Dewan Pengawas KPK memutuskan melanjutkan penanganan perkara dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar. Lili yang dilaporkan menerima gratifikasi akan segera menjalani persidangan.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Lili Pintauli Siregar lagi-lagi harus menjalani persidangan lantaran masalah etik. Dewan Pengawas KPK telah menjadwalkan sidang etik terhadap Lili atas dugaan penerimaan gratifikasi untuk menonton MotoGP di Mandalika, Nusa Tenggara Barat, beberapa waktu lalu. Publik mengharapkan majelis sidang kode etik tersebut benar-benar bersikap independen dan obyektif.
Kepastian untuk membawa Lili ke sidang etik diungkapkan anggota Dewas KPK, Albertina Ho, Selasa (28/6/2022). Albertina menyatakan, Dewas KPK telah memutuskan melanjutkan dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Lili ke persidangan. Meski demikian, waktu pelaksanaan sidang belum dipastikan. ”Masih disusun jadwalnya,” kata Albertina.
Pada medio April lalu, Lili Pintauli kembali diadukan ke Dewas KPK terkait dengan dugaan penerimaan gratifikasi. Lili diduga menerima gratifikasi berupa akomodasi hotel hingga tiket menonton MotoGP 2022 di Sirkuit Internasional Mandalika dari salah satu badan usaha milik negara (BUMN).
Terkait dengan pengaduan itu, Dewas KPK telah mendapatkan keterangan dari Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati. Keterangan tersebut disampaikan Nicke melalui surat kepada Dewas KPK.
Pengaduan itu menambah panjang kasus pelanggaran etik yang dilakukan oleh Lili Pintauli. Pada akhir Agustus 2021, Lili terbukti melanggar etik karena telah menyalahgunakan pengaruh selaku unsur pimpinan KPK untuk kepentingan pribadi. Tak hanya itu, ia juga berkomunikasi dengan pihak yang perkaranya sedang ditangani KPK, yakni bekas Wali Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara, M Syahrial. Atas pelanggaran tersebut, Lili dijatuhi sanksi berupa pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama satu tahun.
Kemudian, pada 20 April 2022, Dewas KPK menyatakan Lili telah terbukti melakukan kebohongan dalam jumpa pers pada 30 April 2021. Saat jumpa pers itu, Lili menepis telah menjalin komunikasi dengan M Syahrial terkait dengan penanganan perkara. Namun, Dewas memutuskan tak melanjutkan kasus itu ke tahap sidang etik karena menganggap sanksi untuk Lili telah diserap dalam kasus komunikasi dengan M Syahrial.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari berpandangan, kasus pelanggaran etik seharusnya segera direspons Dewas KPK karena terkait erat dengan upaya untuk menjaga marwah KPK. Sebab, jika pimpinan KPK punya banyak kepentingan, termasuk menerima gratifikasi dengan berbagai alasan, hal itu akan semakin melunturkan kepercayaan publik kepada KPK.
”Mana mungkin publik bisa percaya kepada KPK kalau standar etiknya tidak tinggi. KPK tidak boleh memakai dua kaki, yaitu bicara soal etika, sementara dia sendiri boleh melanggar etika. Bicara soal standar tinggi etika dan moralitas, tapi dia sendiri pelaku dan pelanggarnya,” ujar Feri.
Menurut Feri, dengan standar etik yang tinggi, sudah seharusnya mereka yang berada di dalam KPK tidak bermain-main dengan pelanggaran sekecil apa pun. Jika di institusi lain pelanggaran serupa hanya diberi sanksi ringan, berbeda halnya dengan KPK yang harusnya langsung menerapkan sanksi berat tanpa mempertimbangkan alasan apa pun.
Mana mungkin publik bisa percaya kepada KPK kalau standar etiknya tidak tinggi. KPK tidak boleh memakai dua kaki, yaitu bicara soal etika, sementara dia sendiri boleh melanggar etika. Bicara soal standar tinggi etika dan moralitas, tetapi dia sendiri pelaku dan pelanggarnya
Di sisi lain, selain terkait standar etik KPK yang tinggi, Lili juga telah melakukan tiga kali pelanggaran etik. Keberulangan itu semakin memperlihatkan bahwa dia tidak bisa menjaga marwah KPK yang seharusnya diganjar hukuman berat, yakni diberhentikan sebagai Wakil Ketua KPK.
”Di sinilah kita bisa menilai, apakah dewan etik dibentuk utk melindungi pelanggaran etik pimpinan atau betul-betul menegakkan etik di KPK,” kata Feri.
Hal yang dikhawatirkan, lanjut Feri, Dewas justru bertindak sebagai lembaga yang membenarkan pelanggaran etik pimpinan KPK dengan dalih sudah diberikan sanksi. Padahal, Dewas diberi amanat untuk menjaga lembaga KPK dari tindakan nonetis, baik yang dilakukan pimpinan dan pegawai KPK. Dalam konteks itu, sanksi yang dijatuhkan tidak semata soal keras atau lunak, tetapi sanksi itu dijatuhkan adalah demi melindungi marwah KPK.
Bersikap obyektif
Secara terpisah, peneliti dari Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, berharap majelis sidang kode etik yg dibentuk Dewas bebas dari konflik kepentingan. Harapan itu muncul karena bukan tidak mungkin terdapat anggota majelis sidang kode etik yang sudah memiliki persepsi terhadap Lili karena sebelumnya merupakan anggota panitia seleksi calon pimpinan KPK yang meloloskan Lili.
”Dikhawatirkan pandangannya menjadi tidak obyektif terhadap Lili Pintauli Siregar. Maka dari itu, hakim-hakim etik yang ditunjuk Dewas harus orang-orang independen yang memang layak menyidangkan Lili,” kata Kurnia.
Di sisi lain, lanjut Kurnia, Lili pernah dijatuhi sanksi berat berupa pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama satu tahun. Oleh karena itu, apa pun jenis putusan dalam sidang etik tersebut, entah ringan, sedang, atau berat, sudah seharusnya Lili diganjar dengan hukuman berupa permintaan yang bersangkutan untuk mengundurkan diri.
Terlebih, jika kemudian sidang etik dapat membuktikan telah terjadi penerimaan tiket MotoGP 2022 tersebut, hal itu bisa bermuatan pidana, yaitu gratifikasi. Maka, selain sangat memprihatinkan karena hal itu dilanggar oleh salah satu pimpinan KPK, tidak ada pilihan lain selain menjatuhkan sanksi berupa rekomendasi pengunduran diri sebagai pimpinan KPK.