Sebagai negara hukum demokratis, Indonesia tetap berkomitmen untuk menegakkan HAM. Bagi Indonesia, memastikan penghormatan terhadap HAM adalah elemen fundamental untuk kelangsungan, kesatuan, dan kemakmuran bangsa.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, dalam Sidang Ke-50 Dewan Hak Asasi Manusia di Geneva, Swiss, Senin (13/6/2022), menegaskan komitmen Indonesia terhadap perlindungan HAM. Indonesia telah memiliki Rencana Aksi Nasional HAM tahun 2021-2025 yang fokus pada pemenuhan dan perlindungan HAM untuk empat kelompok sasaran utama, yaitu wanita, anak-anak, penyandang disabilitas, dan masyarakat adat.
Mahfud hadir sebagai perwakilan Indonesia dalam Sidang Ke-50 Dewan HAM PBB tersebut. Dalam pidatonya, Mahfud menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara majemuk dengan jumlah penduduk lebih dari 270 juta jiwa. Sebagai negara hukum demokratis, Indonesia tetap berkomitmen untuk menegakkan HAM. Bagi Indonesia, memastikan penghormatan terhadap HAM adalah elemen fundamental untuk kelangsungan, kesatuan, dan kemakmuran bangsa.
“Sebagai bukti komitmen ini, Indonesia baru-baru ini juga meluncurkan Rencana Aksi Nasional HAM (Ranham) untuk tahun 2021-2025. Rencana aksi ini berfokus pada pemenuhan dan perlindungan HAM untuk kelompok sasaran utama, yaitu wanita, anak-anak, penyandang disabilitas dan masyarakat adat,” ujar Mahfud melalui keterangan resmi, Senin malam.
Mahfud juga menyebutkan bahwa Indonesia saat ini sedang memproses ratifikasi Konvensi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa. Ratifikasi itu akan melengkapi delapan dari sembilan instrumen inti HAM internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia.
Selama 20 tahun terakhir, lanjut Mahfud, Indonesia juga telah melakukan langkah luar biasa dalam pemenuhan hak asasi manusia. Mulai dari pemenuhan hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, dan sosial budaya. Hak-hak dasar seperti hak atas partisipasi yang setara dan efektif dalam kehidupan bermasyarakat, hak atas kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai yang diklaim terus dijaga selama pandemi Covid-19.
Jaminan dan penyampaian HAM kepada seluruh warga negara itu tetap menjadi prioritas utama bagi pemerintah. Di bidang kesehatan, Indonesia terus mengupayakan cakupan kesehatan yang utuh dan universal. Saat ini, sebanyak 85 persen penduduk Indonesia sudah bisa menikmati pelayanan kesehatan universal.
Sebagai bukti komitmen ini, Indonesia baru-baru ini juga meluncurkan Rencana Aksi Nasional HAM (Ranham) untuk tahun 2021-2025. Rencana aksi ini berfokus pada pemenuhan dan perlindungan HAM untuk kelompok sasaran utama, yaitu wanita, anak-anak, penyandang disabilitas, dan masyarakat adat.
Dalam melaksanakan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), Indonesia akan terus meningkatkan cakupan program kesehatan mencapai 100 persen dari jumlah penduduk. ”Saat ini, Indonesia juga berusaha untuk mengatasi kemiskinan ekstrem melalui berbagai program pembangunan. Kami bertekad untuk mencapai pengentasan kemiskinan total pada tahun 2024,” terang Mahfud.
Akses ke pendidikan berkualitas dinilai sebagai kunci untuk mencapai tujuan tersebut. Oleh karena itu, pemerintah tetap mengalokasikan 20 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk pendidikan. Ini diharapkan meningkatkan angka melek huruf nasional dan tercapainya kesetaraan jender dalam akses pendidikan.
Terkait dengan pemenuhan dan perlindungan HAM, Mahfud mengakui banyak menemukan tantangan, terutama karena dampak multidimensi pandemi Covid-19. Pandemi Covid-19 berdampak terhadap HAM.
Dewan HAM PBB diharapkan dapat berbuat lebih banyak untuk ikut meningkatkan kehidupan manusia pascapandemi dengan melakukan sejumlah hal. Di antaranya adalah memastikan bahwa setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk melawan Covid-19. Dewan HAM juga harus memperkuat komitmennya untuk memenuhi hak atas kesehatan, termasuk melalui akses yang adil dan merata terhadap vaksin. Dewan HAM juga harus tetap memajukan dialog dan kerja sama internasional untuk memperkuat perlindungan HAM, terutama pada saat krisis.
Secara terpisah, Wakil Koordinator Eksternal Kontras Rivanlee Anandar mengungkapkan, masyarakat sipil berharap ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa segera disahkan. Ratifikasi itu sudah stagnan di DPR selama 13 tahun. Menurut pantauan Kontras, saat ini bola ratifikasi berada di Komisi I DPR setelah pemerintah mengirimkan surat presiden pada 27 April 2022 lalu. Itu bukan kali pertama RUU Ratifikasi Konvensi Masuk ke parlemen. Pada tahun 2013, RUU juga pernah masuk ke Komisi I DPR, tetapi Komisi I menunda pembahasan dengan alasan memerlukan waktu untuk mendalami.
”Penundaan tersebut tidak pernah ditindaklanjuti hingga akhirnya DPR periode 2009-2014 pun berganti. Padahal, seharusnya ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa merupakan rekomendasi Pansus DPR sendiri kepada pemerintah pada tahun 2009,” jelas Rivan.
Rivan menambahkan, dalam perjalanannya di DPR, ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa ini memang belum masuk dalam Program Legislasi Nasional. RUU hanya masuk dalam daftar kumulatif terbuka. Meskipun demikian, sebenarnya tak ada halangan bagi DPR dan pemerintah untuk mengesahkan ratifikasi tersebut.
Rivan menerangkan, penghilangan paksa adalah kejahatan keji yang menghilangan hak kemerdekaan diri, perlindungan hukum, hak bebas dari penyiksaan, hak hidup, dan sebagainya. Hak itu milik anak, kakak, atau ayah dari keluarga korban penghilangan paksa yang terus menunggu kabar selama bertahun-tahun. Kejahatan penghilangan paksa juga tidak hanya terjadi di masa lalu, tetapi masih dan dapat kembali terjadi di masa depan jika payung hukum Konvensi Anti Penghilangan Paksa tidak segera disahkan.