Lelah Berkonflik, Warga Desa Ramang Kembali Ajukan Hutan Adat
Bagi masyarakat Desa Ramang, hutan adat bukan hanya sekadar identitas, melainkan juga solusi konflik lahan yang melelahkan. Mereka pun mengajukan kembali permohonan hutan adat kepada pemerintah.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Lelah berkonflik, masyarakat Desa Ramang, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, ajukan lagi hutan adat dan pengakuan. Setidaknya sudah lebih dari 10 tahun mereka mengurus hutan adat.
Sebelumnya, konflik lahan antara warga dan perusahaan perkebunan sawit di Desa Ramang, Kecamatan Banama Tingang, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, terus memanas lantaran ada perusahaan perkebunan sawit yang menggarap kebun dan hutan masyarakat. Konflik tersebut sudah terjadi sejak tahun 2015. Ribuan hektar lahan milik warga itu diklaim perusahaan.
Pada Kamis (20/5/2021) pagi, perwakilan desa bertemu dengan sejumlah pejabat di lingkungan Pemerintah Provinsi Kalteng dan kabupaten untuk membahas soal hutan adat yang mereka ajukan. Pertemuan itu dilakukan di Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Kalteng.
”Sudah 10 tahun lebih kami mengajukan hutan adat kami, tetapi baru kali ini ada respons. Kami tetap bersyukur dan berharap hak kami diberikan karena undang-undang mengatakan demikian,” kata Kepala Desa Ramang Ramba.
Ramba menambahkan, luas hutan adat yang sudah dipetakan lebih kurang 8.600 hektar. Identifikasi wilayah ia lakukan bersama dengan pemangku adat di desa dan masyarakat. Peta itu dibuat bahkan sebelum ia menjabat sebagai kepala desa.
Dari total 8.600 hektar, hanya 1.850 hektar wilayah yang rencananya bakal menjadi hutan adat menurut Pemerintah Kabupaten Pulang Pisau lantaran berada di area penggunaan lain (APL). Sementara sisanya berada di kawasan hutan.
”Memang area yang dipetakan itu berada di lintas kabupaten, sebagian di wilayah Pulang Pisau sebagiannya lagi berada di wilayah Kapuas,” kata Ramba.
Kepala Bidang Perhutanan Sosial Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng Ihtisan mengungkapkan, dalam aturannya, jika usulan lahan berada di kawasan dengan status APL, maka hanya perlu surat keputusan bupati untuk mengesahkan. Namun, jika berada di kawasan hutan, harus melalui perda. Dalam kasus di Desa Ramang, pengesahan tetap harus menggunakan perda karena ada kawasan yang masuk kawasan hutan.
”Pemerintah daerah harus terus didorong untuk bisa mengesahkan dan mengakui mereka (masyarakat adat). Kami terus berupaya untuk memfasilitasi pemerintah kabupaten dan masyarakat adat, tetapi saran saya kalau mau cepat pakai skema lainnya, misalnya hutan desa,” kata Ihtisan.
Ihtisan mengatakan, hingga saat ini pihaknya sudah sering memfasilitasi pemerintah daerah dengan membuatkan draf naskah akademik untuk pembuatan perda. Namun, biasanya anggaran menjadi salah satu alasan perda sulit sekali dibuat. ”Kami biasanya menyarankan untuk menggunakan dana bagi hasil sumber daya kehutanan dan dan reboisasi (DBH-DR),” ujarnya.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalteng Vent Christway menjelaskan, pada tahun 2019 sudah pernah diidentifikasi wilayah adat di Desa Ramang, tetapi luasnya hanya 1.850 hektar dan tidak sesuai dengan yang sudah diajukan masyarakat. Karena itu, pembahasannya menjadi panjang.
”Permohonannya baru masuk ke kami bulan Maret lalu, kendalanya kawasan itu masuk di lintas (masuk di dua kabupaten) sehingga perlu mengubah persyaratannya,” kata Vent.
Vent menambahkan, jika semua persyaratan bisa dipenuhi, pemerintah akan mudah mengakui dan mengesahkan hutan adat. Beragam persyaratan yang dimaksud pun termasuk peraturan daerah (perda).
Hutan adat dan pengakuan MHA di Desa Ramang merupakan inisiatif pemerintah desa dan masyarakat. Mereka tidak didampingi lembaga mana pun dalam perjuangannya mendapatkan hak mereka. Meskipun demikian, mereka paham betul akan kebutuhan mereka terhadap hutan adat di tengah konflik yang tak berujung.
Konflik yang panjang itu membuat masyarakat kehilangan mata pencaharian. Ramba mengungkapkan, warga tidak memiliki banyak pilihan pekerjaan, sementara ladang yang jadi tempat usaha mereka hilang. Menurut Ramba, setidaknya ada 2.000 hektar lahan tak hanya di Desa Ramang, tetapi hampir seluruh desa di Kecamatan Banama Tingang yang beralih jadi perkebunan sawit.
”Sudah puluhan kali pertemuan dengan perusahaan, polisi, pemerintah, tapi tak ada solusinya. Hutan adat ini penting bagi kami, ini juga kan kewajiban pemerintah untuk mengakui dan mengesahkannya,” ungkap Ramba.
Konflik yang panjang itu membuat masyarakat kehilangan mata pencaharian.
Titik Gideon (48), warga Ramang, mengatakan, lebih kurang 9 hektar kebun milik leluhurnya digarap perusahaan. Kebun karet dan buah-buahan lainnya sudah habis berganti dengan tanaman sawit.
”Pesan nenek kami dulu tanah tidak boleh dijual, dibuang, atau dibiarkan karena itu keringat leluhur yang harus dijaga, dengan kejadian seperti ini kami tidak merasakan keadilan,” ungkap Titik.
Titik menyampaikan, ia khawatir rusaknya hutan akan menimbulkan bencana alam seperti yang ia lihat di Banjarmasin, Kalimantan Selatan dan di Nusa Tenggara Timur. ”Masa mau menunggu sampai bencana datang baru sadar,” ujarnya.