Penentuan Calon Ibu Kota Papua Tengah Diserahkan kepada Kepala Daerah
”Kami tak terlalu kaku, tapi syaratnya ada surat kesepakatan bersama di antara delapan kepala daerah. Jika tak ada, kami tetap pada keputusan ibu kota Papua Tengah di Nabire,” kata Wakil Ketua Komisi II DPR Junimart.
Oleh
IQBAL BASYARI, RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Usulan calon ibu kota Provinsi Papua Tengah di Nabire ditolak oleh sebagian kepala daerah karena mereka menginginkan ibu kota provinsi ada di Timika. Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah memberikan ruang bagi delapan kepala daerah di Provinsi Papua Tengah untuk memutuskan lokasi ibu kota dan merumuskan hasilnya secara tertulis.
Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Junimart Girsang di Jakarta, Senin (27/6/2022), mengatakan, usulan dari Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Pemekaran Papua yang memutuskan ibu kota Provinsi Papua Tengah di Nabire ditolak oleh sebagian kepala daerah yang ada di provinsi tersebut.
Beberapa mengusulkan ibu kota Papua Tengah agar berada di Timika karena dianggap sebagai kabupaten penggerak perekonomian dan sudah sangat siap menjadi ibu kota provinsi. Mereka bahkan memperingatkan akan terjadi gesekan dan gangguan kondusivitas jika ibu kota Papua Tengah tetap di Nabire.
Namun, usulan itu tidak langsung disetujui oleh Komisi II DPR. Delapan kepala daerah yang ada di wilayah Papua Tengah diminta berkumpul untuk melakukan musyawarah mufakat dalam menentukan lokasi ibu kota. Hasil kesepakatan semua kepala daerah tersebut diberikan secara tertulis sebelum rapat pengambilan keputusan tingkat I yang dijadwalkan pada Selasa (28/6).
”Kami tidak terlalu kaku, tetapi syaratnya ada surat kesepakatan bersama di antara delapan kepala daerah. Jika tidak ada, kami tetap pada keputusan semua ibu kota Papua Tengah di Nabire,” ujar Junimart.
Sementara itu, penentuan dua calon ibu kota provinsi di dua Daerah Otonom Baru (DOB) Papua lainnya tidak mendapatkan penolakan. Ibu kota Papua Selatan berada di Merauke, sementara ibu kota Papua Pegunungan berada di Wamena. Penentuan ibu kota provinsi itu dilakukan berdasarkan pertimbangan geografis dan medan yang mudah dijangkau dari seluruh kabupaten/kota di provinsi tersebut.
Penolakan kali ini sama seperti yang terjadi pada pemekaran Papua pada 1999. Provinsi Papua Tengah hingga kini belum berdiri meskipun sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong. Kegagalan kala itu salah satunya karena konflik penentuan ibu kota antara Timika dan Biak yang tak kunjung menemukan konsensus.
Junimart menuturkan, pemberdayaan orang asli Papua (OAP) menjadi perhatian utama dalam pemekaran tiga DOB Papua tersebut. Mereka diutamakan untuk berpartisipasi dalam pemerataan pembangunan menuju masyarakat Papua yang sejahtera. Oleh sebab itu, segala usulan dan permasalahan dalam pembentukan tiga DOB Papua terus melibatkan kepala daerah yang bersangkutan yang nantinya akan mengimplementasikan UU ini.
Selain itu, OAP akan diutamakan dalam penyiapan sumber daya manusia. Komisi II DPR juga akan mengadakan rapat dengar pendapat dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi serta lembaga terkait untuk membahas hal ini. Akan ada keistimewaan bagi OAP, terutama bagi aparatur sipil negara, tenaga honorer, dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja untuk berpartisipasi dalam pemerintahan.
”Mungkin nanti akan ada prerogatif terkait usia yang maksimalnya tidak 35 tahun, tetapi bisa 40 tahun, agar OAP bisa berkontribusi membangun daerah,” ujar Junimart.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI-P, Komarudin Watubun, menambahkan, partisipasi masyarakat, terutama OAP, akan ditingkatkan ke tiga DOB Papua tersebut. Ia berharap partisipasi OAP dalam bidang politik, ekonomi, dan bidang lainnya. ”Apalagi otonomi khusus Papua menekankan prioritas untuk OAP,” katanya.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman mengatakan, pembahasan tiga RUU DOB Papua yang berlanjut ini menunjukkan pemerintah pusat inkonsisten dengan wacana pemekaran daerah, terutama di Papua. Sebab, kebijakan moratorium pemekaran daerah belum dicabut oleh pemerintah, tetapi pemekaran terus berlanjut di Papua.
”Kenapa kami menyebut inkonsisten, karena sebetulnya di dalam moratorium itu ada justifikasi konstitusional dari pemekaran daerah selama ini. Artinya, kita butuh evaluasi sistematis terkait daerah-daerah otonom baru setelah Reformasi dan otonomi daerah,” kata Herman.
Dengan moratorium ini, pemerintah akan memiliki kesempatan untuk melakukan evaluasi terkait dengan pemekaran daerah, apakah betul proses itu mempercepat kesejahteraan masyarakat atau ada hal-hal lain yang dapat dilakukan oleh pemerintah tanpa melakukan pemekaran. Namun, sebelum mekanisme evaluasi ini dijalankan di Papua, DPR dan pemerintah telah memutuskan untuk melakukan pemekaran Papua.
”Ini yang belum dijawab tuntas oleh pemerintah pusat. Apakah benar pemekaran itu dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua,” ujarnya.
Terkait dengan pemekaran Papua yang mendasarkan pada alasan amanat UU Otonomi Khusus, menurut Herman, dapat saja hal itu menjadi justifikasi legalistik. Namun, di dalam implementasi UU Otsus itu, tentu harus tetap dipertimbangkan dengan konteks adanya moratorium pemekaran daerah sebelumnya. Apakah dengan pemekaran itu, maka daya saing, pelayakan publik, dan kesejahteraan rakyat benar-benar dapat ditingkatkan.
”Artinya, ini ada proses pertimbangan dan evaluasi yang belum dilewati, tetapi tidak dijalani, dan langsung masuk ke dalam pembahasan RUU,” katanya.
Pembahasan tiga RUU DOB Papua tersebut, menurut Herman, tidak sepenuhnya berbasis bukti, data, dan aspirasi, serta menjawab tuntas mengenai apa yang menjadi kebutuhan masyarakat setempat. ”Apa gunanya turun ke daerah dan meminta pandangan MRP dan DPRP kalau ada komitmen di depan bahwa DOB ini harus jalan. Ini yang menurut kami, proses ini perlu dipikirkan ulang,” kata Herman.