Jelang Pelantikan di Aceh, Penunjukan Penjabat Gubernur Aceh Dipertanyakan
Transparansi dan akuntabilitas penunjukan mantan Panglima Kodam Iskandar Muda Mayor Jenderal (Purn) Achmad Marzuki sebagai Penjabat Gubernur Aceh dipertanyakan.
JAKARTA, KOMPAS — Penunjukan mantan Panglima Komando Daerah Militer Iskandar Muda Mayor Jenderal (Purn) Achmad Marzuki sebagai Penjabat Gubernur Aceh dipertanyakan akuntabilitasnya. Jeda waktu antara mundurnya Marzuki dari prajurit TNI dan penunjukkan sebagai penjabat gubernur dianggap terlalu singkat.
Sementara, untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas penunjukan penjabat ke depan, Kementerian Dalam Negeri diminta menepati janjinya untuk segera mengeluarkan aturan teknis pelaksana sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi.
Presiden Joko Widodo menunjuk Mayor Jenderal (Purn) Achmad Marzuki sebagai Penjabat Gubernur Aceh. Terkait pelantikannya, awalnya Marzuki akan dilantik di Kantor Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, Selasa (5/7/2022) sore.
Baca juga: Dilema Penjabat Kepala Daerah
Informasi itu tertuang dalam undangan yang diterima Kompas. Dalam undangan yang ditandatangani oleh Sekretaris Jenderal Kemendagri Suhajar Diantoro itu disebutkan, pelantikan Penjabat Gubernur Aceh akan dilaksanakan pada Selasa pukul 16.00 di ruang Sasana Bhakti Praja (SBP) Kementerian Dalam Negeri.
Dalam undangan yang ditandatangani oleh Sekretaris Jenderal Kemendagri Suhajar Diantoro itu disebutkan, pelantikan Penjabat Gubernur Aceh akan dilaksanakan pada Selasa sore pukul 16.00 di ruang Sasana Bhakti Praja (SBP) Kementerian Dalam Negeri.
Namun, pada Selasa, Staf Khusus Menteri Dalam Negeri Kastorius Sinaga menjelaskan bahwa pelantikan Penjabat Gubernur Aceh akan dilakukan pada Rabu (6/7/2022) di Kantor DPR Aceh. Mendagri Tito Karnavian akan mewakili Presiden Jokowi untuk melantik Achmad Marzuki di hadapan Ketua Mahkamah Syariah Aceh dalam rapat paripurna DPR Aceh.
”Surat pemberitahuan pelaksanaan pelantikan Penjabat Gubernur Aceh sudah dikirim oleh Sekretaris Jenderal Kemendagri Suhajar Diantoro kemarin Senin (4/7) ke Ketua DPR Aceh,” kata Kastorius melalui keterangan tertulis.
Surat pemberitahuan pelaksanaan pelantikan Penjabat Gubernur Aceh sudah dikirim oleh Sekretaris Jenderal Kemendagri Suhajar Diantoro kemarin Senin (4/7) ke Ketua DPR Aceh.
Kastorius juga menjelaskan bahwa pada saat dilantik menjadi Penjabat Gubernur Aceh, Achmad Marzuki telah pensiun dari TNI. Sebelum diangkat menjadi penjabat, sehari sebelumnya, (Senin, 5/7), Marzuki juga telah dilantik sebagai Staf Ahli Mendagri Bidang Hukum dan Kesatuan Bangsa. Dengan demikian, statusnya terakhir adalah sebagai aparatur Jabatan Pimpinan Tinggi Madya (JPT madya).
”Pak Achmad Marzuki sudah pensiun dari TNI sebelum beliau dilantik menjadi staf ahli Mendagri. Jadi, beliau sudah purnawirawan, bukan TNI aktif,” tegas Kastorius.
Dari penelusuran Kompas, Achmad Marzuki lahir pada tahun 1967 sehingga usianya baru 55 tahun pada tahun ini. Terakhir, dia menjabat sebagai tenaga ahli pengkaji bidang kewaspadaan nasional Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas). Menurut Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Dudung Abdurachman kepada wartawan, Selasa, Marzuki telah mengajukan pensiun dini. Pengajuan pensiun dini itu diterima olehnya sekitar empat hari lalu.
”Betul, beliau sudah pensiun dini. Kalau tidak salah empat hari lalu,” ujar Dudung melalui keterangan resmi.
Sesuai dengan Pasal 47 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. UU itu juga mengatur bahwa prajurit TNI aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara, sekretaris militer presiden, intelijen negara, sandi negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, search and rescue (SAR) nasional, Badan Narkotika Nasional (BNN), dan Mahkamah Agung.
Hal itu juga selaras dengan aturan di UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). UU ini membuka peluang pengisian jabatan pimpinan tinggi dari unsur prajurit TNI dan anggota Polri setelah mundur dari dinas aktif.
Aturan teknis
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman berpandangan, pengangkatan Marzuki sebagai penjabat diperkirakan bakal menuai polemik baru karena tidak ada akuntabilitas dan transparansi. Kemendagri seharusnya menepati komitmennya untuk menerbitkan regulasi teknis terkait mekanisme seleksi dan penunjukan penjabat kepala daerah. Sampai saat ini, regulasi itu belum dibuka ke publik. Bahkan, masyarakat sipil juga sudah melaporkan dugaan malaadministrasi dalam proses penunjukan penjabat kepala daerah sebelumnya.
”Bisa dimaklumi jika kemudian publik menilai Mendagri inkonsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya. Publik tidak punya pegangan hitam di atas putih, atau kerangka regulasi untuk menilai apakah proses itu akuntabel atau tidak,” kata Herman.
Bisa dimaklumi jika kemudian publik menilai Mendagri inkonsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya. Publik tidak punya pegangan hitam di atas putih, atau kerangka regulasi untuk menilai apakah proses itu akuntabel atau tidak.
Herman menambahkan, padahal dalam pernyataan kepada wartawan medio Juni lalu, Mendagri menyebut sedang menyiapkan aturan teknis pemilihan penjabat kepala daerah untuk gelombang berikutnya. Dalam peraturan teknis itu ada komitmen bahwa calon penjabat kepala daerah hanya akan diajukan dari unsur penjabat sipil. Tanpa diterbitkan aturan baru, regulasi teknis yang ada saat ini sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini. Misalnya, Permendagri No 1/2018, atau PP No 6/2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
”Dalam konteks saat ini, para pejabat itu tidak hanya memimpin dalam hitungan bulan lagi seperti biasanya. Mereka akan menjabat sampai hampir tiga tahun. Oleh karena itu, prosesnya pun harus akuntabel, transparan, dan partisipatif,” terang Herman.
Menurut Herman, pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi terkait uji materi UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada juga harus dilihat lagi secara lebih detail. Terutama soal aturan pejabat TNI/Polri harus pensiun dari jabatannya sebelum menjadi penjabat kepala daerah. Rekam jejak dan durasinya setelah pensiun berapa lama. Dalam kasus penunjukkan Marzuki, memang secara formal sudah pensiun dari TNI, tetapi masih dalam hitungan hari. Durasi antara pengangkatan Marzuki sebagai staf ahli Mendagri, dengan Penjabat Gubernur Aceh juga terlalu singkat, yaitu hanya berselang satu hari.
”Dari kacamata kami, ini tidak bersandar pada prinsip akuntabilitas dan transparansi itu,” kata Herman
Herman juga mendorong Kemendagri segera menerbitkan dan memublikasikan aturan teknis penunjukan penjabat kepala daerah tersebut. Sebab, tahun ini total akan ada 101 kepala-wakil kepala daerah yang berakhir masa jabatannya. Selain tujuh gubernur-wakil gubernur, ada juga 76 bupati-wakil bupati, dan 18 wali kota-wakil wali kota.
Ketua Badan Pengurus Centra Initiative, yang juga Direktur Imparsial, Al Araf mengungkapkan, idealnya, sebelum ditunjuk menjadi penjabat kepala daerah, proses pengunduran diri Marzuki diumumkan oleh TNI. TNI berkewajiban menjelaskan kepada publik agar ada prinsip transparansi dan akuntabilitas. Tanpa penjelasan itu, penunjukan Marzuki sebagai penjabat kepala daerah masih terkesan tertutup. Apalagi, jeda waktu antara pengunduran diri dan pengangkatan begitu singkat.
Baca juga: Amatir Penunjukan Penjabat Kepala Daerah
”Ini kan baru beberapa hari mundur, sudah langsung menjabat Staf Ahli Mendagri kemudian menjadi Penjabat Kepala Daerah. Bagi publik, akuntabilitas dan transparansinya masih tetap dipertanyakan,” terang Araf.
Araf juga melihat pengangkatan seseorang menjadi staf ahli menteri, kemudian menjadi penjabat gubernur seolah menjadi pola tersendiri. Sebelumnya, Staf Ahli Bidang Budaya Sportivitas Kementerian Pemuda dan Olahraga Hamka Hendra Noer juga diangkat menjadi Penjabat Gubernur Gorontalo. Akuntabilitas penunjukannya sebagai penjabat pun dipertanyakan. Agar tidak menimbulkan tudingan negatif, pemerintah harus segera membuat aturan teknis pelaksana terkait penunjukkan kepala daerah.
”Mereka akan menjabat dalam waktu yang panjang, yaitu dua sampai tiga tahun ke depan. Pola-pola yang tidak akuntabel dan transparan itu tidak boleh dilanjutkan karena bisa menyebabkan kecurigaan politik dan problematika di belakang,” jelas Araf.