Pimpinan MPR sepakat untuk tidak mengamendemen konstitusi dalam membentuk Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN). Kesepakatan itu dicapai setelah pimpinan MPR menerima laporan dari Badan Pengkajian MPR.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Majelis Permusyawaratan Rakyat memastikan tidak akan ada amendemen konstitusi untuk membentuk haluan negara. Pokok-pokok Haluan Negara akan diatur melalui konvensi ketatanegaraan. Namun, gagasan konvensi ketatanegaraan memaksakan serta dinilai tidak sepenuhnya dapat menutup celah pengubahan UUD 1945.
Pimpinan MPR sepakat untuk tidak mengamendemen konstitusi dalam membentuk Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN). Kesepakatan itu dicapai setelah pimpinan MPR menerima laporan dari Badan Pengkajian MPR dalam rapat tertutup di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (7/7/2022).
Ketua MPR Bambang Soesatyo mengatakan, pimpinan MPR menyepakati ide tentang urgensi PPHN untuk menjamin kesinambungan pembangunan bangsa dan negara. Akan tetapi, pembentukan haluan negara melalui amendemen konstitusi, atau ketetapan MPR, yang juga membutuhkan amendemen, sulit untuk direalisasikan saat ini. Sebab, agenda tersebut dicurigai ditunggangi berbagai kepentingan, salah satunya memperpanjang masa jabatan presiden.
Adapun pengkajian haluan negara merupakan rekomendasi MPR periode 2014-2019 kepada MPR periode 2019-2024. Akan tetapi, gagasan tersebut ditentang publik karena dikhawatirkan dilakukan melalui amendemen konstitusi. Di tengah situasi politik saat ini, ide tersebut dapat membuka kotak pandora perpanjangan masa jabatan presiden dan agenda-agenda lain yang bertentangan dengan demokrasi.
Oleh karena itu, untuk tetap membentuk PPHN tanpa mengamendemen konstitusi, tambah Bambang, Badan Pengkajian melihat kemungkinan untuk mengaturnya melalui konvensi ketatanegaraan. Dasar hukum itu dinilai lebih tepat dan lebih kuat ketimbang undang-undang (UU). ”Dengan konvensi ketatanegaraan, dasar hukum PPHN lebih kuat daripada UU dan tidak bisa diuji materi,” kata Bambang seusai rapat dengan pimpinan dan Badan Pengkajian MPR.
Konvensi ketatanegaraan yang dimaksud akan melibatkan pimpinan seluruh lembaga tinggi negara, mulai dari DPR, MPR, DPD, lembaga kepresidenan, Mahkamah Konstitusi, dan Mahkamah Agung. Sebelum menggelar konvensi tersebut, MPR akan membentuk panitia ad hoc dalam rapat gabungan pada 21 Juli 2022 sebelum disahkan pada Sidang Tahunan MPR 16 Agustus 2022. Panitia ad hoc terdiri dari perwakilan seluruh fraksi di MPR dan DPD.
Konvensi ketatanegaraan yang dimaksud akan melibatkan pimpinan seluruh lembaga tinggi negara, mulai dari DPR, MPR, DPD, lembaga kepresidenan, Mahkamah Konstitusi, dan Mahkamah Agung.
”Harapan kami, pimpinan MPR dan Badan Pengkajian, tidak perlu ada kekhawatiran di publik bahwa ada upaya-upaya untuk mengamendemen konstitusi. Penyelenggara pemilu yang akan datang (juga) tidak lagi dihantui kecurigaan,” kata Bambang tegas.
Ia menambahkan, pimpinan MPR akan terus menyosialisasikan rencana pembentukan haluan negara ke partai politik. Sebelumnya, mereka sudah mengadakan silaturahmi kebangsaan dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Nasdem. Menurut rencana, dalam waktu dekat akan dilanjutkan ke Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Tidak bisa dimungkiri, dalam komunikasi dengan parpol-parpol tersebut kerap muncul gagasan yang terkait dengan amendemen konstitusi. Dalam pertemuan dengan Nasdem, misalnya, ada usulan dari Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh agar utusan golongan dipertimbangkan untuk bisa masuk MPR, seperti sebelum amendemen UUD 1945 dilakukan. Dengan begitu, anggota MPR tidak hanya berasal dari DPR dan DPD.
Kemudian, dalam pertemuan dengan PPP, didapatkan pula usulan untuk memperkuat kelembagaan dan kewenangan MPR. Tujuannya agar MPR bisa mengambil keputusan strategis untuk bangsa sehingga eksistensinya pun semakin diakui.
Menurut Bambang, usulan-usulan tersebut akan ditampung dan direkomendasikan kepada MPR periode 2024-2029. Termasuk untuk menentukan kembali dasar hukum yang lebih kuat untuk PPHN. ”Sekarang ini kami sudah menyelesaikan hasil kajian, yang nanti akan dibawa pada kesepakatan konvensi ketatanegaraan. Nanti untuk dasar hukum yang lebih kuat lagi, kami tugaskan MPR yang akan datang untuk melakukan kajian UUD 1945 secara menyeluruh,” kata Bambang.
Rekomendasi
Ketua Badan Pengkajian MPR Djarot Saiful Hidayat menjelaskan, pihaknya telah menyelesaikan kajian PPHN yang terdiri dari rekomendasi atas bentuk hukum dan substansi haluan negara. Bentuk hukum yang dimaksud terdiri dari tiga, yakni UUD 1945, ketetapan MPR, dan UU. Dari tiga bentuk tersebut, tidak direkomendasikan untuk mengamendemen konstitusi.
Selain itu, haluan negara merupakan panduan bagi pemimpin di tingkat nasional dan daerah untuk membuat program dan kebijakan. Karena itu, PPHN bersifat ideologis, bukan teknokratis. ”Untuk itu, diperlukan konvensi ketatanegaraan yang dilakukan pimpinan MPR dengan para pimpinan lembaga tinggi negara,” kata Djarot.
Substansi PPHN merujuk pada visi dan misi negara yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu mewujudkan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Terdapat tiga ranah utama yang diatur, yakni soal pembangunan karakter dan kualitas sumber daya manusia, tata kelola sistem politik dan pemerintahan, serta pembangunan ekonomi dan kesejahteraan.
Ia melanjutkan, substansi PPHN merujuk pada visi dan misi negara yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu mewujudkan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Terdapat tiga ranah utama yang diatur, yakni soal pembangunan karakter dan kualitas sumber daya manusia, tata kelola sistem politik dan pemerintahan, serta pembangunan ekonomi dan kesejahteraan. ”Itu semua ada di PPHN, nanti akan dibahas lagi dalam rapat gabungan,” ujar Djarot.
Memaksakan
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari menilai, upaya untuk mengatur haluan negara melalui konvensi ketatanegaraan tidak tepat. Hal itu justru terlihat memaksakan agar PPHN bisa tetap dibentuk.
Sebab, konvensi ketatanegaraan adalah kebiasaan ketatanegaraan yang telah ajek dan dilakukan berulang-ulang. Konvensi tidak perlu diatur dalam UU karena sifatnya yang seremonial. Selain itu, hal yang diatur dalam konvensi ketatanegaraan bisa hilang jika ada UU yang mengatur secara berbeda.
”Tidak ada konvensi ketatanegaraan yang disepakati seperti jalur kesepakatan formil ketatanegaraan di MPR. Itu harus dijalankan dulu, lalu kemudian dianggap sebagai sebuah konvensi,” kata Feri.
Ia juga mengingatkan agar masyarakat sipil tetap mengawal isu amendemen konstitusi. Sebab, ide yang digulirkan MPR tidak serta-merta menutup celah amendemen konstitusi.
Kepentingan yang terkait dengan amendemen tidak sekadar pembentukan haluan negara, tetapi juga terkait dengan mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi yang berwenang memilih presiden serta perpanjangan masa jabatan presiden.