek angka indeks tersebut lebih tinggi lagi,” ujar Arsul.
Ia menilai, salah satu sebab yang membuat indeks demokrasi Indonesia belum tinggi karena penanganan kasus-kasus ekspresi, terutama terhadap orang yang dianggap berseberangan dengan pemerintah, terkesan berlebihan. Namun, itu terjadi sebelum introduksi prinsip keadilan restoratif digulirkan. Jika keadilan restoratif ini diterapkan dalam kasus-kasus itu, diyakini akan menjadi poin yang meningkatkan indeks demokrasi.
”Apalagi kalau pada tahun 2022 ini revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang terkait dengan pasal-pasal yang dinilai menjadi pintu proses hukum yang represif diajukan oleh pemerintah ke DPR dan proses legislasinya dijalankan,” ujar anggota Komisi III DPR tersebut.

Berbagai ekspresi aspirasi disampaikan mahasiswa yang berunjuk rasa di sekitar Gedung MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, Selasa (24/9/2019). Ekspresi menentang kebijakan pemerintah tak sekadar turun ke jalan dan pekik teriak lantang berorasi.
Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Hidayat Nur Wahid mengatakan, keyakinan global terhadap independensi MK yang membuat skor indeks demokrasi meningkat merupakan sebuah tantangan bagi Indonesia, terutama MK. Sebab, independensi itu akan kembali diuji saat uji materi syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden serta uji materi Undang-Undang Ibu Kota Negara.
”MK semestinya mengawal putusannya soal UU Cipta Kerja yang diputuskan konstitusional bersyarat,” ujarnya.
Anggota Komisi VIII DPR itu menilai, demokrasi amat berkaitan dengan kesejahteraan rakyat. Jika kondisi pandemi terus berdampak ke sektor ekonomi dan membuat perekonomian masyarakat menurun, dikhawatirkan berdampak juga ke demokrasi, terutama politik uang dalam demokrasi elektoral.
Hal lain, menurut Hidayat, kepastian tanggal pemilu dan pilkada yang disepakati oleh KPU, pemerintah, dan DPR merupakan hal yang memperkuat demokrasi Indonesia. Sebab, hal itu memastikan pergantian kekuasaan dalam demokrasi terus dijaga dengan baik. ”Peningkatan ini harus menjadi pemicu untuk menjadikan Indonesia lebih demokratis, tidak hanya dalam indeks, tetapi juga dalam realitas,” ujarnya.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Luqman Hakim mengatakan, budaya demokrasi juga menjadi catatan bagi PKB. Selain itu, proses elektoral juga harus bisa memastikan tidak hanya dilaksanakan secara prosedural, tetapi juga substansi yang dapat berujung pada peningkatan partisipasi masyarakat. ”Sekarang masih banyak mobilisasi daripada partisipasi,” ujarnya.
Belum berubah
Direktur Center for Media and Democracy Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) sekaligus pengajar politik di Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, Wijayanto, memandang, peningkatan kualitas demokrasi Indonesia memang tidak serta-merta bisa dilihat secara kuantitatif. Berdasarkan penelitian kualitatif yang dilakukan LP3ES sepanjang 2021, demokrasi Indonesia tak banyak berubah dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Hal itu ditandai dengan diabaikannya aturan main demokrasi dengan berembusnya wacana perpanjangan batas masa jabatan presiden dari dua menjadi tiga periode, alotnya penentuan tanggal pemilu yang disinyalir karena tarik-menarik kepentingan oligarki, serta upaya memberangus oposisi dalam konflik Partai Demokrat.
Wijayanto menambahkan, penggunaan kekerasan oleh aparat terhadap warga juga masih terjadi. Pembatasan kebebasan berekspresi masyarakat sipil, bahkan pelaporan aktivis oleh pejabat negara ke kepolisian masih dilakukan.
”Situasi obyektif demokrasi Indonesia masih di arah kemunduran dan putar balik ke arah otoritarianisme. Hal itu terjadi karena konsolidasi oligarki yang makin cepat dan kuat,” kata Wijayanto.

Tangkapan layar dari video berisi tindak kekerasan yang dilakukan anggota kepolisian terhadap seorang mahasiswa, MFA (21), di Kabupaten Tangerang, Banten, yang terjadi pada Rabu (13/10/2021). Video ini telah beredar luas di media sosial.
Literasi politik
Dalam konteks tersebut, lanjutnya, terdapat fenomena bangkitnya ”kewargaan digital” yang menjadi harapan perbaikan demokrasi ke depan. LP3ES mencatat, terdapat ratusan ribu hingga jutaan pernyataan penolakan dari warganet yang disampaikan melalui media sosial setiap ada kebijakan publik yang dinilai bermasalah. Oleh karena itu, ke depan, kekuatan masyarakat sipil harus terus diperkuat untuk mengimbangi kekuasaan negara.
”Kewargaan digital ini perlu dilihat secara serius, bukan sekadar orang meracau, melainkan perwujudan kebangkitan kesadaran warga tentang hak mereka, tentang peradaban politik yang lebih baik,” kata Wijayanto.
Gun Gun sepakat, kesadaran masyarakat akan hak sipil politik yang dimiliki dan harus diperjuangkan dalam koridor demokrasi dan hukum penting untuk terus diperkuat. Hal itu merupakan salah satu cara untuk memperbaiki budaya politik Indonesia di samping institusionalisasi politik oleh pemerintah dan partai politik. Apalagi, dari tahun ke tahun, aspek budaya politik ini merupakan indikator indeks demokrasi yang nilainya selalu stagnan.
Di samping menuntut hak, warga juga harus sadar atas kewajibannya dalam membangun peradaban politik. Sebab, politik tidak hanya milik para elite, tetapi juga masyarakat. Salah satunya bisa dilakukan dengan menjaga keadaban dan tetap menghormati etika hukum saat mengekspresikan sikap atau menyatakan pendapat di media sosial. Warga juga hendaknya tak lagi permisif dengan politik uang.
”Dalam konteks ini, literasi politik menjadi hal yang perlu terus dilakukan,” ujar Gun Gun.