Kepemimpinan G-20
Kepemimpinan G-20 yang efektif adalah yang dapat membuat kesepakatan terlaksana dengan baik untuk mencapai tujuannya. Tantangannya adalah koordinasi dan sinkronisasi regulasi antarnegara di Forum G-20.
Indonesia memegang kepemimpinan G-20 yang terdiri atas negara-negara yang menguasai sekitar 80 persen ekonomi dunia. Sekalipun keputusan dalam G-20 tidak mengikat, tetapi menjadi arahan penting bagi kebijakan ekonomi negara-negara anggota, dan juga lembaga multilateral serta pelaku ekonomi swasta, termasuk juga lembaga masyarakat non-pemerintah.
Agendanya biasanya berkaitan dengan tantangan ekonomi global dan nasional pada saat itu. Kali ini isu yang dibahas adalah pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid19, sistem kesehatan global terutama salam mengatasi pandemi, pengembangan ekonomi digital, dan pengurangan emisi karbon dalam kerangka ekonomi hijau.
Forum G-20 sering juga dikritik sebagai kurang tegas dalam membuat kesepakatan dan kurang kuat dalam pelaksanaannya. Negara-negara anggota juga dipandang lebih menekankan kepentingan nasionalnya daripada kepentingan bersama secara global. Hal ini dapat dimengerti karena itu tantangannya adalah membuat kesepakatan yang dapat dijalankan di tingkat nasional dan global, serta memberikan manfaat optimal kepada negara anggota dan dunia.
Tantangannya adalah membuat kesepakatan yang dapat dijalankan di tingkat nasional dan global, serta memberikan manfaat optimal kepada negara anggota dan dunia.
Superposisi negara anggota
Bagaimanapun negara anggota G-20 memberikan bobot yang lebih besar pada kepentingan nasionalnya masing-masing daripada kepentingan bersama. Kepentingan bersama dalam mengatasi pandemi, kebijakan ekonomi yang tersinkronisasi dengan negara berkembang, serta pengembangan ekonomi digital dan hijau mendapatkan bobot yang lebih rendah dalam superposisi mereka antara kepentingan nasional dan G-20 (dunia).
Karena itu tidak mengherankan jika banyak kritik bahwa kesepakatan G-20 pada umumnya realisasinya rendah. Seperti yang disampaikan oleh Presiden Jokowi dan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mempertanyakan realisasi komitmen negara maju untuk berkontribusi sebesar 100 miliar dollar AS per tahun bagi upaya mengatasi perubahan cuaca (climate change).
Ketersediaan vaksin Covid-19 yang sangat timpang menperlihatkan negara maju lebih mementingkan kepentingan warga negaranya terlebih dahulu daripada dunia. Produsen vaksin juga demikian seperti terlihat sulitnya mendapatkan lisensi untuk memproduksi vaksin di negara berkembang yang sangat membutuhkannya.
Tindakan menghadapi gelombang varian Omicron adalah dengan menutup perjalanan dari dan ke negara yang paling terdampak, dengan minim koordinasi. Akses lisensi produksi vaksin akan memperbesar kemampuan negara berkembang memproduksi vaksin melengkapi India dan China, dan khususnya Indonesia juga bisa menjadi produsen vaksin yang lebih besar.
Baca juga: Peran G-20 Atasi Pandemi Global
Dengan inflasi yang tinggi karena pemulihan ekonomi, harga energi, pangan dan besarnya likuditas di pasar, di AS mencapai 6,2 persen, Eropa 4,9 persen, dan negara-negara anggota G-20 lainnya, Turki sekitar 20 persen, India 14,2 persen, dan Brasil 10,7 persen, bank sentral mereka kemungkinan menaikkan suku bunga lebih awal dan lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya.
Bahkan, bank sentral Brasil sudah menaikkan suku bunga beberapa kali. Adapun Turki malahan presidennya menginginkan suku bunga diturunkan pada saat inflasi tinggi dan mata uang terdepresiasi. Koordinasi menjadi lebih sulit karena bank sentral salah memperkirakan inflasi sebagai sementara ternyata permanen sehingga kemungkinan harus menarik rem kebijakan moneter lebih awal dan lebih kuat.
Koordinasi menjadi lebih sulit karena bank sentral salah memperkirakan inflasi.
Pengembangan teknologi dan pasar pengurangan emisi karbon juga sangat kurang berkembang di negara berkembang. Berbeda dengan energi fosil yang menarik demikian besar investasi dari negara maju ke negara berkembang, terutama yang kaya sumber alam, tidak demikian halnya untuk investasi, teknologi dan pasar energi baru dan terbarukan, serta ekonomi hijau pada umumnya.
Adapun kesepakatan penerapan pajak korporat pada tingkat internasional, minimum 15 persen, merupakan kesepakatan yang mendapatkan dukungan penuh dari semua anggota G-20. Semua negara berkepentingan menghapuskan tempat penghindaran pajak (tax heaven) dan mendapatkan penerimaan pajak dari perusahaan internasional, terutama perusahaan teknologi.
Penyebaran ekonomi digital cepat meluas ke negara berkembang. Namun banyak negara bereaksi negatif melarang penambangan dan perdagangan kripto seperti China, sementara negara berkembang, seperti El Salvador, terlalu jauh mengadopsinya sebagai mata uang resmi. Negara maju juga tidak begitu jelas dalam menerapkan regulasi kripto, terutama untuk perlindungan konsumen dan pencegahan tindakan kriminal.
Sementara itu, perkembangannya semakin pesat karena pada dasarnya teknologi block chain yang dipergunakan dapat berkembang dan menyebar luas dengan keterbukaan teknologi (open source), dan keorganisasiannya yang terdesentralisasi (decentralized auronomous organization).
Baca juga: Presidensi G-20 dalam Pemulihan Ekonomi Dunia
Efektivitas kepemimpinan dan kesepakatan
Kepemimpinan G-20 yang efektif adalah yang dapat membuat kesepakatan terlaksana dengan baik untuk mencapai tujuannya. Tentu dengan mempertimbangkan superpoisisi masing-masing anggota yang bagaimanapun memberikan bobot yang lebih besar pada kepentingan nasionalnya. Karena itu kesepakatan yang dibuat haruslah dapat mengagregat bobot pada kepentingan bersama G-20 (dunia).
Agregator terkuat adalah aspek manfaat ekonomi dan teknologi. Sangatlah sulit mengharapkan koordinasi dalam kebijakan moneter untuk menaikkan suku bunga dalam mengatasi inflasi.
Agregator terkuat adalah aspek manfaat ekonomi dan teknologi.
Lebih realistis jika anggota dari negara berkembang mendapatkan akses swap kepada the Fed yang sangat penting mengatasi kejutan (shock) dari kenaikan bunga di negara maju yang biasanya berakibat pada aliran modal keluar (capital outflow) dan depresiasi mata uang. Tentu saja dengan persyaratan kebijakan moneter dan fiskal yang sesuai.
Begitu pula dalam mengatasi pandemi, di mana ketersediaan vaksin menjadi kunci. Akses pada lisensi memproduksi vaksin di negara berkembang sangat penting. Untuk itu tentu saja keterlibatan produsen vaksin utama, seperti Pfizer, Moderna, Astra Zeneca, dan Johnson and Johnson, sangat penting untuk menyinergikan kepentingan kesehatan dan bisnis.
Dalam hal pengurangan emisi karbon dan pengembangan ekonomi hijau, peran investasi, perdagangan karbon, dan teknologi untuk EBT sangatlah menentukan. Bagaimana negara berkembang memfasilitasi investasi bagi pengembangan EBT dan ekonomi hijau yang dapat mencapai tujuannya dan menguntungkan secara ekonomi menjadi basis bagi pengurangan emisi karbon dan pengembangan ekonomi hijau.
Transfer teknologi yang lebih ekonomis dan ramah lingkungan dalam pengembangan EBT, apakah hidro, geotermal, surya, dan gelombang membuat ekonomi hijau menjadi kenyataan. Begitu pula dalam perdagangan karbon, yang semestinya bisa win-win antara negara maju dan berkembang. Pengembangan bisnis penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon captured and storage) juga membutuhkan insentif bagi produsen energi fosil untuk mengembangkannya dalam skala lebih besar.
Ekonomi digital dari perkembangan pasar dan alih teknologinya berjalan cepat dan akan lebih cepat lagi penyebarannya. E-commerce berkembang dengan pesat, begitu pula e-payment, yang disusul cryptocurrency dengan teknologi block chain-nya.
Baca juga: G-20 dan Momentum Transformasi
Keterbukaan teknologi dari block chain dan mudahnya akses dari segala penjuru dunia pada pasar kripto, selama tersedia akses internet, berlangsung dengan cepat. Tinggal bagaimana pemerintah di G-20 membuat sinkronisasi regulasi yang tujuannya adalah stabilitas sistem keuangan, perlindungan konsumen, dan menghindarkan pemanfaatannya untuk tindak kriminal.
Pelarangan kripto seperti di China bukanlah jawaban yang tepat. Banyak manfaat dari kripto dan block chain-nya untuk meningkatkan inklusi keuangan dan pengembangan ekonomi hijau. Regulator di AS, Eropa, dan India mengarah pada regulasi kripto demikian. Bahkan Perdana Menteri India Modi mengusulkan pemanfaatan teknologi digital untuk pemilihan umum dengan digital vote.
Koordinasi dan sinkronisasi dibutuhkan dalam regulasi kripto dengan perkembangan global yang sangat pesat. Tentu saja rencana penerbitan mata uang digital bank sentral menjadi salah satu perhatian penting dalam memfasilitasi perkembangan ekonomi digital.
Umar Juoro, Senior Fellow the Habibie Center