Buruh Perempuan Menanggung Beban Ganda
Di masa pandemi Covid-19, buruh perempuan menanggung beban berganda.

JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 berdampak pada dunia ketenagakerjaan. Pukulan yang dirasakan pekerja perempuan akibat pandemi lebih keras daripada pekerja laki-laki, khususnya di industri tekstil garmen dan alas kaki.
Sekitar 90 persen pekerja yang dikenai pemutusan hubungan kerja (PHK) dan dirumahkan adalah perempuan.
Survei Program Data Academy oleh Gajimu dan Trade Union Rights Centre (TURC) terhadap 302.848 pekerja di 134 pabrik tekstil garmen dan alas kaki pada Juli-November 2020 menemukan, ada 12.914 orang pekerja tetap yang terkena PHK. Adapun 16.642 pekerja diputus masa kontraknya dan 43.798 pekerja dirumahkan.
Dari keseluruhan pekerja yang terdampak, 90 persen di antaranya pekerja perempuan.
Ketua Lembaga Pemberdayaan Pekerja Perempuan Yanti Kusriyanti, Selasa (22/12/2020), mengatakan, di masa pandemi, perempuan semakin terpinggirkan. Perempuan menjadi kelompok pertama yang terkena PHK karena posisi rentan mereka yang mayoritas berstatus kontrak (perjanjian kerja waktu tertentu/PKWT).
Ada juga pekerja yang tidak terkena PHK, tetapi upah mereka tidak dibayar utuh. ”Beban yang dialami buruh perempuan berganda selama Covid-19. Bukan hanya harus menghadapi tantangan di tempat kerja formal, buruh perempuan juga banyak yang harus menjadi pekerja informal untuk menutupi kebutuhan hidup keluarganya,” katanya dalam acara diskusi virtual di Jakarta.
Baca juga : Hadapi Ketidakpastian Perlindungan, Posisi Tawar Buruh Diperkuat
Selain menafkahi keluarga dengan menyeimbangkan pekerjaan formal dan informal, perempuan juga harus menghadapi beban domestik terkait pekerjaan rumah tangga yang bertambah selama pandemi.
Beban yang dialami buruh perempuan berganda selama Covid-19.

Buruh perempuan dari berbagai kelompok menggelar aksi memperingati Hari Perempuan Internasional di Taman Aspirasi, seberang Istana Merdeka, Jakarta, Minggu (8/3/2020). Dalam aksinya, mereka menyuarakan sejumlah hal terkait penyetaraan hak perempuan, terutama penghapusan kekerasan dan pelecehan berbasis jender di dunia kerja.
Informalisasi pekerja perempuan menjadi fenomena yang banyak ditemukan di masa pandemi. Sebagian besar berjualan makanan dan minuman kecil atau berjualan daring.
Sementara bantuan sosial dari pemerintah tidak terasa karena masih banyak buruh yang tidak didaftarkan perusahaannya dalam program BP Jamsostek. Bantuan subsidi upah untuk pekerja yang bergaji bersih di bawah Rp 5 juta per bulan hanya bisa diakses peserta BP Jamsostek berstatus penerima upah atau pekerja formal yang didaftarkan perusahaannya.
Dianggap penurut
Perlakuan tidak adil, diskriminatif, dan pelecehan yang dialami buruh perempuan selama ini kerap tidak muncul ke publik. Namun, belakangan, advokasi dan pendidikan hak pekerja untuk buruh perempuan ditingkatkan.
”Selama ini perempuan dianggap penurut dan tidak mampu melawan. Hal ini yang harus diubah, pekerja perempuan harus bisa mengedukasi dan mengadvokasi diri. Ruang dialog dengan pengusaha, sesama buruh, dan pemerintah, menjadi kunci untuk mencapai pemulihan yang adil di masa pandemi ini,” kata Yanti.
Baca juga: Menangani Pengangguran di Masa Pandemi Covid-19
Direktorat Pengawasan Norma Kerja Perempuan dan Anak Kementerian Ketenagakerjaan Tresya Widiastuti Paidi mengatakan, kasus ketenagakerjaan memang kerap ditemukan di sektor tekstil dan garmen. Penyebabnya, antara lain, industri yang banyak mempekerjakan perempuan itu memiliki cukup banyak buruh berstatus kontrak atau PKWT sejak sebelum pandemi.
”Ada perusahaan di Purwakarta (Jawa Barat) yang sebelum pandemi permintaannya tinggi dari pembeli luar negeri. Pabriknya besar, dalam satu kawasan ada tiga pabrik yang memproduksi berbagai jenis komoditas ekspor, tetapi pekerjanya rata-rata masih berstatus PKWT,” kata Tresya.
Menurut Tresya, masih banyak juga pekerja di sektor itu yang tidak terdaftar di BP Jamsostek. Alasannya, berstatus PKWT.
Ia mengatakan, pemerintah akan mengawasi dan menindaklanjuti kasus pelanggaran hak pekerja, khususnya buruh perempuan. Namun, buruh perempuan harus memahami hak-haknya terlebih dahulu untuk memperjuangkan dan menyuarakan diskriminasi atau ketidakadilan yang dialami di lingkungan kerja.
Pemerintah akan mengawasi dan menindaklanjuti kasus pelanggaran hak pekerja, khususnya buruh perempuan.

Puluhan perempuan yang berprofesi sebagai buruh gendong dan pekerja rumahan di Bantul, Yogyakarta, mengadu nasib di halaman gedung DPRD DI Yogyakarta, 5 Desember 2018.
Tenaga Ahli Deputi III Kantor Staf Kepresidenan Agung Galih Satwiko mengatakan, salah satu tantangan yang harus disikapi pemerintah adalah fenomena pergeseran struktur pekerja formal ke informal yang signifikan akibat pandemi. Untuk itu, pemerintah akan membenahi bantuan sosial bagi pekerja.
Baca juga: Pemerintah Siapkan Subsidi Upah Lanjutan
”Pemerintah berusaha agar tidak ada masyarakat yang tidak mendapat bansos. Saat ini kami sedang mengkaji apakah bantuan subsidi upah bisa diperluas juga untuk pekerja informal. Hanya saja, selama ini persoalannya memang ada di verifikasi pendataan,” kata Agung.
Pemerintah berusaha agar tidak ada masyarakat yang tidak mendapat bansos.
Ia mengatakan, pemetaan dan pendataan dilakukan untuk mengelompokkan pekerja informal yang bisa mendapat bantuan dari program lain, seperti bantuan untuk UMKM. ”Pemerintah sebenarnya memberi banyak skema bantuan, seperti UMKM. Memang ada yang bisa dibantu lewat (skema UMKM), ada yang tidak. Itu yang terus kami petakan dan kami beri bantuan yang sesuai,” katanya. (AGE)