Kapolri Beberkan Upaya Rekayasa dan Penghalangan Penyidikan di Kasus Brigadir J
Titik terang pengungkapan kasus pembunuhan Brigadir J tampak setelah Eliezer mengubah keterangannya. Mengapa Eliezer mengubah keterangannya? Apa upaya rekayasa lain yang dilakukan untuk menutupi fakta sesungguhnya?
JAKARTA, KOMPAS — Kepala Kepolisian Negara RI Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo membeberkan rekayasa penanganan kasus pembunuhan Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat beserta sejumlah upaya dari oknum polisi untuk menghalangi penyidikan.
Listyo Sigit Prabowo memaparkan hal itu saat rapat dengan Komisi III DPR, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (24/8/2022). Dalam kasus ini, lima orang telah menjadi tersangka, yakni mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Inspektur Jenderal Ferdy Sambo, dua ajudan Ferdy, yakni Bharada Richard Eliezer dan Brigadir Ricky Rizal; istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi; dan asisten rumah tangga keluarga Ferdy, Kuat Ma’ruf.
Indikasi rekayasa dan penghalangan penyidikan, menurut Listyo, sudah terlihat sehari setelah tewasnya Nofriansyah, Sabtu (9/8). Saat itu, penyidik Polres Metro Jakarta Selatan mendatangi kantor Biro Pengamanan Internal (Paminal) Divisi Profesi dan Pengamanan Polri dengan tujuan membuat berita acara pemeriksaan empat saksi yang melihat kejadian tewasnya Nofriansyah. Saksi itu di antaranya Eliezer, Ricky, dan Kuat.
”Saat hendak membuat berita acara pemeriksaan saksi-saksi, penyidik dapat intervensi dari oknum personel Biro Paminal. Mereka hanya diizinkan mengubah acara format BAP yang telah dibuat oleh personel Biro Paminal,” ujarnya.
Baca Juga: Pasca-pembunuhan Brigadir J, Pengawasan terhadap Polri Perlu Ditata Ulang
Setelah itu, penyidik bersama para saksi diarahkan melakukan rekonstruksi di tempat tewasnya Nofriansyah di rumah dinas Ferdy Sambo, di Duren Tiga, Jakarta. Setelah selesai rekonstruksi, para saksi kembali ke rumah pribadi Ferdy di Jalan Saguling, tak jauh dari lokasi tempat terjadinya perkara di Duren Tiga.
”Setelah itu, personel Propam menyusuri sekitar tempat kejadian dan memerintahkan untuk mengganti hard disk CCTV yang ada di pos sekuriti di Duren Tiga dan hard disk diamankan oknum Propam,” ujarnya.
Indikasi rekayasa lainnya terlihat setelah penyidik Polres Metro Jakarta Selatan melakukan olah tempat terjadinya perkara dan memeriksa para saksi. ”Olah TKP (tempat kejadian perkara) dan pemeriksaan saksi telah mendapatkan intervensi dari FS (Ferdy Sambo) sehingga olah TKP dan pemeriksaan menjadi tidak profesional. Penjelasan yang disampaikan Kapolres Metro Jakarta Selatan saat jumpa pers pada 12 Juli juga terlalu cepat mengambil kesimpulan, ternyata didapati ia datang terlambat ke TKP,” tuturnya.
Begitu pula penjelasan dari Karo Penmas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Ahmad Ramadhan saat jumpa pers pada 11 Juli yang terkesan tidak menguasai karena mendapatkan bahan dan informasi yang tidak utuh dan telah direkayasa oleh oknum Propam Polri.
Baca Juga: Kasus Brigadir J Momentum Benahi Internal Polri
Berangkat dari kejanggalan-kejanggalan itu, Kapolri membentuk tim khusus (timsus). Kemudian, saat menganalisis hasil olah TKP, timsus mendapati sudut tembakan dan arah tembakan yang tidak sesuai dengan penjelasan keterangan awal. Tembakan pun berasal dari satu titik atau sumber. Untuk diketahui, keterangan awal dari para saksi menyebutkan telah terjadi tembak-menembak antara Nofriansyah dan Eliezer setelah terjadi adanya pelecehan terhadap Putri.
Setelah memeroleh hasil analisis olah TKP, diputuskan digelar olah TKP ulang. Namun, saat itu, terdapat intervensi dan pengaturan kejadian dari oknum Propam terhadap personel timsus yang melakukan olah TKP ulang.
Selanjutnya, pada 22 Juli, Polda Metro Jaya (PMJ) menggelar prarekonstruksi di aula PMJ dengan didasarkan pada rekaman CCTV di rumah Saguling dan sekitar Duren Tiga serta berita acara pemeriksaan saksi. Sehari kemudian, yakni pada 23 Juli, aparat PMJ olah TKP gabungan dengan Bareskrim Polri. Hasilnya, ada inkonsistensi keterangan dari prarekonstruksi yang dikumpulkan oleh penyidik PMJ, seperti arah tembakan yang menyebar dan sudut tembakan yang tak sesuai dengan posisi para pihak yang terlibat.
Bentuk penghalangan penyidikan
Bersamaan dengan itu, Kapolri menggelar rapat dengan timsus dan jajarannya pada 21-23 Juli untuk mengetahui perkembangan penyelidikan. ”Dari rapat diketahui adanya hambatan-hambatan penyidikan, seperti intimidasi, tekanan, intervensi oleh personel Propam Polri, dan ketidaksesuaian kronologis peristiwa tembak-menembak,” ujarnya.
Rinciannya, personel Propam Polri memasuki TKP saat olah TKP, padahal seharusnya hanya petugas olah TKP di lokasi. Selain itu, adanya personel polisi yang tidak berkepentingan ikut mengangkat jenazah Nofriansyah sebelum olah TKP selesai.
Kemudian, setelah TKP kosong, oknum Propam memerintahkan Kuat untuk membersihkan TKP. Hal lainnya, barang bukti, seperti dua pucuk senjata api, magasen, dan peluru baru diserahkan kepada penyidik Polres Metro Jaksel pada 11 Juli. Ditemukan juga adanya penghilangan alat komunikasi para tersangka yang terlibat dan mengganti dengan telepon genggam baru untuk menutupi peristiwa sebenarnya.
Selain itu, penyidikan dan penanganan CCTV oleh penyidik PMJ yang tidak utuh dan menghilangkan beberapa rangkaian peristiwa penting. Kemudian, CCTV di TKP di Duren Tiga rusak dan CCTV di pos satpam di Duren Tiga yang diganti.
”CCTV yang pada saat itu hilang di pos satpam, dari hasil interogasi kita, kita dapatkan kejelasan bahwa CCTV itu diambil oleh oknum Propam dan Bareskrim. Di situ lalu terungkap siapa yang mengambil, mengamankan, lalu diperiksa lagi, kami bisa mengetahui siapa yang merusak CCTV. Ini jadi kunci pengungkapan kasus ini,” katanya menambahkan.
Dari temuan upaya rekayasa kasus dan penghalangan penyidikan ini, Inspektorat Khusus Polri merekomendasikan 25 orang terduga pelanggar kode etik Polri untuk dijatuhi sanksi berupa mutasi jabatan yang bersifat demosi. Ini lantas ditindaklanjuti dengan adanya 10 personel Polri yang dimutasi dan didemosi, salah satunya Ferdy Sambo.
”Setelah mutasi dan ada pejabat baru penggantinya, hambatan penyidikan berkurang, muncul titik terang,” ujar Listyo.
Janji Ferdy Sambo
Pada 5 Agustus, Eliezer lantas ditetapkan sebagai tersangka. Saat itu juga dia mengubah keterangannya. Ia menyampaikan melihat Yosua terkapar, bersimbah darah, dan Ferdy Sambo berdiri di depannya memegang senjata. Senjata itu lantas diserahkan ke Eliezer. Perubahan ini lalu dilaporkan ke Listyo yang kemudian meminta agar ia bisa menemui langsung Eliezer. Saat pertemuan, Listyo menanyakan perihal perubahan keterangan itu.
”Saya tanya kenapa mengubah? Eliezer memperoleh janji dari FS akan membantu agar Eliezer memperoleh SP3 (surat perintah penghentian penyidikan) terhadap kasus yang terjadi, tetapi nyatanya Eliezer tetap jadi tersangka. Atas dasar itu, Richard menyampaikan akan memberi keterangan secara jujur dan terbuka. Ini yang kemudian mengubah semua informasi awal,” paparnya.
Setelah mendapatkan keterangan dari Eliezer, timsus diminta menjemput Ferdy Sambo. Namun, saat itu, Ferdy masih belum mau mengaku dan bertahan dengan keterangan awal bahwa terjadi tembak-menembak antara Eliezer dan Nofriansyah.
”Lalu timsus membawa Ferdy untuk penempatan khusus di Mako Brimob. Pada 6 agustus, Eliezer menyampaikan ingin membuat dan menjelaskan peristiwa yang terjadi secara lebih terang. Eliezer lalu menuliskannya keterangannya, di situ dijelaskan secara urut, mulai kejadian di Magelang sampai Duren Tiga. Dan, ia mengaku menembak atas perintah FS. Keterangan itu dituangkan dalam BAP,” kata Listyo.
Sempat akan kabur
Setelah Eliezer mengakui perbuatannya, penyidik menersangkakan Ricky dan Kuat.
”Kuat sempat akan melarikan diri, tetapi berhasil ditangkap,” ujarnya. Selanjutnya, berdasarkan pengakuan Eliezer, Ricky, dan Kuat, Ferdy mengakui perbuatannya dan pada 9 Agustus penyidik menetapkan Ferdy sebagai tersangka penembakan Nofriansyah. Penembakan dilakukan oleh Eliezer atas perintah Ferdy. Kemudian, Ferdy membuat skenario dan merekayasa seolah terjadi tembak-menembak. Ferdy juga menembak berkali-kali ke dinding untuk lebih meyakinkan skenario yang dibuatnya.
Listyo menjelaskan, hingga kini sebanyak 97 personel Polri telah diperiksa Inspektorat Khusus. Sebanyak 35 di antaranya diduga melanggar kode etik. Dari jumlah itu, 16 di antaranya sudah ditempatkan di penempatan khusus di Mako Brimob dan dua lainnya sudah di tahanan menyusul penetapan tersangka. Adapun sisanya masih berproses.
”Kami berkomitmen untuk segera menyelesaikan pemeriksaan kode etik ini dalam 30 hari ke depan,” ujar Listyo menegaskan.
Adapun menyangkut proses penyidikan, timsus telah memeriksa 52 saksi dan 42 ahli serta 122 barang bukti.
”Berdasarkan hasil pemeriksaan timsus, kronologi awal yang disampaikan bahwa terjadi pelecehan dan tembak-menembak tidak benar. Ada upaya merekayasa TKP sehingga seolah terjadi tembak-menembak. Peristiwa ini diduga direncanakan terlebih dulu oleh FS di rumah Saguling yang diketahui PC (Putri Candrawathi) dan Eliezer. PC diduga memberi kesempatan peristiwa penembakan terjadi. Eliezer menembak Nofriansyah atas perintah FS dan disaksikan Ricky dan Kuat. Pascapenembakan, FS menembakkan senjata HS milik Nofriansyah ke tembok,” paparnya.
Baca Juga: Diduga Langgar Etik, 24 Personel Polri Dimutasi
Terkait motif Ferdy Sambo menembak Nofriansyah, Listyo hanya menyampaikan bahwa Ferdy marah setelah menerima laporan dari Putri terkait peristiwa yang terjadi di kediaman Ferdy di Magelang yang dianggap mencederai harkat dan martabat keluarga. ”Untuk lebih jelasnya nanti akan disampaikan di persidangan,” ujarnya menambahkan.
Khusus menyangkut Putri, kondisinya masih sakit sehingga menurut Listyo belum diperiksa sebagai tersangka. ”Rencana minggu ini (diperiksa),” katanya.
Penyidik Polri pun kini terus koordinasi dengan kejaksaan. ”Mudah-mudahan berkas segera dinyatakan lengkap dan segera diajukan ke persidangan,” ucapnya.
Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar Adies Kadir menyampaikan, dalam rapat dengar pendapat dengan Kapolri pada 24 Januari lalu, Komisi III memuji pencapaian luar biasa Polri karena saat itu indeks kepercayaan masyarakat terhadap Polri mencapai 80 persen. Tingkat kepercayaan publik kepada Polri tersebut lebih tinggi dibandingkan aparat penegak hukum lainnya.
Namun, dengan kasus ini, indeks kepercayaan Polri turun drastis menjadi di bawah 50 persen. Ia melihat, selain akibat kasus Nofriansyah, penurunan tingkat kepercayaan masyarakat ini diakibatkan pula gaya hidup mewah personel Polri di tingkat bawah, seperti direktur dan kapolres. ”Mereka seperti raja kecil. Terkadang, kami Whatsapp dan telepon, tetapi tidak dijawab. Barusan jadi kapolres dan direktur, lalu melihat haga hidup mereka, sudah mulai pakai cerutu, wine, mobil mewah. Liat perilaku istri-istri, tas (merek) Hermes gonta-ganti,” ujar Adies.
Perilaku semacam ini, menurut Adies, harus diubah untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat. Polri harus mampu memperlihatkan kekompakan institusi sehingga tidak terpecah belah. ”Jangan sampai terpecah belah, nanti makin terpuruk,” katanya.
Ia mengapresiasi kerja Kapolri dan jajaran yang telah membuka tabir kasus meninggalnya Nofriansyah seterang-terangnya. Namun, masih ada pertanyaan publik yang harus dijawab sehingga tidak menjadi liar, yakni soal motif. ”Soal motif ini dibilang tunggu persidangan, tetapi jangan sampai jadi pertanyaan di masyarakat. Kenapa tunggu di persidangan, padahal kasus lain bisa dibuka. Beri alasan kenapa harus menunggu di persidangan,” tutur Adies.
Hingga kini, rapat Kapolri dengan Komisi III DPR masih berlangsung.