Kasus Impor Garam, Jaksa Akan Periksa Perusahaan Importir
Perusahaan importir garam secara bertahap akan diperiksa terkait kasus dugaan korupsi impor garam tahun 2018 di Kementerian Perdagangan. Garam impor khusus industri tersebut ternyata malah merembes ke pasar konsumsi.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyidik Kejaksaan Agung akan memeriksa secara bertahap perusahaan importir garam industri terkait perkara dugaan korupsi importasi garam industri di Kementerian Perdagangan tahun 2018. Sudah ada tiga perusahaan yang dimintai keterangan dari 21 perusahaan yang mendapatkan kuota impor garam industri pada tahun 2018.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Supardi pada Selasa (5/7/2022) mengatakan, dalam perkara dugaan korupsi impor garam industri pada 2018, penyidik akan meminta keterangan perusahaan yang mendapat kuota untuk mengimpor garam industri. Saat itu, Kementerian Perdagangan (Kemendag) memberikan kuota persetujuan impor garam kepada 21 perusahaan.
”Dipanggil nanti semampu kami. Yang jelas, kemarin, tahap pertama, kan, tiga perusahaan yang sudah dipanggil. Nanti terus (diperiksa) sampai ketemu titik yang signifikan,” kata Supardi.
Sebelumnya, penyidik telah meminta keterangan dari PT MTS, PT SM, dan PT UI. Adapun terhadap 21 perusahaan yang mendapat kuota impor tersebut, total garam industri yang diimpor sebanyak 3,77 juta ton senilai Rp 2,05 triliun.
Menurut Supardi, lokasi perusahaan-perusahaan tersebut tersebar, baik di Pulau Jawa maupun di luar Pulau Jawa. Hasil pemeriksaan terhadap perusahaan importir tersebut akan dikaitkan dengan keterangan dari ahli untuk mencari pihak-pihak yang terlibat dan paling bertanggung jawab dalam perkara impor garam industri tersebut.
Dalam perkara tersebut, penyidik telah memeriksa beberapa mantan pejabat di Kemendag, antara lain DE, mantan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag tahun 2015-2017; M, Direktur Kemendag tahun 2014-2015; serta TL, Direktur Impor Kemendag tahun 2014-2015. Selain itu, penyidik juga meminta keterangan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Oke Nurwan.
Ketika dikonfirmasi, Oke Nurwan mengatakan, dirinya memang dipanggil dan dimintai keterangan oleh penyidik terkait perkara importasi garam industri tersebut. Meski demikian, Oke mengaku tidak bisa menjelaskan hal-hal tersebut karena sudah masuk dalam materi penyidikan. ”Saya terbuka saja kepada penyidik apa yang saya ketahui,” kata Oke.
Impor melebihi kebutuhan
Secara terpisah, Ketua Himpunan Masyarakat Petambak Garam Indonesia Muhammad Hasan menuturkan, pada 2018 pihaknya telah menolak adanya rencana impor 3,7 juta ton garam untuk kebutuhan industri tersebut. Sebab, jumlah garam yang diimpor melebihi kebutuhan garam nasional.
Sebab, saat itu kebutuhan garam sebesar 4,5 juta ton, sementara produksi garam nasional 2,9 juta ton, naik dari tahun 2017 sebesar 2,1 juta ton. ”Saat itu soal impor garam sempat ramai juga di publik. Saya pikir, impor itu tidak sesuai dengan kebutuhan garam nasional, tapi hanya sesuai dengan keinginan segelintir pihak,” kata Hasan.
Meski kemudian impor garam pada saat itu tidak mencapai 3,7 juta ton, lanjut Hasan, tetap saja garam yang masuk tersebut mengakibatkan produktivitas garam nasional terganggu. Sebab, garam dalam negeri menjadi tidak terserap sehingga mengakibatkan harga garam anjlok di tingkat petani garam, yakni menjadi sekitar Rp 300 per kilogram.
Di sisi lain, akibat dari pasokan yang berlebihan ini menimbulkan garam yang diperuntukkan bagi industri tersebut merembes ke pasar konsumsi. Akibat rembesan tersebut, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang semestinya menyerap garam rakyat menjadi tidak bisa melakukannya karena harga garam impor yang merembes di pasaran lebih murah.
”Ini merusak pasar dan merugikan para pelaku usaha kecil yang mestinya juga menyerap garam rakyat. Juga produsen yang mestinya ikut menyerap garam rakyat menjadi tidak maksimal,” ujar Hasan.
Persoalan lain yang juga muncul, menurut Hasan, adalah adanya perusahaan importir yang baru dibentuk yang kemudian mendapatkan kuota impor dengan alasan untuk pakan ternak dan pengasinan ikan. Namun, diketahui bahwa perusahaan tersebut tidak memiliki fasilitas produksi atau pemrosesan untuk pakan ternak ataupun pengasinan ikan.
Hal itu menambah indikasi terjadinya pelanggaran berupa merembesnya garam industri ke pasar garam konsumsi. Sebab, garam industri seharusnya hanya digunakan untuk keperluan industri si pengimpor.
Oleh karena itu, Hasan berharap proses hukum perkara dugaan korupsi impor garam tersebut menjadi momentum bagi pemerintah untuk membenahi tata niaga garam. Hal itu khususnya menyangkut pemberian kuota impor yang lebih selektif berdasarkan kebutuhan dalam negeri. Selain itu, Hasan berharap agar impor dilakukan dengan melihat kemampuan industri dalam menyerap garam rakyat.
Ia juga berharap agar harga garam tidak diserahkan kepada mekanisme pasar seperti terjadi saat ini. Sebab, hal ini berakibat pada tidak adanya daya tawar petani atau petambak garam terhadap perusahaan. Sebaliknya, pemerintah diharapkan memasukkan garam sebagai komoditas bahan pangan pokok dan barang penting yang harganya diatur pemerintah.
”Ini untuk mewujudkan kesejahteraan petambak garam. Ini yang mendasar sampai sekarang,” kata Hasan.