Honor Petugas Badan ”Ad Hoc” Pemilu 2024 Bakal Naik
Pemerintah telah menyetujui usulan KPU untuk menaikkan honor petugas badan ”ad hoc” Pemilu dan Pilkada 2024. Rata-rata honorarium petugas badan ”ad hoc” naik 30-120 persen dari pemilu sebelumnya.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Honorarium petugas badan ad hoc penyelenggara pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah tahun 2024 dipastikan naik di atas 30 persen dari sebelumnya. Sebab, pemerintah telah menyetujui usulan kenaikan anggaran badan ad hoc yang diajukan Komisi Pemilihan Umum.
Ketua KPU Hasyim Asy’ari saat konferensi pers di Kantor KPU, Jakarta, Senin (8/8/2022), mengungkapkan, persetujuan kenaikan anggaran badan ad hoc disampaikan melalui Surat Menteri Keuangan Nomor S-647/MK.02/2022 tanggal 5 Agustus 2022 perihal satuan biaya masukan lainnya (SBML) tahapan pemilihan umum. Dari tujuh jenis badan ad hoc, enam mendapatkan kenaikan honor, yakni Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), Panitia Pendaftaran Pemilih (Pantarlih), Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN), dan Pantarlih Luar Negeri. Hanya KPPS Luar Negeri yang tidak mendapatkan kenaikan honorarium.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Honor petugas badan ad hoc ditetapkan naik 30-120 persen dari Pemilu 2019. Honor ketua KPPS, misalnya, naik dari Rp 550.000 pada Pemilu 2019 menjadi Rp 1,2 juta. Adapun honor anggota KPPS naik dari Rp 500.000 menjadi Rp 1,1 juta. Sementara honor ketua PPK ditetapkan sebesar Rp 2,5 juta dari sebelumnya Rp 1,85 juta dan honor anggota PPK naik dari Rp 1,6 juta menjadi Rp 2,2 juta.
”KPU menyampaikan terima kasih dan memberikan apresiasi kepada pemerintah yang telah mengakomodir usulan kenaikan honor badan ad hoc untuk penyelenggaraan pemilu dan pemilihan tahun 2024,” kata Hasyim.
Selain menaikkan honor badan ad hoc, menurut anggota KPU, Yulianto Sudrajat, pemerintah juga menetapkan anggaran santunan kecelakaan kerja. Rinciannya, santunan bagi petugas badan ad hoc yang meninggal sebesar Rp 36 juta per orang, cacat permanen Rp 30,8 juta, luka berat Rp 16,5 juta, luka sedang Rp 8,25 juta, dan bantuan biaya pemakaman Rp 10 juta per orang.
Yulianto menambahkan, total alokasi anggaran KPU tahun 2022 sebesar Rp 3,69 triliun dari kebutuhan Rp 8,06 triliun. Sebesar Rp 1,45 triliun berasal dari daftar isian pelaksana anggaran (DIPA) tahun 2022 dan Rp 1,24 triliun merupakan alokasi tambahan.
Selain menaikkan honor badan ad hoc, menurut anggota KPU, Yulianto Sudrajat, pemerintah juga menetapkan anggaran santunan kecelakaan kerja.
KPU memahami kondisi keuangan negara yang sedang membutuhkan pembiayaan untuk proyek strategis nasional lainnya. Oleh sebab itu, KPU akan mengoptimalkan anggaran yang telah dialokasikan walau belum maksimal sesuai usulan kebutuhan. KPU juga berharap pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, dapat segera memproses usulan revisi DIPA KPU Tahun 2022 sesuai dengan prioritas kegiatan KPU dalam pelaksanaan tahapan Pemilu 2024 di tahun 2022.
”KPU berharap pemerintah dan pemerintah daerah dapat membantu peminjaman atau hibah tanah dan bangunan yang layak kepada KPU untuk digunakan sebagai kantor dan gudang KPU,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal KPU Bernad Dermawan Sutrisno mengatakan, anggaran tambahan sebesar Rp 1,2 triliun masih sebatas izin prinsip dari Kemenkeu dan harus mendapat persetujuan dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. Saat ini KPU sedang membahasnya dengan Bappenas agar bisa segera dicarikan.
Keterwakilan perempuan
Saat ini Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tengah menggelar seleksi anggota Bawaslu provinsi. Namun, proses seleksi mendapatkan kritik dari berbagai kelompok masyarakat sipil. Kritik terutama disampaikan terkait kurang diperhatikannya keterwakilan perempuan sebesar 30 persen dalam keanggotaan penyelenggara pemilu.
Koalisi Kawal Keterwakilan Perempuan di KPU dan Bawaslu mencatat, dari total 150 peserta yang melaju ke tahap tes kesehatan dan tes wawancara di 25 provinsi, hanya ada 28 atau 18,7 persen peserta perempuan. ”Jadi, bisa disimpulkan bahwa terdapat tujuh Bawaslu provinsi yang dipastikan tidak memiliki keterwakilan perempuan. Selain itu, ada 12 Bawaslu provinsi yang berpotensi tidak memiliki keterwakilan perempuan apabila Bawaslu tidak menerapkan kebijakan afirmasi pada tahapan uji kelayakan dan kepatutan,” tutur peneliti Kode Inisiatif, Ihsan Maulana, dalam konferensi pers di Kantor Bawaslu, Senin kemarin.
Koalisi Kawal Keterwakilan Perempuan di KPU dan Bawaslu terdiri dari 11 kelompok, yakni Puskapol UI, Departemen Politik dan Pemerintahan UGM, Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Pusat Studi Kepemiluan Universitas Sam Ratulangi, Kode Inisiatif, Perludem, Maju Perempuan Indonesia, Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat, Koalisi Perempuan Indonesia, Komite Independen Pemantau Pemilu, serta Institut Hak Asasi Perempuan.
Koalisi mendesak Bawaslu untuk memastikan terpenuhinya keterwakilan 30 persen perempuan dalam hasil akhir seleksi di 18 provinsi. Bawaslu harus menunjukkan semangat dan komitmen untuk menegakkan keadilan jender dan pemilu inklusif saat melakukan uji kelayakan dan kepatutan. Bawaslu pun harus mengevaluasi dan memberikan teguran keras terhadap tim seleksi yang tidak menjalankan amanat undang-undang dan peraturan Bawaslu terkait kebijakan afirmasi dengan tidak meloloskan atau hanya meloloskan satu orang perempuan dalam penentuan enam besar.
Anggota koalisi dari Maju Perempuan Indonesia, Bivitri Susanti, mengatakan, kebijakan terkait keterwakilan perempuan di Indonesia masih setengah hati. Sebab, jika diperhatikan secara legal formal, semua yang mensyaratkan keterwalikan perempuan hanya ditulis memperhatikan 30 persen, mulai dari pencalonan anggota legislatif hingga KPU dan Bawaslu. Maka, seharusnya aturan teknis di PKPU dan peraturan Bawaslu harus memiliki keberpihakan terhadap keterwakilan perempuan.
”Jangankan kata memperhatikan, kata diwajibkan saja cenderung diabaikan, apalagi kalau bunyinya hanya memperhatikan,” tuturnya.