Penuhi Hak Korban untuk Akses Penegakan Hukum Kasus Paniai
Hukum dan standar HAM internasional mengatur korban dan keluarga mempunyai hak untuk tahu atau hak atas kebenaran, termasuk hak mendapatkan akses informasi dan perkembangan proses peradilan secara cepat.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat sipil berharap korban dan keluarga memperoleh hak penuh untuk mengakses penegakan hukum kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia atau HAM berat Paniai, Papua, tahun 2014. Korban dan keluarga korban diharapkan dapat dilibatkan dalam proses hukum yang berjalan di kejaksaan.
Pada 16 April 2022, Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan satu tersangka berinisial IS dalam dalam kasus dugaan pelanggaran HAM berat Paniai. Proses penyusunan konstruksi hukum dakwaan terhadap tersangka pun sedang berjalan.
Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Kontras Tioria Pretty mengatakan, hukum dan standar HAM internasional mengatur korban dan keluarga mempunyai hak untuk tahu atau hak atas kebenaran, termasuk hak mendapatkan akses informasi dan perkembangan proses peradilan secara cepat.
”Dan juga membuka keterlibatan mereka dalam proses penegakan hukumnya,” kata Pretty saat dihubungi di Jakarta, Kamis (21/7/2022).
Pretty meragukan komitmen Kejagung untuk melibatkan partisipasi korban dan keluarga dalam proses pengadilan HAM kasus Paniai sebagai bukti penghormatan martabat bagi korban dan keluarga serta menjamin keterbukaan proses penegakan hukum yang akuntabel kepada publik.
Hal itu terlihat dari minimnya pelibatan korban dan keluarga dalam proses penyidikan Kejagung. Selain itu, tidak adanya rencana pemberian kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi bagi korban atau keluarga mereka mengikuti proses peradilan yang berlangsung. Padahal, itu sudah diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Hukum dan standar HAM internasional mengatur korban dan keluarga mempunyai hak untuk tahu atau hak atas kebenaran, termasuk hak mendapatkan akses informasi dan perkembangan proses peradilan secara cepat.
Pihak keluarga juga menyampaikan keraguan akan adanya proses penegakan hukum yang adil. Keraguan itu muncul karena berkaca dari berbagai kasus yang melibatkan aparatur negara di Papua tidak pernah terselesaikan.
Kejagung diharapkan segera melibatkan korban dan keluarga korban dalam proses hukum yang berjalan. Hal itu dimulai dengan memberikan informasi terkini secara rutin dan mulai mendengarkan masukan dari mereka.
Selain itu, mempersiapkan skema kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi bagi seluruh korban dan keluarga korban dengan memperhatikan masukan langsung dari mereka. Kontras juga berharap Kejagung bekerja sama dengan institusi negara lainnya, seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Komnas HAM untuk menyediakan pemulihan hak mendesak bagi korban atau keluarga korban yang membutuhkannya, termasuk dukungan psikososial atau pelayanan medis lainnya.
Sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana mengatakan, sejak awal Januari hingga saat ini penyidik dari Direktorat HAM Berat pada Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung telah memeriksa 61 saksi.
Ketut mengatakan, ke-61 saksi tersebut memiliki latar belakang berbeda-beda. Enam di antaranya saksi ahli. Mereka adalah ahli forensik yang mengambil visum korban dari Rumah Sakit Umum Daerah Paniai, ahli balistik pengujian senjata api, ahli hukum humaniter, ahli HAM berat, ahli legal forensik, serta ahli hukum militer.
Sementara 55 saksi lainnya berasal dari sejumlah unsur. Rinciannya, 8 kalangan sipil, 24 orang unsur TNI, 17 orang unsur Polri, dan 6 orang di antaranya bagian dari tim investigasi kantor Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kompas, 26/3/2022).
Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak mengatakan, Komisi Kejaksaan (Komjak) akan mengawasi, memantau, dan menilai kinerja jaksa serta pegawai kejaksaan dalam melakukan penyidikan kasus Paniai.
”Tugas jaksa dalam melakukan penyidikan sudah selesai dan sudah menetapkan tersangka. Namun, belum disidangkan karena pengadilan belum menyiapkan hakim sesuai ketentuan undang-undang. Dengan persidangan ini justru diharapkan dapat menjadi dasar pengembangan kasus ini selanjutnya,” kata Barita.
Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung (MA) Sobandi mengatakan, nama-nama calon hakim ad hoc yang terpilih dalam proses seleksi akan diumumkan pada Jumat (22/7). Hakim ad hoc yang akan terpilih akan mengadili perkara HAM berat lainnya juga setelah perkara Paniai jika ada pelimpahan perkara HAM berat dari kejaksaan. Masa jabatan dan kompensasi sedang disusun oleh MA yang sesuai dengan kebutuhan dan dengan mempertimbangkan jumlah perkara yang masuk.
Sementara itu, Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi Pasaribu mengatakan, sejauh ini belum ada laporan dari saksi dan korban kasus Paniai untuk meminta perlindungan ke LPSK. Apabila ada laporan, LPSK akan menindaklanjutinya.