Lili Dilaporkan Memperoleh Gratifikasi Hotel dan Tiket MotoGP
Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar dilaporkan lagi ke Dewas KPK dengan dugaan menerima gratifikasi tiket MotoGP. Pengamat hukum menilai, dari gratifikasi yang diterima, dapat diduga bermotif pemenuhan individu.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI, NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Lili Pintauli Siregar kembali diadukan ke Dewan Pengawas KPK terkait dengan dugaan penerimaan gratifikasi. Lili diduga menerima gratifikasi berupa akomodasi hotel hingga tiket menonton MotoGP Mandalika dari salah satu badan usaha milik negara. Jika dugaan pelanggaran itu terbukti, Lili seharusnya dikenai sanksi berat karena melakukan pelanggaran berulang.
Anggota Dewan Pengawas (Dewas) KPK, Syamsuddin Haris, saat dikonfirmasi, Rabu (13/4/2022), membenarkan adanya laporan dugaan pelanggaran etik terhadap Lili Pintauli Siregar. ”Saat ini, Dewas KPK sedang mempelajari pengaduan tersebut sesuai dengan prosedur operasional baku yang berlaku di Dewas KPK,” ucapnya.
Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, KPK menyerahkan sepenuhnya kepada Dewas KPK terkait tindak lanjut pengaduan dugaan penerimaan gratifikasi tersebut. KPK meyakini profesionalitas Dewas KPK dalam memeriksa setiap aduan sesuai dengan ketentuan, mekanisme, dan kewenangan tugasnya yang diatur dalam Pasal 37B Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Ali juga mengajak masyarakat untuk tetap menghormati proses pemeriksaan yang sedang berlangsung itu. Nantinya, hasil pemeriksaan, apakah laporan itu terbukti atau tidak, akan disampaikan kepada publik. ”Setiap pengaduan terhadap insan KPK tentu sebagai bentuk kontrol publik terhadap pelaksanaan tugas pemberantasan korupsi,” kata Ali.
Pada 2021, Lili dilaporkan berkomunikasi dengan pihak yang perkaranya sedang ditangani KPK, yakni Wali Kota Tanjungbalai M Syahrial. Di persidangan yang dipimpin Majelis Dewan Pengawas KPK, pada Agustus 2021, Lili dinyatakan terbukti berkomunikasi dengan Syahrial dan dijatuhi sanksi pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama 12 bulan.
Tak lama kemudian, pada September 2021, Lili kembali dilaporkan ke Dewas KPK oleh sejumlah eks pegawai KPK. Ia dilaporkan atas dugaan pembohongan kepada publik karena pada jumpa pers, April 2021, ia menyangkal telah berkomunikasi dengan Syahrial. Hingga kini, laporan itu belum ditindaklanjuti Dewas KPK.
Demi kebaikan KPK, sudah seharusnya Lili Pintauli mengundurkan diri. Pelanggaran etik berulang yang dilakukan Lili dinilai membebani KPK.
Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman berpandangan, demi kebaikan KPK, sudah seharusnya Lili mengundurkan diri. Pelanggaran etik berulang yang dilakukan Lili dinilai membebani KPK.
Ini semestinya menjadi kartu kuning kedua dan ketiga bagi Lili. Kartu kuning pertama adalah putusan bersalah melanggar kode etik berhubungan dengan Wali Kota Tanjung Balai,” kata Boyamin.
Boyamin menambahkan, dugaan pelanggaran kode etik atas pemberian fasilitas VIP untuk menonton balapan MotoGP di Mandalika oleh perusahaan BUMN itu kemungkinan buktinya kuat. Sebab, Dewas KPK telah melakukan investigasi dengan surat panggilan resmi kepada pihak-pihak terkait.
MAKI meminta kepada Dewas KPK untuk segera menuntaskan proses investigasi dan melanjutkan perkara tersebut ke persidangan etik untuk memberikan kepastian hukum dan mengembalikan kepercayaan publik terhadap lembaga antirasuah itu. Jika tak segera dituntaskan, Boyamin khawatir kepercayaan publik terhadap KPK akan semakin tergerus karena pimpinannya bermasalah.
Dosen hukum pidana Universitas Trisakti, Azmi Syahputra, menambahkan, jika dugaan penerimaan gratifikasi itu benar, integritas pemimpin KPK tersebut benar-benar sudah terbeli. Sebagai insan lembaga pemberantasan korupsi, perbuatan Lili jelas bertentangan dengan penegakan kode etik dan pedoman perilaku KPK.
”Apalagi perbuatan itu tidak hanya dilihat sebagai pelanggaran etik, tetapi dapat dikategorikan sebagai tindak pidana gratifikasi karena ada unsur menyalahgunakan wewenang, kesempatan, sarana terkait jabatan atau kedudukan, serta perilaku untuk mendapatkan keuntungan pribadi,” kata Azmi.
Jika dilihat dari kacamata karakteristik gratifikasi yang diterima, perbuatan Lili disebut bermotif pemenuhan kebutuhan individu. Tujuannya lebih bersifat kepentingan pribadi, bukan untuk kepentingan publik. Namun, hal itu tetap menimbulkan kerugian baik bagi masyarakat maupun negara.
”Jika hal itu benar, ini menunjukkan bahwa Lili tidak dapat mengendalikan dirinya dan tidak patuh pada aturan. Dia harus menyadari bahwa semua sikap dan tindakannya selalu melekat dalam kapasitasnya sebagai komisioner KPK,” ujar Azmi.
Senada dengan Boyamin, Azmi juga mendorong Dewas KPK untuk segera memeriksa Lili. Jika terbukti menerima gratifikasi itu, Lili harus dihukum secara tegas dan diberi sanksi berat karena telah melanggar hukum. Tindakan pragmatis materialistis Lili bisa mencederai karakter dan nilai yang seharusnya dipegang sebagai komisioner KPK.
”Dalam hukum, apabila pelaku melakukan kejahatan berulang, sanksi yang dikenakan kepada pelaku seharusnya memuat pertimbangan yang memberatkan. Dalam kasus ini, jika Dewas KPK menemukan bukti pelanggaran, Lili seharusnya dapat dikenai sanksi penonaktifan atau pemberhentian sebagai komisioner KPK,” ucap Azmi.