Tim Non-yudisial Kasus HAM Dinilai Memanipulasi Keadilan bagi Korban
Setara Institute kembali mengkritik pembentukan Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. Penyelesaian secara yudisial dinilai tak mengalami kebuntuan.
Oleh
NINA SUSILO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembentukan Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu dinilai sebagai upaya memanipulasi keadilan bagi korban. Negara juga dinilai gagal mendorong Kejaksaan Agung melanjutkan penyelidikan Komnas HAM atas kasus-kasus HAM berat masa lalu serta gagal mendorong penyelesaian Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Ketua Setara Institute Hendardi menilai pembentukan tim yang dilandasi keputusan presiden (keppres) bukan terobosan atas tertundanya pembentukan RUU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan penyidikan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).
”Klaim ini adalah cara negara memanipulasi jalan keadilan bagi korban, yang sama sekali tidak akan melimpahkan keadilan dan menyajikan pembelajaran berharga bagi bangsa atas kejahatan-kejahatan masa lalu,” tutur Hendardi dalam pernyataan tertulisnya, Senin (22/8/2022).
Terkait RUU KKR, ia mempertanyakan mengapa hal itu baru diangkat saat ini. ”Mengapa baru berpikir menyelesaikan pelanggaran HAM di sisa masa jabatan (pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin)? Padahal, sejak awal menjabat, bahkan sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, baik melalui Wantimpres RI maupun melalui Menko Polhukam, desakan, aspirasi, diskusi, dan langkah-langkah penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu sudah pernah dibahas. Berkali-kali elemen korban, termasuk kelompok masyarakat sipil, dimintai pendapat,” ujarnya.
Pembentukan UU KKR semestinya bisa diakselerasi jika Presiden Jokowi mampu mendisiplinkan jajaran pemerintahan ataupun partai-partai pendukungnya. Kenyataannya, pemerintahan yang dipimpin Presiden Jokowi bisa merevisi UU Minerba dan UU KPK, bahkan membahas UU Cipta Kerja, dengan sangat cepat. Namun, penyelesaian RUU KKR tak dilakukan.
Presiden Jokowi juga dinilai tidak menangkap pesan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-V/2007 pada 21 Februari 2008. Putusan itu berisi penentuan kualifikasi pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum tahun 2000 bukanlah domain DPR, melainkan kewenangan Komnas HAM dan Kejagung. Tanpa menunggu keputusan DPR, Kejagung bisa memulai penyidikan.
Tugas DPR hanya merekomendasikan pembentukan pengadilan HAM kepada Presiden. ”Karenanya, jalan penyelesaian yudisial sebenarnya tidak ada kebuntuan kalau Jokowi bisa mendisiplinkan Jaksa Agung untuk melanjutkan tahap penyidikan atas hasil kerja Komnas HAM. Faktanya, Jaksa Agung selalu berlindung, menunggu adanya keputusan DPR,” lanjut Hendardi.
Keppres Pembentukan Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu pun dinilai lebih menyerupai panitia santunan bagi korban. Setelah itu, penanganan pelanggaran HAM masa lalu dianggap selesai.
Presiden Jokowi pada Sidang Tahunan MPR, 16 Agustus lalu, menyampaikan telah menandatangani Keppres Pembentukan Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. Kendati demikian, naskah keppres tersebut sampai 22 Agustus belum bisa diakses masyarakat.
Sebelumnya, Deputi V Kepala Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodhawardani menyebut keppres tersebut adalah komitmen pemerintah untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu. Dia juga mengklaim ini adalah terobosan yang dibuat pemerintah karena RUU KKR belum tuntas dibahas.
Menurut dia, tidak ada jalan tunggal bagi penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Sebab, bentangan waktu dan tempat kasus-kasus pelanggaran HAM berat ini sangat panjang dan luas. Konstruksi dan tipologi kasusnya juga bermacam-macam.
Penyelesaian melalui jalur non-yudisial, lanjutnya, bisa diintervensi melalui produk eksekutif. Mekanisme non-yudisial juga disebutnya sebagai upaya pemerintah memberi prioritas pada pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM yang berat. ”Keppres tentang Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu merupakan langkah terobosan pemerintah mempercepat pemenuhan hak-hak korban,” katanya.
Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu juga akan menjalankan tiga mandat yang sejalan dengan fungsi komisi kebenaran. Mandat itu adalah mengungkap kebenaran, merekomendasikan reparasi, dan mengupayakan ketidakberulangan.
Ia menambahkan, tim yang dibentuk dalam keppres tersebut beranggotakan tokoh-tokoh berintegritas, kompeten dan memiliki pemahaman HAM yang memadai, dan merepresentasikan kelompok yang bisa menjamin tercapainya tujuan dikeluarkannya keppres.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD pun menjelaskan bahwa keppres itu untuk menjalankan perintah undang-undang bahwa penyelesaian kasus HAM masa lalu dilakukan melalui dua jalur, yakni yudisial dan non-yudisial. Jalur non-yudisial melalui KKR, tetapi tertunda karena UU KKR dibatalkan MK. Adapun penyelesaian yudisial dijanjikan terus berjalan.
Bulan ini, kata Mahfud, kasus Paniai akan disidangkan. Kendati demikian, kasus-kasus yang terjadi sebelum tahun 2000 menanti diputuskan DPR.
Selain itu, lanjut Mahfud, problem teknis yuridis atas kelanjutan kasus-kasus tersebut adalah Kejagung selalu meminta Komnas HAM untuk memperbaiki hasil penyidikan, sedangkan Komnas HAM selalu merasa sudah cukup. ”Padahal, tanpa perbaikan, Kejaksaan Agung kalah seperti 34 orang (kasus Timor Timur) bebas,” ujar Mahfud.
Sampai saat ini terdapat 13 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang belum diselesaikan Kejagung. Komnas HAM telah menyerahkan hasil penyidikan ke Kejagung. Dari 13 kasus tersebut, sembilan kasus merupakan pelanggaran HAM berat masa lalu atau terjadi sebelum diundangkannya UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Kesembilan kasus itu adalah peristiwa 1965/1966; peristiwa penembakan misterius 1983-1984; peristiwa Talangsari 1989; peristiwa Mei 1998; peristiwa penghilangan paksa 1997/1998; peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II 1998-1999; peristiwa dukun santet 1999, peristiwa Rumoh Geudong Aceh 1998; dan peristiwa Simpang KKA Aceh 1999.
Adapun empat kasus terjadi setelah tahun 2000, yaitu peristiwa Wasior 2001, peristiwa Wamena 2003, peristiwa Jambo Keupok 2003, dan peristiwa Paniai 2014.