Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM) 2021-2025 fokus pada kelompok rentan, dengan memuat fokus sasaran sesuai isu HAM yang diprioritaskan untuk diselesaikan. Sistem penilaiannya adalah administrasi dan pencapaian aksi.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemenuhan hak dan layanan bantuan hukum bagi perempuan, anak, penyandang disabilitas, serta masyarakat adat, belum berjalan optimal. Untuk itu, dalam Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 2021-2025, perlindungan terhadap kelompok rentan tersebut, menjadi fokus utama.
Sebelumnya, pada 8 Juni 2021, Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) 2021-2025. Adapun, RANHAM generasi kelima ini merupakan kelanjutan dari program RANHAM yang telah dilaksanakan sejak 1998-2003 lewat RANHAM generasi pertama hingga RANHAM generasi keempat 2015-2020.
Wakil Menteri Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej, dalam ”Peluncuran dan Diskusi RANHAM 2021-2025”, Kamis (5/8/2021), mengatakan, RANHAM memuat fokus sasaran yang dinamis sesuai dengan isu HAM yang dipriroitaskan untuk diselesaikan, baik oleh pemerintah pusat maupun daerah.
Pada RANHAM generasi kelima, pemerintah akan memfokuskan pada perlindungan, penghormatan, dan pemajuan HAM terhadap kelompok rentan, yang meliputi perempuan, anak, penyandang disabilitas, dan masyarakat adat.
”Manfaat RANHAM harus dapat benar-benar dirasakan oleh masyarakat. HAM sebagai amanat konstitusi adalah tanggung jawab negara,” ujar Edward.
Manfaat RANHAM harus dapat benar-benar dirasakan oleh masyarakat. HAM sebagai amanat konstitusi adalah tanggung jawab negara.
Diskusi yang digelar secara virtual itu melibatkan seluruh kementerian/lembaga, pemerintah daerah, dan kantor wilayah Kemenkumham seluruh Indonesia. Adapun narasumber dalam diskusi itu di antaranya Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Direktur Jenderal HAM Kemenkumham Mualimin Abdi, Direktur Kerja Sama HAM Kemenkumham Hajerati, serta Deputi Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi HAM (Elsam) Andi Muttaqien.
Edward menyampaikan, RANHAM 2021-2025 berfokus pada pencapaian hasil (outcome) dan dampak bagi masyarakat. Untuk itu pula, sistem penilaian RANHAM ke depan akan dilaksanakan pada dua aspek, administrasi dan substansi pencapaian aksi.
Ia menambahkan, RANHAM generasi kelima ini telah disusun melalui proses yang panjang dengan memperhatikan berbagai masukan dari unsur pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, akademisi, serta masyarakat sipil. Tak hanya itu, penyusunannya juga mempertimbangkan berbagai capaian dan kendala yang telah ditemui pada RANHAM generasi-generasi sebelumnya.
Kebijakan pemda
Tito Karnavian menegaskan, RANHAM telah menjadi tolok ukur tidak hanya bagi pemerintah pusat, tetapi juga pemerintah daerah. Ia pun mencatat, pelaksanaan RANHAM telah memberikan capaian positif dalam pemajuan HAM di daerah. Dua di antaranya, meningkatnya pemahaman terkait HAM di kalangan aparat pemerintah daerah, serta terlaksananya instrumen HAM dalam kebijakan pemerintah daerah.
”Oleh karena itu, saya mendorong para kepala daerah provinsi, pemerintah kabupaten dan kota, untuk memenuhi target-target yang telah ditetapkan di dalam Perpres Nomor 53 Tahun 2021 tentang RANHAM,” kata Tito.
Selanjutnya, kata Tito, Kemendagri selaku pembina pelaksanaan pemerintahan di daerah, akan terus memantau dan mengevaluasi terkait capaian pelaksanan HAM di daerah.
Mualimin Abdi berharap, pemda dapat secara terus-menerus melaksanakan RANHAM secara konsisten agar masyarakat dapat memperoleh manfaat terkait perlindungan, penghormatan sampai pada pemajuan HAM.
Hajerati menambahkan, ada sejumlah alasan RANHAM generasi kelima difokuskan pada kelompok rentan. Sebab, tantangan yang saat ini ditemukan masih adanya kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang diskriminatif terhadap mereka, baik di tingkat nasional maupun daerah. Selanjutnya, belum optimalnya pemenuhan hak dan layanan bantuan hukum bagi mereka ketika berhadapan dengan hukum.
Ada sejumlah alasan RANHAM generasi kelima difokuskan pada kelompok rentan. Sebab, tantangan yang saat ini ditemukan masih adanya kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang diskriminatif.
Belum konsisten
Ada sejumlah catatan penting dalam pelaksanaan RANHAM generasi keempat, 2015-2020. Pertama, di 2020, partisipasi kementerian/lembaga turun. Namun, penurunan ini terjadi bukan karena tidak ada pelaporan, melainkan beberapa target aksi di kementerian/lembaga tersebut sudah selesai dan tidak perlu dilanjutkan lagi.
Kedua, dari data Kemenkumham, selama 2015-2020, masih terdapat lima provinsi yang belum berpartisipasi atau sudah berpartisipasi tetapi belum konsisten dalam pelaporan. Lima provinsi tersebut adalah Aceh, Papua, Papua Barat, Sumatera Utara, dan Sulawesi Tengah.
Ketiga, untuk kabupaten/kota, selama 2015-2020, mayoritas partisipasi tinggi itu berada di Jawa dan Sumatera. Sementara pemerintah kabupaten/kota yang belum berpartipasi atau sudah berpatisipasi, tetapi belum konsisten dalam pelaporan aksi HAM di daerah adalah kabupaten/kota di Aceh, Papua, Papua Barat, Sulawesi Tengah, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Utara.
”Partisipasi pemerintah kabupaten dan kota, terutama di wilayah Timur harus perlu didorong dalam pelaksanaan RANHAM generasi kelima,” kata Hajerati.
Partisipasi pemerintah kabupaten dan kota, terutama di wilayah Timur harus perlu didorong dalam pelaksanaan RANHAM generasi kelima.
Kendala
Hajerati mengungkapkan, berdasarkan evaluasi RANHAM generasi keempat (2015-2020), ada beberapa kendala yang ditemukan. Pertama, kendala substansi. Misalnya, pelaporan RANHAM dari kabupaten/kota yang masih bersifat administratif sehingga dalam penyusunan laporan evaluasi kepada Presiden belum dapat memetakan hasil (outcome) dan intervensi pelaksanaan RANHAM.
”Ada beberapa bagian hukum atau bappeda (badan perencanaan pembangunan daerah) kabupaten dan kota merasa kurang memahami tugas dan fungsi HAM karena merasa bahwa HAM adalah tugas dan fungsinya dari Kemenkumham. Padahal, HAM adalah amanat konstitusi dan perlindungan HAM menjadi tanggung jawab negara. Negara adalah kita semua yang duduk di pemerintahan,” kata Hajerati.
Lalu, ada kendala teknis. Misalnya, pergantian personel yang baru sehingga tidak memahami persoalan HAM. Khusus pemda, alokasi anggaran untuk RANHAM juga sangat minim. Ini ditengarai karena pemda merasa aksi RANHAM bersifat penugasan, bukan urusan rutin pemda.