Momentum Memenuhi Hak Penyandang Disabilitas
Penyandang disabilitas merupakan bagian dari pembangunan nasional. Oleh karena itu, presidensi Indonesia dalam G-20 hendaknya menguatkan upaya pemerintah dalam melahirkan kebijakan-kebijakan yang makin inklusif.

Presiden Joko Widodo menerima keketuaan atau presidensi G-20 pada sesi penutupan Konferensi Tingkat Tinggi G-20 di La Nuvola, Roma, Italia, Minggu (31/10/2021).
Sejak 1 Desember 2021, Indonesia memegang keketuaan atau presidensi Group of Twenty (G-20). Hal ini, di satu sisi, merupakan sebuah kepercayaan dan kehormatan, tetapi di sisi lain menjadi tantangan sekaligus peluang bagi Indonesia. Selain mendorong negara-negara G-20 untuk melakukan berbagai aksi nyata dan terobosan besar, keketuaan G-20 juga harus memberi dampak bagi Indonesia sendiri.
Supaya tidak hanya menjadi seremonial belaka—seperti kata Presiden Joko Widodo—program Presidensi G-20 Indonesia yang mengusung tema ”Recover Together, Recover Stronger” (Pulih Bersama, Bangkit Perkasa) diharapkan menyasar isu-isu kelompok rentan. Salah satunya, penyandang disabilitas yang hingga kini penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan haknya masih jauh dari harapan.
Meskipun telah ada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, implementasinya di lapangan masih mengalami hambatan dan tantangan. Mayoritas penyandang disabilitas di Indonesia masih hidup dalam situasi dan kondisi rentan, terbelakang, lekat dengan kemiskinan. Akses pada layanan kesehatan, pendidikan, dan ketenagakerjaan juga masih terbatas.
Bahkan, di masa pandemi Covid-19, kondisi penyandang disabilitas makin terpuruk. ”Kelompok disabilitas di masa pandemi makin miskin karena kerentanan yang dimilikinya. Ini seperti lingkaran setan,” ujar Risnawati Utami, Representative of UN Convention on the Rights of Person with Disabilities (UNCRPD), pada acara kampanye G-20 dengan isu disabilitas, Rabu (26/1/2022).
Kampanye G-20 yang mengusung tema ”Mendorong Keterlibatan Penyandang Disabilitas untuk Inklusivitas” diselenggarakan Kementerian Ketenagakerjaan selaku focal point G-20 Employment Working Group (EWG) bekerja sama dengan berbagai kelompok kerja dan organisasi terkait G-20. Salah satu isu prioritas G-20 Employment Working Group Presidensi Indonesia 2022 adalah ”Pasar Kerja yang lnklusif dan Afirmasi Pekerjaan yang Layak untuk Penyandang Disabilitas”.
Baca juga : Presidensi G-20: Bukan Sekadar Giliran
Isu itu diambil karena kebijakan inklusif dan pekerjaan yang layak bagi penyandang disabilitas yang makin banyak diharapkan akan mengurangi kemiskinan penyandang disabilitas.
Sudah saatnya pemerintah dan masyarakat meninggalkan cara pandang yang melihat penyandang disabilitas sebagai kelompok masyarakat yang tidak efisien dan tidak produktif. Sebaliknya, penyandang disabilitas yang jumlahnya terus meningkat tiap tahun haruslah ditempatkan sebagai investasi bangsa. Hal ini akan terwujud jika negara membuka akses lapangan kerja (kesempatan yang sama) bagi penyandang disabilitas serta menyiapkan semua infrastruktur dan fasilitas pendukung yang inklusif dan aksesibel.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memberikan sambutan dalam pembukaan Presidensi G-20 Indonesia di Taman Lapangan Banteng, Jakarta, Rabu (1/12/2021). Indonesia secara resmi memegang presidensi G-20 dengan mengusung misi bertema Recover Together, Recover Stronger selama setahun penuh terhitung mulai 1 Desember 2021 hingga Konferensi Tingkat Tinggi G-20 pada November 2022.
Hapus kesenjangan
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengakui, pandemi Covid-19 berdampak pada meningkatnya pekerjaan tidak berbayar yang memperlebar kesenjangan yang sudah ada sebelumnya, terutama di kalangan perempuan penyandang disabilitas.
Jika situasi tersebut tidak diperbaiki, ketergantungan penyandang disabilitas akan meningkat dan partisipasi mereka dalam masyarakat terbatas. Hal ini berpotensi meningkatkan tingkat kemiskinan penyandang disabilitas.
Oleh karena itu, selain memandang isu disabilitas sebagai isu hak asasi manusia, proses pembangunan ekonomi dan sosial juga harus didorong makin inklusif agar bisa mendukung penyandang disabilitas. Sebab, krisis kesehatan telah menciptakan tekanan yang lebih besar pada sistem dan fasilitas sosial-ekonomi bagi mereka yang tidak bisa hidup secara mandiri.
Menyadari hal tersebut, Ida menegaskan,Kemenaker terus berupaya memperkuat pengarusutamaan hak penyandang disabilitas atas pekerjaan dengan mendorong pemerintah, BUMN/BUMD, dan perusahaan swasta untuk mempekerjakan penyandang disabilitas sesuai amanat UU No 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas. Di badan usaha milik negara (BUMN) minimal 2 persen dari total pekerja dan swasta minimal 1 persen.
Pada tahun 2021, sebanyak 1.271 penyandang disabilitas bekerja di 72 BUMN dan 4.554 penyandang disabilitas telah bekerja di 588 perusahaan swasta. ”Jumlah ini sedikit bila dibandingkan dengan jumlah penyandang disabilitas di Indonesia yang diperkirakan mencapai 16,5 juta orang, terdiri dari 7,6 juta laki-laki dan 8,9 juta perempuan,” papar Ida.
Pemerintah juga berupaya untuk menjamin partisipasi penuh dan perlindungan hak-hak penyandang disabilitas di dunia kerja. Misalnya, pelatihan dan penempatan kerja di BUMN serta pembentukan unit layanan disabilitas ketenagakerjaan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
Baca juga : Kepemimpinan G-20
Harapan keketuaan Indonesia dalam G-20 benar-benar menjadi momentum pemenuhan hak-hak disabilitas dalam dunia kerja juga disampaikan Muktadin Mustafa, penyandang disabilitas yang bekerja di Kemenaker; Aria Indrawati, Ketua Umum Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) dan pengurus Yayasan Mitra Netra; serta Wahyu Susilo, Direktur Eksekutif Migrant Care.

Para pembicara tampil pada kampanye G-20 yang mengusung tema ”Mendorong Keterlibatan Penyandang Disabilitas untuk Inklusivitas”. Kampanye itu diselenggarakan Kementerian Ketenagakerjaan selaku focal point G-20 Employment Working Group bekerja sama dengan berbagai kelompok kerja dan organisasi terkait G-20.
Muktadin mengatakan, saat pandemi melanda Indonesia, makin banyak pekerja yang menganggur. Hingga 2021 jumlahnya mencapai 16,9 juta orang, termasuk penyandang disabilitas. ”Tantangan lain, kita tidak bisa melacak disabilitas mental karena kondisi pandemi,” katanya.
Tantangan terbesar yang dihadapi saat ini ialah masih banyaknya stigma masyarakat terhadap penyandang disabilitas. Mereka menganggap disabilitas tidak akan seproduktif pekerja nondisabilitas. Padahal, banyak lapangan pekerjaan yang tidak ada kaitannya dengan kondisi seseorang, apakah disabilitas atau tidak.
”Pemberi kerja masih tidak yakin pekerja disabilitas akan berkontribusi meningkatkan produktivitas perusahaan. Lingkungan juga masih memandang sebelah mata penyandang disabilitas. Aksesibilitas dari rumah ke tempat bekerja pun masih sulit. Jadi tantangannya berlapis,” papar Muktadin.

Peluncuran situs web resmi G20.org turut menandai pembukaan Presidensi G-20 Indonesia di Taman Lapangan Banteng, Jakarta, Rabu (1/12/2021). Turut hadir dalam acara pembukaan antara lain Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Indonesia secara resmi memegang presidensi G-20 dengan mengusung misi bertema Recover Together, Recover Stronger selama setahun penuh, mulai 1 Desember 2021 hingga KTT G-20 pada November 2022.
Perempuan disabilitas
Di dunia kerja, perempuan disabilitas mengalami tantangan dan diskriminasi berlapis, sebagai perempuan dan sebagai penyandang disabilitas. Selain lingkungan yang kurang menerima, kondisi ini dipengaruhi oleh keluarga sendiri. Ada keluarga yang sangat berlebihan memproteksi anak perempuan disabilitas sehingga anak tersebut tidak bisa keluar rumah untuk bekerja. Namun, ada juga yang mengabaikan dan memandang anak perempuan disabilitas tidak berguna sehingga tidak diberi akses pendidikan.
Saat ini, jumlah penyandang disabilitas menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sekitar 15 persen dari jumlah penduduk yang 45 persennya adalah perempuan. ”Ini bukan jumlah yang sedikit. Kalau mereka dibiarkan tidak berdaya, alangkah beratnya beban pemerintah di suatu negara untuk terus menyantuni kelompok ini,” kata Aria.
Padahal, jika perempuan disabilitas diberdayakan, termasuk yang tinggal di pelosok dan daerah terpinggir, mereka akan menjadi bagian dari pembangunan ekonomi negara dan membayar pajak. Dengan begitu, pembangunan inklusif tidak hanya menjadi slogan.
Ini bukan jumlah yang sedikit. Kalau mereka dibiarkan tidak berdaya, alangkah beratnya beban pemerintah di suatu negara untuk terus menyantuni kelompok ini.
”Kewirausahaan adalah salah satu cara memberdayakan perempuan disabilitas karena sektor formal sangat terbatas,” kata Aria yang mendorong selain ada langkah afirmasi kuota pekerjaan, penyandang disabilitas juga harus didorong dalam pemanfaatan teknologi informasi.
Sementara Wahyu mendorong pembangunan menggunakan pendekatan Gender Equality, Disability and Social Inclusion (GEDSI) untuk mengukur apakah pembangunan merangkul semua pihak atau malah meminggirkan kelompok yang selama ini tersembunyi, tidak dihitung.
”Dalam konteks G-20, pertanyaannya, G-20 itu untuk siapa? Karena kita tahu, dari berita-berita, G-20 itu narasi besar, ekonomi, keuangan, pembangunan. Namun, apakah G-20 memberi perhatian pada masalah yang terlupakan, misalnya soal ketidakadilan jender, migrasi, ketimpangan, ketidakadilan, marjinalisasi, peminggiran, dan penyandang disabilitas,” papar Wahyu yang mengapresiasi ada forum G-20 yang membahas isu disabilitas.
Karena itulah, penting bagi masyarakat mengawal G-20 agar tidak hanya menjadi dokumen, tetapi benar-benar menghasilkan rekomendasi yang konkret. Dengan demikian, pembangunan tidak melupakan dan meninggalkan siapa pun (no one left behind), termasuk penyandang disabilitas, sebagaimana prinsip Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.