Keterlibatan anggota Polri dalam menghalangi penyidikan pembunuhan Brigadir J harus diungkap tuntas. Sejauh ini ada tiga yang jadi tersangka. Ini bisa menjadi momentum pembenahan di internal agar Polri lebih profesional.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR, KURNIA YUNITA RAHAYU, DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selain mengungkap para pelaku pembunuhan Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat, penyidik Kepolisian Negara RI harus mengungkap tuntas para anggota kepolisian yang terlibat dalam upaya menghalang-halangi penyidikan pembunuhan itu. Untuk itu, Polri telah memeriksa 83 anggota polisi dan sejauh ini ada tiga orang ditetapkan sebagai tersangka.
Desakan untuk menuntaskan para anggota polisi yang terlibat itu antara lain karena hal itu mengindikasikan relasi antaranggota polisi masih diliputi kekeluargaan hingga saling menutupi kesalahan. Budaya itu menghambat berkembangnya sikap profesional di kalangan anggota Polri. Hal yang lebih mendesak lagi adalah tantangan Polri ke depan juga semakin berat, salah satunya penyelenggaraan Pemilihan Umum 2024 yang tahapannya sudah dimulai dari sekarang.
Terkait dengan 83 anggota polisi yang diperiksa, Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo, Senin (22/8/2022), mengatakan, saat ini ada tiga anggota polisi yang ditahan karena telah ditetapkan sebagai tersangka. Namun, Dedi belum menyebutkan identitas ketiganya.
Selain itu ada 15 orang di antaranya yang ditempatkan khusus di Markas Korps Brigadir Mobil Kelapa Dua, Depok. Salah satu yang ditempatkan khusus itu adalah bekas Kepala Kepolisian Resor Jakarta Selatan Komisaris Besar Budhi Herdi Susianto.
Sebelumnya, saat kasus ini diselidiki Polres Jaksel, Budhi yang mengungkap kepada publik bahwa Nofriansyah tewas akibat saling tembak dengan Bhayangkara Dua E atau Richard Eliezer Pudihang Lumiu, sesuai skenario yang dirancang oleh Inspektur Jenderal Ferdy Sambo. Sejak kasus ini terungkap yang sesungguhnya, penyidik menetapkan Ferdy bersama Eliezer, Brigadir Ricky Rizal, Kuat Maruf yang bekerja di rumah Ferdy, dan Putri Candrawathi selaku istri Ferdy, sebagai tersangka pembunuhan Nofriansyah.
Lebih lanjut Dedi menyampaikan, Inspektorat Khusus Polri juga telah memeriksa bekas Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Hengki Haryadi untuk dimintai keterangan. Pemeriksaan itu dilakukan pada Jumat (19/8). Namun, Dedi tak memerinci peran Hengki terkait dengan pembunuhan Nofriansyah.
”(Hengki) hanya memberi keterangan. Nanti yang update timsus (tim khusus Polri), ya,” kata Dedi.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Didik Mukrianto, dalam rapat dengar pendapat Komisi III dengan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Senin, mengatakan, pembunuhan Nofriansyah yang ikut melibatkan sejumlah anggota polisi memperlihatkan adanya persoalan besar terkait dengan kultur yang berlaku di institusi Polri.
Loyalitas buruk
Meski terlihat seperti hal biasa, urusan kultural itu berperan fundamental dalam kerja-kerja polisi. Budaya yang terbangun selama ini kenyataannya telah memunculkan loyalitas korps yang berdampak buruk. Hal itu menandakan bahwa perbaikan kultur menjadi pekerjaan rumah yang utama bagi Polri ke depan. ”Reformasi kultural itu membangun bagaimana anggota Polri menjadi sosok yang baik, penegak hukum, dan pengayom masyarakat,” kata Didik.
Pembunuhan Nofriansyah yang ikut melibatkan sejumlah anggota polisi memperlihatkan adanya persoalan besar terkait dengan kultur yang berlaku di institusi Polri.
Dalam rapat dengar pendapat itu, sejumlah anggota Komisi III pun mendesak Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD yang hadir sebagai Ketua Kompolnas mengungkap identitas seorang jenderal polisi bintang tiga yang mengancam akan mundur jika Ferdy Sambo tidak ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan Nofriansyah.
Pada mulanya, ancaman yang disampaikan anggota polisi berpangkat Komisaris Jenderal itu diungkap oleh Mahfud dalam sebuah acara di televisi pada pertengahan Agustus. Meskipun telah didesak untuk mengungkap identitasnya, Mahfud enggan menjawab. Ia menyatakan berhak untuk tidak menjawab. Persoalan itu hanya akan dia sampaikan kepada dua pihak, yakni Kapolri dan Presiden. ”Saya tidak bisa dipaksa untuk hal ini,” ujarnya.
Bahkan, Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Partai Nasdem Ahmad Sahroni yang memimpin rapat juga menawarkan agar forum ditutup sementara. ”Kalau dibuat tertutup, mau ngomong tidak, Pak?” tanyanya.
Mahfud tetap bergeming. ”Tidak, biar Kapolri yang menjawab,” ujarnya.
Guru Besar Hukum Ilmu Kriminologi Universitas Indonesia Adrianus Meliala mengatakan, banyaknya jumlah polisi yang diproses dengan dugaan pelanggaran etik dan pidana dalam kasus pembunuhan Nofriansyah menunjukkan kepolisian masih lekat dengan police culture. Dalam budaya kepolisian, terbangun hubungan kekeluargaan di antara anggota polisi sehingga ada sebutan abang asuh dan adik asuh.
Dalam hal ini, Ferdy diperkirakan memiliki pendekatan kekeluargaan yang baik sehingga banyak polisi yang loyal kepadanya. Di luar faktor itu, jabatan dia dulu sebagai Kadiv Propam memang ditakuti oleh polisi. Apalagi, budaya kepolisian selalu berkelindan dengan kode senyap (code of silence) atau perilaku menutupi kesalahan kalangan sejawat.
”Menurut saya, pengaruh terbesar Ferdy di kepolisian itu ada pada pendekatan kekeluargaan dalam budaya kepolisian yang masih kental. Dengan pendekatan kakak dan adik asuh ini, polisi bisa melupakan sumpah jabatan profesinya hanya untuk menyenangkan abang atau adik asuhnya. Ini yang harus dikurangi karena mengurangi kompetensi dan profesionalitas kepolisian,” papar Adrianus.
Dalam kondisi anggaran dan sumber daya manusia yang berlebih di kepolisian seperti saat ini, budaya kepolisian sebaiknya dikurangi untuk meningkatkan budaya profesionalisme.
Menurut Adrianus, di masa lalu budaya kepolisian dibutuhkan untuk membuat polisi berani bekerja dalam situasi berbahaya yang berisiko hilangnya nyawa, situasi tertekan, ataupun situasi dukungan terbatas. Budaya itu relevan diterapkan saat Polri masih satu institusi dengan TNI di dalam ABRI.
Namun, dalam kondisi anggaran dan sumber daya manusia yang berlebih di kepolisian seperti saat ini, budaya kepolisian sebaiknya dikurangi untuk meningkatkan budaya profesionalisme. Dengan meningkatkan budaya profesionalisme, sistem meritokrasi akan berjalan sehingga budaya seperti abang dan adik asuh akan berkurang.
”Sejauh ini belum ada upaya serius dari Polri untuk mengurangi police culture itu sendiri dan meningkatkan profesionalisme. Jika momentum ini tidak digunakan untuk berbenah, saya khawatir kasus seperti Sambo ini akan terulang kembali,” ucap Adrianus.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Trimedya Panjaitan, menilai, kasus ini dapat menjadi momentum pembenahan Polri. Hingga saat ini, capaian reformasi Polri masih jauh dari harapan. Polri cenderung membuat regulasi yang menjadikan dirinya penuh kekuasaan dan hanya diawasi secara internal. Alih-alih menjadi pengayom masyarakat, personel Polri justru terlihat sebagai aparat yang bergaya hidup tinggi di tengah masyarakat.
Menurut Trimedya, persoalan pembunuhan Nofriansyah harus segera dituntaskan dan tidak berlarut-larut. Setidaknya pada Oktober, Polri sudah bisa beranjak karena pada akhir tahun ini partai politik peserta Pemilu 2024 mulai ditetapkan. ”Tahun depan, tugas Polri itu berat, sudah persiapan pileg (pemilu legislatif) dan pilpres (pemilu presiden),” katanya.