Tak Perlu Amendemen, PPHN Cukup Diatur dalam UU Saja
Amendemen konstitusi idealnya dilakukan saat politik stabil dan kepercayaan masyarakat tinggi. Hal itu tak terjadi saat ini. Jika dilakukan juga, amendemen bisa membuka kotak pandora perpanjangan masa jabatan presiden.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Memasukkan Pokok-pokok Haluan Negara atau PPHN dalam amendemen konstitusi dinilai tak tepat momentumnya dalam kondisi politik saat ini. Agar tidak mudah disusupi agenda politik lain seperti perpanjangan masa jabatan presiden, seharusnya PPHN cukup diatur dalam undang-undang.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari saat dihubungi, Jumat (18/3/2022), mengatakan, jika memang PPHN diharapkan untuk menata program pembangunan berkesinambungan sudah ada contohnya, yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang.
Menurut dia, apabila kedua UU itu direvisi, tidak perlu khawatir UU akan mudah diubah. Pemerintah memang bisa menerbitkan peraturan pemerintah pengganti UU (perppu), tetapi untuk menerbitkan perppu diperlukan syarat hal ikhwal kegentingan memaksa. Penerbitan perppu memerlukan tiga prasyarat yaitu adanya kekosongan hukum, hukum yang ada tidak bisa menyelesaikan masalah, atau aturan perlu diberlakukan sesegera mungkin.
“Tidak perlu khawatir karena DPR pun bisa membatalkan atau tidak menyetujui perppu tersebut,” kata Feri.
Feri menilai, konsep PPHN melalui produk hukum UU sudah cukup kuat untuk menata pembangunan berkesinambungan. Jika memakai format ketetapan (TAP) MPR, menurut dia, malah tak tepat karena bisa memberikan ruang berbeda terkait kekuasaan MPR. MPR bisa kembali melakukan pengawasan kebijakan pemerintah terkait dengan PPHN. Padahal, model konstitusional Indonesia saat ini sudah tidak lagi memasukkan MPR sebagai representasi rakyat.
”Tidak ada urgensinya memasukkan PPHN dalam amendemen konstitusi bagi sistem ketatanegaraan kita. Menambah kewenangan MPR untuk membuat TAP MPR hanya akan meletakkan dualisme kekuasaan kepada lembaga parlemen. Ini tidak sesuai dengan penguatan sistem presidensial,” kata Feri.
Konsep PPHN melalui produk hukum UU sudah cukup kuat untuk menata pembangunan berkesinambungan.
Feri juga khawatir ambisi memasukkan PPHN hanyalah hasrat tinggi untuk mengubah konstitusi. Meskipun sudah ada konsensus di awal bahwa amendemen hanya terbatas pada PPHN, secara politis isu itu tetap akan menjadi bola liar. Masyarakat akan kesulitan mengawasi dinamika politik dan usulan di MPR. Apalagi, dari sejarah perubahan konstitusi, isu selalu berkembang karena sifat politik fraksi di DPR.
Berbeda dengan Feri, Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono mengatakan, harus disepakati di awal bahwa PPHN akan berisi garis politik legislasi yang akan dirujuk oleh UU. Oleh karena itu, diperlukan produk hukum di atas UU. Bentuknya adalah dengan TAP MPR atau amendemen terbatas UUD 1945. Sebab, jika PPHN diatur dalam UU akan sangat mudah diubah oleh pembentuk UU.
”Kalau setingkat UU, dia tidak kuat. Selama ini, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang saja tidak efektif dirujuk oleh RPJMN. Makanya, muncul ide PPHN ditetapkan oleh MPR yang melibatkan DPD,” kata Bayu.
Menurut Bayu, PPHN akan lebih tepat dibentuk dengan ketetapan MPR. Namun, hal itu membutuhkan prasyarat amendemen terbatas UUD 1945. Amendemen terbatas dilakukan untuk mengubah Pasal 3 UUD 1945 tentang Kewenangan MPR menerbitkan TAP MPR. Di UUD 1945 saat ini, kewenangan MPR hanyalah mengubah dan menetapkan UUD 1945, melantik presiden dan wapres, serta memberhentikan presiden dan wapres dalam masa jabatannya melalui UUD 1945.
Saat ini, situasi politik sedang tidak stabil, wacana amendemen konstitusi justru bisa membuka kotak pandora perpanjangan masa jabatan presiden. Jika mau, amendemen konstitusi dilaksanakan setelah Pemilu 2024.
Rawan melanggengkan kekuasaan
Namun, Bayu menegaskan bahwa amendemen konstitusi juga sebaiknya tidak terburu-buru. Amendemen konstitusi idealnya dilakukan saat situasi politik stabil dan rasa kepercayaan masyarakat tinggi. Saat ini, situasi politik sedang tidak stabil. Wacana amendemen konstitusi justru bisa membuka kotak pandora perpanjangan masa jabatan presiden. Jika mau, amendemen konstitusi dilaksanakan setelah Pemilu 2024.
”Jadi, kajian yang dilakukan MPR saat ini bukan berarti tidak berguna. Lakukan pematangan konsep itu sembari menantu momentum politik yang tepat. Sekarang, saatnya memfokuskan energi pada persiapan pelaksanaan pemilu 2024,” kata Bayu.
Sebelumnya, pengajar hukum STH Jentera, Bivitri Susanti, menuturkan, PPHN lebih baik diatur melalui undang-undang. Sebab, amandemen konstitusi dikhawatirkan disusupi kepentingan untuk penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden hingga tiga periode. Selain itu, dia juga melihat tidak ada momentum konstitusional saat ini karena rakyat tengah pusing memikirkan isu di depan mata, seperti langka dan mahalnya minyak goreng.
”Kalau memang ada keinginan mengubah secara struktural di level undang-undang saja. Partisipasi publik bisa maksimal karena proses legislasi sebenarnya lebih partisipatif dari amandemen,” ujar Bivitri (Kompas, 18/3/2022).