Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Lili Pintauli Siregar diyakini bakal menerima sanksi berat dalam dugaan penerimaan gratifikasi berupa akomodasi dan tiket menonton MotoGP di Mandalika, Nusa Tenggara Barat.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Lili Pintauli Siregar diyakini bakal menerima sanksi berat dalam dugaan penerimaan gratifikasi berupa akomodasi dan tiket menonton MotoGP di Mandalika, Nusa Tenggara Barat, dari sebuah perusahaan milik negara. Sebab, sebelum perkara ini dilaporkan, Lili pernah juga divonis melanggar etik KPK.
Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman meyakini, Lili bakal diberikan sanksi berat karena sudah pernah melanggar etik. Sebelumnya, pada akhir Agustus 2021, Lili terbukti melanggar etik karena telah menyalahgunakan pengaruh selaku unsur pimpinan KPK untuk kepentingan pribadi. Lili juga berkomunikasi dengan bekas Wali Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara, M Syahrial, yang perkaranya sedang ditangani oleh KPK.
Atas pelanggaran tersebut, Lili dijatuhi sanksi berupa pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama satu tahun. Berdasarkan Peraturan Dewan Pengawas (Dewas) KPK Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK, sanksi ini masuk kategori berat.
Pada 20 April 2022, Dewas KPK menyatakan Lili terbukti melakukan kebohongan dalam jumpa pers pada 30 April 2021. Saat jumpa pers tersebut, Lili menepis menjalin komunikasi dengan M Syahrial terkait penanganan perkara. Namun, Dewas tak melanjutkan kasus itu karena Lili sudah dihukum termaktub dalam putusan perkara etik sebelumnya.
Lili bakal diberikan sanksi berat karena sudah pernah melanggar etik. Sebelumnya, pada akhir Agustus 2021, Lili terbukti melanggar etik karena telah menyalahgunakan pengaruh selaku unsur pimpinan KPK untuk kepentingan pribadi. Lili juga berkomunikasi dengan bekas Wali Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara, M Syahrial, yang perkaranya sedang ditangani oleh KPK.
”Karena (Lili) sudah residivis, sudah dua kali, sehingga ada pemberatan,” kata Boyamin saat dihubungi dari Jakarta, Senin (4/7/2022).
Dugaan penerimaan laporan gratifikasi ini bermula dari pengaduan yang diterima Dewas KPK pada medio April lalu. Lili dilaporkan telah menerima gratifikasi dari PT Pertamina (Persero). Diduga gratifikasi yang diterima Lili berupa akomodasi dan tiket menonton MotoGP di Sirkuit Internasional Mandalika.
Menurut Boyamin, sebaiknya Lili mundur karena Dewas diyakini bakal memberikan sanksi berupa permintaan mengundurkan diri. Ia meyakini, Dewas bakal membuka untuk umum dalam putusannya bagaimana upaya Lili mendapatkan tiket dan fasilitas lainnya, serta usaha untuk menutupi kasus ini.
Lili diduga melakukan upaya menutupi dengan cara seakan-akan membeli tiket sendiri pada Februari. Namun, usahanya tersebut terkuak karena pajak pembelian tiket baru dibayar pada April. Adapun MotoGP Mandalika berlangsung pada Maret.
Ia mengungkapkan, Lili diduga melakukan upaya menutupi dengan cara seakan-akan membeli tiket sendiri pada Februari. Namun, usahanya tersebut terkuak karena pajak pembelian tiket baru dibayar pada April. Adapun MotoGP Mandalika berlangsung pada Maret.
Dilaporkan ke kejaksaan
Dugaan penerimaan gratifikasi ini menambah panjang kasus hukum yang menjerat Lili. Sebelumnya, Boyamin sudah melaporkan kepada Kejaksaan Agung terkait dengan Lili yang berkomunikasi dengan M Syahrial. Laporannya ini masih berproses di Kejagung dan belum dihentikan.
Dalam kasus ini, Lili diduga melanggar Pasal 36 Undang-Undang KPK yang melarang pimpinan KPK melakukan kontak dengan pihak yang perkaranya ditangani KPK, baik langsung maupun tidak langsung, dengan alasan apa pun. Pelanggaran atas pasal ini diancam hukuman lima tahun.
Lili diduga melanggar Pasal 36 Undang-Undang KPK yang melarang pimpinan KPK melakukan kontak dengan pihak yang perkaranya ditangani KPK, baik langsung maupun tidak langsung, dengan alasan apa pun. Pelanggaran atas pasal ini diancam hukuman lima tahun.
Menurut Boyamin, dugaan penerimaan gratifikasi ini telah melanggar dua pasal. Pertama, Pasal 36 UU KPK, yakni berkomunikasi dengan pihak Pertamina yang perkaranya sedang ditangani KPK sejak akhir 2021 dalam dugaan korupsi pembelian gas alam cair atau LNG Portofolio dari Afrika. Kasus ini merupakan pengambilalihan dari Kejagung.
Kedua, Lili diduga melanggar pasal gratifikasi atau suap karena menerima sejumlah fasilitas dari Pertamina yang perkaranya sedang ditangani oleh KPK. Hal ini diatur dalam Pasal 5, 11, dan 11 UU Pemberantasan Korupsi.
Boyamin berencana akan memberikan laporan tambahan kepada Kejagung terkait penerimaan gratifikasi oleh Lili dari Pertamina yang akan dijadikan satu dengan kasus berkomunikasi dengan Syahrial.
”Jadi, kita lihat nanti seperti apa. Ya, mestinya tanpa laporan pun Kejaksaan Agung bisa menangani ini, memproses. Tapi, ya, kalau perlu dibutuhkan pelaporan, kami siap saja melaporkan itu,” kata Boyamin.
Melindungi kelembagaan KPK
Menurut Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari, sangat mudah bagi Dewas untuk memberikan sanksi berat kepada Lili yakni dengan meminta agar Lili mengajukan pengunduran diri sebagai pimpinan KPK. Sebab, Lili menghadapi tiga sidang etik.
Pada Pasal 11 Ayat (2) Peraturan Dewan Pengawas KPK Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK disebutkan, dalam hal terjadi pengulangan pelanggaran oleh Insan komisi pada jenis pelanggaran yang sama, maka sanksi dapat dijatuhkan satu tingkat di atasnya.
Menurut Feri, sanksi berat untuk Lili sangat penting untuk melindungi kelembagaan KPK. ”Penting untuk membangun preseden bahwa setiap pelanggaran etik di KPK konsekuensinya berat,” kata Feri.
Kompas sudah mencoba menghubungi Lili untuk meminta tanggapan terkait dugaan penerimaan gratifikasi, tetapi tidak direspons. Sementara itu, Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, KPK menghormati seluruh proses di Dewas sebagaimana tugas dan kewenangannya diatur dalam Pasal 37B UU KPK.
KPK meyakini, setiap tahapan dilakukan secara profesional sesuai fakta dan penilaian Dewas. Hasilnya pun akan disampaikan kepada masyarakat sebagai prinsip akuntabilitas dan transparansi.
”KPK meyakini, setiap tahapan dilakukan secara profesional sesuai fakta dan penilaian Dewas. Hasilnya pun akan disampaikan kepada masyarakat sebagai prinsip akuntabilitas dan transparansi,” kata Ali.
Ia menegaskan, penegakan kode etik oleh Dewas adalah bagian untuk memperkuat pemberantasan korupsi KPK. Karena itu, proses yang sedang berlangsung di Dewas harus dihormati. Sejauh ini, dari informasi yang diterima Kompas, Lili tidak akan mundur dari KPK meskipun banyak yang memperkirakan.
Anggota Dewas KPK, Harjono, menyampaikan, Lili akan dipanggil untuk mengikuti sidang pada 5 Juli. Agenda sidang tersebut terkait dengan kasus dugaan penerimaan gratifikasi menonton MotoGP di Mandalika.