Pekerja perempuan masih belum terlindungi. Mereka menghadapi sejumlah tantangan, seperti ancaman kekerasan hingga upah yang tidak setara dengan laki-laki.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perlindungan bagi pekerja perempuan dinilai belum optimal. Lingkungan kerja yang belum ramah perempuan serta perbedaan status kerja dan upah antara laki-laki dan perempuan menghambat kesejahteraan pekerja.
Isu ini kerap dialami perempuan yang bekerja di berbagai sektor, termasuk sektor perkebunan. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengatakan, di sektor perkebunan kelapa sawit, sebagian besar buruh perempuan merupakan pekerja harian lepas. Adapun buruh lelaki umumnya berstatus pekerja tetap.
Perbedaan status ini berpengaruh ke perolehan hak dan jaminan sosial pekerja. Buruh harian lepas tidak bisa mendapatkan jaminan sosial berupa BPJS Kesehatan ataupun Ketenagakerjaan. Perempuan pekerja lepas juga tidak bisa mendapatkan cuti haid, melahirkan, hingga keguguran.
”Marak juga status perempuan sebagai ghost labor (pekerja hantu), yakni istri para pekerja laki-laki yang terpaksa ikut bekerja untuk mencapai target kerja. Mereka tidak mendapat upah dari pekerjaannya,” kata Bintang pada diskusi Bincang Dua Puluh bertajuk ”Perempuan Hebat, Industri Sawit Kuat”, Selasa (22/3/2022), di kanal Youtube harian Kompas.
Menurut catatan Jejaring/Serikat Pekerja Buruh Sawit Indonesia (Japbusi), ada 4,45 juta pekerja perkebunan kelapa sawit. Persentase pekerja perempuan 30-35 persen atau setara 1,5 juta pekerja. Namun, tidak banyak perempuan berstatus pekerja tetap. Ini membuat mereka sulit menerima upah yang layak.
Sekretaris Eksekutif Japbusi Nursanna Marpaung mengatakan, isu lain yang dihadapi pekerja perempuan adalah keselamatan dan kesehatan kerja. Alat pelindung diri di lingkungan kerja minim sehingga pekerja rentan terpapar zat kimia. Adapun pekerjaan perempuan di perkebunan kelapa sawit mencakup pembersihan lahan, pembibitan dan penyemaian, penyemprotan dan pemupukan, perawatan, serta pemanenan.
Marak juga status perempuan sebagai ’ghost labor’ (pekerja hantu), yakni istri para pekerja laki-laki yang terpaksa ikut bekerja untuk mencapai target kerja. Mereka tidak mendapat upah dari pekerjaannya.
”Penting untuk membangun perlindungan dan kesejahteraan kepada pekerja perempuan, salah satunya melalui dialog sosial,” kata Nursanna.
Pemberdayaan perempuan juga penting karena di industri sawit telah menyerap 20 juta buruh. Sebanyak 60 persen di antaranya adalah buruh perempuan yang bekerja di berbagai bidang, baik pengolahan, perkebunan, maupun administrasi.
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Kementerian Ketenagakerjaan Indah Anggoro Putri mengatakan, kualitas ketenagakerjaan di berbagai sektor perlu diperbaiki dan diperkuat, termasuk perkebunan kelapa sawit. Isu ini juga akan dibahas selama presidensi Group of Twenty di Indonesia.
Perusahaan pun mesti dipastikan mengikuti aturan yang menjamin kesejahteraan pekerja. Menurut Organisasi Buruh Internasional (ILO), kerja layak mencakup beberapa hal, seperti perlindungan sosial, kesetaraan jender, pemenuhan hak fundamental, dan terjadinya dialog sosial.
Selain itu, menurut Indah, partisipasi pekerja perempuan mesti diperkuat. Ini bisa dilakukan dengan memperkuat implementasi kebijakan kesetaraan jender, memperbaiki keterampilan dan kapasitas tenaga kerja dengan pelatihan, serta melaksanakan kebijakan pengupahan sesuai dengan mekanisme pasar.
Ketua Women20 (W20) Indonesia Uli Silalahi mengatakan, pihaknya mendorong pembentukan regulasi khusus perlindungan buruh perkebunan kelapa sawit. Regulasi itu mengatur, antara lain, hubungan status kerja, sistem pengupahan, jaminan sosial kesehatan dan ketenagakerjaan, perlindungan K3, serta kebebasan berserikat. Dukungan kepada buruh perempuan akan ketenagakerjaan dan dibawa ke forum Group of Twenty.
Ketua Bidang Ketenagakerjaan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Sumarjono Saragih mengatakan, pihaknya sudah mengeluarkan buku panduan yang dapat dijadikan acuan untuk melindungi pekerja perempuan. Buku itu disusun bersama serikat buruh dalam negeri dan internasional.
Sementara itu, Managing Director Christelijk Nationaal Vakverbond (CNV) Internationaal Elles van Ark mengatakan, pihaknya bekerja sama dengan sejumlah pihak di seluruh rantai nilai industri kelapa sawit, baik investor, LSM, maupun serikat buruh. ”Kami percaya solusi dari semua ini adalah kerja sama,” katanya.