Adopsi Pengaturan Masa Jeda Bekas Narapidana Korupsi di Pileg 2024
Aturan masa jeda bagi bekas narapidana korupsi yang ingin berkontestasi di pilkada dinilai bisa jadi acuan untuk pemberlakuan aturan serupa bagi calon anggota legislatif di Pemilu Legislatif 2024.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum diminta mengadopsi pengaturan masa jeda lima tahun bagi bekas narapidana korupsi dalam Pemilu Legislatif 2024 seperti halnya yang berlaku dalam pemilihan kepala daerah. Tanpa aturan itu, dikhawatirkan bekas narapidana korupsi kembali marak maju atau dicalonkan partai politik dalam pemilu.
Pada Pemilu 2019, Komisi Pemilihan Umum melalui Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 pernah melarang bekas narapidana korupsi ikut Pemilu Legislatif (Pileg) 2019. Namun, setelah diuji ke Mahkamah Agung, larangan itu dibatalkan karena dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Hal ini berdampak pada munculnya puluhan calon anggota legislatif (caleg) di Pileg 2019 yang berstatus bekas narapidana korupsi. Ada 81 caleg berstatus bekas narapidana korupsi dari 14 partai politik. Hasilnya, delapan caleg di antaranya atau 9,9 persen terpilih di Pemilu 2019.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Nurul Amalia, mengatakan, KPU semestinya mengatur perihal caleg berlatar belakang bekas narapidana korupsi. KPU bisa mengadopsi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56 Tahun 2019 terhadap UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah yang menyebutkan mantan terpidana bisa maju menjadi calon kepala daerah lima tahun setelah selesai menjalani pidana.
”Kalau tidak ada aturan mengenai masa jeda, akan banyak lagi mantan koruptor yang maju dalam Pileg 2024,” ujarnya saat diskusi bertajuk ”Mantan Terpidana Korupsi Boleh Nyaleg?” yang digelar secara daring, Senin (29/8/2022).
Turut menjadi pembicara peneliti Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif, Ihsan Maulana; peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana; serta peneliti Transparency International Indonesia, Sahel Muzzammil.
Nurul mengatakan, KPU bisa mengadopsi aturan tersebut karena untuk jabatan-jabatan publik yang dipilih, MK menyatakan bahwa hal itu tidak sepenuhnya diserahkan kepada rakyat tanpa persyaratan sama sekali. Apalagi, rezim pemilu dan pilkada sama sehingga putusan MK terhadap UU Pilkada bisa juga diterapkan dalam UU Pemilu.
Lebih lanjut, menurut dia, kehadiran caleg mantan terpidana korupsi justru meningkatkan kerentanan pemilih dan tidak sejalan dengan tujuan pemilu. Keberadaan mereka bertolak belakang dengan upaya mendorong tata kelola pemerintahan yang baik karena bekas narapidana korupsi pernah melakukan kejahatan yang merugikan publik.
Oleh sebab itu, lanjut Amalia, parpol seharusnya menyediakan calon yang memiliki komitmen dan visi untuk mewujudkan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik. Ketika parpol masih mencalonkan bekas narapidana korupsi, hal itu justru menjadi pertanyaan publik atas komitmen mereka dalam pemberantasan korupsi. ”Parpol hanya ikut pemilu, tetapi cenderung tidak punya niat untuk membangun tata kelola pemerintahan yang baik,” katanya.
Ihsan menilai, praktik baik dalam pilkada seharusnya bisa diadopsi dalam pemilu. Karena itu, KPU mestinya mengaturnya dalam PKPU tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota yang akan diterapkan dalam Pemilu 2024. Aturan tersebut pun sebaiknya segera dibuat karena saat ini sejumlah parpol sudah mulai menjaring bakal caleg yang akan berlaga pada 2024.
Menurut Kurnia, diskursus mengenai bekas narapidana korupsi akan selalu muncul ketika komitmen parpol terhadap antikorupsi masih lemah. Keberadaan mantan narapidana korupsi justru menunjukkan parpol kesulitan mencari orang-orang berintegritas sekaligus menunjukkan demokrasi yang bermasalah karena parpol memberikan ”karpet merah” kepada pelaku tindak pidana korupsi.
Parpol dan bekas narapidana korupsi yang berlaga kembali di Pileg 2024 menunjukkan mereka tidak memiliki rasa malu kepada masyarakat. Sebab, mereka telah mengkhianati mandat yang diberikan ribuan hingga ratusan ribu konstituen dengan mencuri kekayaan negara maupun menerima suap dan gratifikasi.
ICW mencatat, ada 310 anggota legislatif yang ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kurun waktu 2004 hingga 2022. Maka, dengan kembalinya bekas narapidana korupsi, dikhawatirkan korupsi di sektor legislatif tidak akan membaik karena mereka berpotensi mengulang perbuatan yang sama. Apalagi, koruptor selalu berdalih tidak terlibat korupsi dan menganggap korupsi bukan persoalan hukum yang serius.
”Kalau parpol tetap mengajukan kadernya yang pernah terlibat korupsi, bukan tidak mungkin masyarakat semakin tidak percaya dengan parpol,” ujar Kurnia.