Cegah Pelanggaran, Pemerintah Siapkan Perpres Strategi Nasional Bisnis dan HAM
Presiden Joko Widodo diharapkan segera menyetujui rancangan Perpres tentang Strategi Nasional Bisnis dan HAM. Perpres itu penting untuk menjamin bisnis dijalankan dengan tetap menjunjung tinggi HAM.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aktivitas bisnis bergerak cepat seiring perkembangan teknologi yang sedemikian pesat. Kondisi tersebut sering kali menjadikan aktivitas bisnis mengesampingkan aspek-aspek hak asasi manusia. Kerja sama seluruh pihak dibutuhkan untuk mendorong implementasi nilai-nilai bisnis tetap tidak melupakan pemenuhan hak asasi manusia tersebut.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM) sedang mendorong Strategi Nasional (Stranas) Bisnis dan HAM dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres). Apabila Presiden menyetujui hal tersebut, kerja sama lintas pihak akan lebih mudah dan partisipasi para pelaku usaha dalam mengimplementasikan nilai-nilai bisnis dan HAM juga meningkat.
Aspek-aspek HAM dalam aktivitas bisnis kerap terlupakan ketika hanya memikirkan keuntungan. ”Oleh karena itu, apabila dalam waktu dekat Perpres tentang Stranas Bisnis dan HAM itu disetujui, itu menjadi pegangan kita semua—baik oleh pemerintah, NGO, para pelaku usaha—agar tentunya, sekali lagi, di dalam aktivitas bisnisnya menerapkan nilai-nilai HAM,” kata Direktur Jenderal HAM Kemenkum HAM Mualimin Abdi, Selasa (5/7/2022).
Mualimin menuturkan hal tersebut saat menjadi pembicara kunci pada Pertemuan Nasional Bisnis dan HAM INFID 2022 yang digelar secara hibrida, luring, dan daring. Narasumber pada sesi pertama pertemuan tersebut adalah Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Mike Verawati, Program Manager ECPAT (End Child Prostitution in Asia Tourism) Indonesia Andy Ardian, dan Sekretaris Umum Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia Rina Prasarani.
Apabila dalam waktu dekat Perpres tentang Stranas Bisnis dan HAM itu disetujui, maka itu menjadi pegangan kita semua—baik oleh pemerintah, NGO, para pelaku usaha—agar tentunya, sekali lagi, di dalam aktivitas bisnisnya menerapkan nilai-nilai HAM.
Mualimin menuturkan, pemerintah pun terus menyosialisasikan agar para pelaku usaha secara mandiri mengisi Prisma, yaitu penilaian risiko bisnis dan HAM. Prisma adalah suatu program aplikatif mandiri untuk membantu perusahaan menganalisis risiko pelanggaran HAM yang disebabkan oleh kegiatan bisnis.
Gugus Tugas Nasional Bisnis dan HAM serta gugus daerah pun melakukan kegiatan, mulai sosialisasi dan pendampingan. ”Nanti, pada ujungnya adalah evaluasi. Nantinya kami akan dorong setiap aktivitas bisnis memperoleh penghargaan dari Menteri Hukum dan HAM bahwa perusahaan ini telah mengimplementasikan bisnis dan HAM sebagaimana diatur di dalam atau dicanangkan melalui UNGPs di PBB,” kata Mualimin.
Seperti diketahui, UNGPs atau prinsip-prinsip panduan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk bisnis dan HAM menekankan arti penting peran negara dan bisnis dalam mengimplementasikan HAM. Hal ini termasuk juga dalam memulihkan hak korban.
Sejumlah langkah dilakukan Indonesia dalam berproses menerapkan UNGPs dalam bisnis dan HAM tersebut. Langkah dimaksud mulai mengintegrasikan isu bisnis dan HAM pada empat fokus sasaran Rencana Aksi Nasional HAM 2021-2025, dan membentuk Gugus Tugas Nasional Bisnis dan HAM. Langkah merancang strategi nasional bisnis dan HAM hingga mengupayakannya menjadi peraturan presiden ditujukan menguatkan HAM dalam bisnis di tingkat regulasi.
Hambatan dan tantangan HAM
Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Mike Verawati menuturkan, situasi pekerja perempuan seperti diskriminasi, stigma yang membatasi kemampuan perempuan, dan kesenjangan upah. “Meskipun data menunjukkan peningkatan (upah) dari tahun ke tahun, (upah untuk) perempuan tetap lebih rendah,” katanya.
Pekerja perempuan pun menghadapi situasi minimnya perlindungan sosial dan kesetaraan layanan hukum. Berikutnya adalah beban domestik pekerja perempuan yang membuat mereka sulit berpindah dari sektor informal ke formal. Watak patriarki pasar kerja pun menjadikan perempuan lebih banyak berada pada situasi kerja tidak layak.
Sejumlah pelanggaran HAM yang sering dialami pekerja perempuan, antara lain, kekerasan berbasis jender atau kekerasan seksual, kesepakatan kerja bias jender, serta sistem pengupahan diskriminatif dan tidak layak.
Pandemi Covid-19 pun memperburuk situasi pekerja perempuan. ”Data Kemenaker (Kementerian Ketenagakerjaan) mencatat selama dua tahun lebih pandemi ini ada 600.000 lebih tenaga kerja perempuan di sektor industri yang dirumahkan atau di-PHK (mengalami pemutusan hubungan kerja),” kata Mike.
Sementara itu, Andy Ardian menuturkan, sejumlah kolaborasi ECPAT dalam upaya melindungi anak-anak. Upaya dimaksud, antara lain, berupa kemitraan dengan hotel dalam membangun manajemen mitigasi pencegahan eksploitasi seksual anak. Industri digital pun dapat bekerja sama dengan organisasi nonpemerintah dalam memenuhi hak anak dan melindungi hak anak di platform digital.
ECPAT juga mendorong sektor perbankan untuk ikut berperan dan aktif dalam upaya-upaya perlindungan anak, misalnya terkait penelusuran pelaku kejahatan seksual anak dari transaksi finansial. ”(Hal ini karena) Ternyata ada mekanisme sistem, yang kita lihat di internasional, (yakni) pengungkapan kejahatan-kejahatan bisa menggunakan penelusuran transaksi keuangan,” kata Andy.
Pada acara tersebut, Rina Prasarani menuturkan bahwa sebanyak 1 miliar orang atau 15 persen dari populasi dunia adalah penyandang disabilitas. ”Partisipasi mereka dalam kegiatan sosial dan ekonomi sering terbatas karena kurang memadainya akses fasilitas publik, layanan dasar, alat bantu, dan teknologi,” katanya.
Sekitar 80 persen penyandang disabilitas tinggal di negara-negara berkembang, mempunyai tingkat ”kebekerjaan” 50-70 persen lebih rendah dan sekitar sepertiga dari 58 juta anak yang tidak bersekolah adalah penyandang disabilitas.
Terkait hambatan dan tantangan pelaksanaan HAM penyandang disabilitas dalam bisnis, Rina menyebut sejumlah faktor penyebab perusahaan tidak mempekerjakan penyandang disabilitas. Pertama, persepsi yang salah bahwa pekerja penyandang disabilitas tidak memiliki potensi dan menjadi beban perusahaan.
Kedua, perusahaan tidak memiliki informasi tentang bagaimana cara perusahaan merekrut pegawai penyandang disabilitas. Ketiga, belum tersedianya aksesibilitas dan akomodasi yang layak untuk penyandang disabilitas di dunia kerja dan bisnis. Keempat, diskriminasi terhadap penyandang disabilitas yang masih banyak terjadi di dunia kerja dan bisnis.