Melakukan pemekaran wilayah di daerah konflik dinilai bukanlah perkara yang mudah. Oleh karena itu, kebijakan tersebut seharusnya ditimbang secara komprehensif dengan waktu yang leluasa.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pemekaran tiga provinsi, yaitu Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Selatan, diperkirakan akan berjalan mulus di DPR. Setelah menggelar rapat di Jayapura, Sabtu (25/6/2022), Panitia Kerja (Panja) Komisi II mengklaim semua kepala daerah di Papua menerima rencana pemekaran tersebut.
Panja Komisi II secara maraton menggelar rapat bersama kepala daerah, DPRD, perwakilan tokoh, dan Majelis Rakyat Papua (MRP) di Jayapura, Papua, Sabtu (25/6/2022). Rapat digelar seusai pembahasan tiga Rancangan Undang-Undang Daerah Otonom Baru (DOB) Papua memasuki tahap akhir. Draf RUU sudah masuk dalam kajian tim perumus dan tim sinkronisasi pada Kamis (23/6/2022).
Setelah kunjungan kerja ke Papua selesai, Minggu (26/6/2022), Panja RUU DOB akan melanjutkan finalisasi pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM). Panja menargetkan keputusan tingkat I dapat diambil pada Rabu. Setelah perumusan dan sinkronisasi tuntas, draf tiga RUU DOB Papua itu akan diajukan ke rapat paripurna pada 30 Juni nanti.
Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP) Adriana Elisabeth, saat dihubungi, Minggu, mengatakan, sejak awal kebijakan pemekaran wilayah adalah untuk mengakomodasi kepentingan elite, baik itu elite Papua maupun pemerintah pusat. Oleh karena itu, dapat dipastikan rapat yang melibatkan elite akan menyetujui usulan tersebut.
KOMPAS/FABIO COSTA
Anggota Tim Kajian Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adriana Elisabeth.
Namun, dia meragukan apakah apakah suara elite di Papua itu dapat merepresentasikan seluruh kelompok kepentingan di Papua. Menurut dia, bisa dipastikan riak-riak penolakan terhadap kebijakan tersebut akan muncul setelah itu. Terlebih, penyusunan RUU DOB dibahas secara kilat di DPR.
”Sejak kemarin kita sudah mendengar ada riak-riak itu. Mulai dari Kabupaten Pegunungan Bintang yang tidak mau masuk ke wilayah DOB Provinsi Papua Pegunungan Tengah. Selain itu, juga ada pernyataan dari Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) yang menyatakan siap perang jika pemekaran wilayah tetap dilakukan,” kata Adriana.
Adriana menambahkan, kebijakan pemekaran wilayah sejak awal dikritik bukanlah solusi komprehensif untuk mengurai benang kusut masalah di Papua. Walaupun diklaim untuk pemerataan pembangunan, kebijakan itu hanya berorientasi jangka pendek. Ini dinilai hanya merupakan strategi politik untuk bagi-bagi kue kekuasaan di daerah dan strategi pemenangan pilkada.
Adapun substansi masalah sebenarnya di Papua, yaitu penyelesaian konflik bersenjata, penegakan hukum dugaan pelanggaran HAM berat, serta mengembalikan kepercayaan masyarakat Papua terhadap pemerintah pusat nyaris tak tersentuh.
”Masalah-masalah lama belum tuntas, sudah ditambah dengan potensi permasalahan yang baru,” kata Adriana.
Adriana menerangkan, melakukan pemekaran wilayah di daerah konflik bukanlah perkara yang mudah. Oleh karena itu, kebijakan tersebut seharusnya ditimbang secara komprehensif dengan waktu yang leluasa. Namun, dalam hal ini, revisi UU Otsus Papua yang dilanjutkan dengan RUU DOB sama-sama dibahas dalam waktu yang singkat. Dengan singkatnya waktu itu, dipastikan tidak ada partisipasi bermakna dan pertimbangan yang komprehensif terkait pemekaran wilayah.
”Melakukan pemekaran wilayah di daerah konflik itu tidak mudah, harus dihitung dampak positif dan negatifnya, termasuk potensi konflik sumber daya alam yang memang sudah terjadi lama di Papua. Ini justru bisa menambah kompleksitas permasalahan di Papua apabila dilakukan secara cepat tanpa kajian dan partisipasi masyarakat yang bermakna,” kata Adriana.
Setuju
FABIO MARIA LOPES COSTA
Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat RI Ahmad Doli Kurnia, di Jayapura, Papua, Sabtu (25/6/2022).
Sebelumnya, Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung menyatakan, semua kepala daerah di Papua menerima rencana pemekaran tiga provinsi, yaitu Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Selatan. Syaratnya, kepala daerah di tiga daerah yang dimekarkan meminta jaminan terhadap perlindungan hak asli orang Papua akibat dampak DOB.
Misalnya, kuota OAP dalam penerimaan aparatur sipil negara (ASN). Selain itu, masalah lainnya yang muncul di rapat adalah penentuan ibu kota Papua Tengah, antara Nabire atau Timika. Pernyataan disampaikan seusai rapat panja bersama kepala daerah, DPRD, perwakilan tokoh, dan MRP di Jayapura, Sabtu (Kompas.id, 25/6/2022).
KEMENKO POLHUKAM
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menerima pimpinan Majelis Rakyat Papua-Ketua MRP Timotius Murib (kedua dari kanan) serta Wakil Ketua MRP Yoel Luiz Mulait dan Direktur Amnesty International Usman Hamid, Jumat (15/4/2022).
Sementara itu, Wakil Ketua I Majelis Rakyat Papua (MRP) Yoel Luiz Mulait mengatakan, MRP berharap pembahasan RUU DOB tidak tergesa-gesa. MRP meminta pembentuk UU untuk menunggu putusan uji materi revisi UU Otsus Papua yang sedang berproses di MK. Salah satu pasal yang diuji konstitusionalitasnya adalah Pasal 76 Ayat (2). Pasal itu mengatur pemekaran wilayah di Papua dapat dilakukan oleh pemerintah dan DPR tanpa meminta pertimbangan dari MRP. Ini berbeda dengan ketentuan di UU Otsus lama yang menyatakan pemekaran harus meminta pertimbangan dari MRP.
”MRP tidak dalam posisi menolak atau menerima pemekaran tiga DOB tersebut. Kami meminta pemerintah dan DPR menunggu putusan MK agar ada kepastian hukum,” terang Yoel.
Permasalahan utama
TANGKAPAN LAYAR
Wakil Ketua Komte I DPD dari Papua Barat, Filep Wamafma, ketika menjadi pembicara pada Diskusi Pemekaran Papua Dalam Perspektif iIlmu Pemerintahan yang digelar Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Sabtu (18/6/2022).
Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Komite I DPD Filep Wamafma menuturkan, kebijakan pemekaran daerah diharapkan membawa dampak positif bagi OAP. Niat baik itu perlu diapresiasi. Namun, DPD juga ingin menguji apakah pemekaran tersebut benar-benar bisa bermanfaat secara positif bagi masyarakat Papua atau justru sebaliknya.
Permasalahan yang dia tekankan adalah karena OAP menjadi kelompok minoritas secara etnis dan populasi di Papua. Muncul kekhawatiran di antara OAP, pemekaran wilayah justru akan membuat OAP semakin termarjinalkan, tersisih, karena munculnya pendatang dari luar daerah.
”Apa pun kebijakan pemerintah pusat terhadap Papua, pemerintah harus memiliki pandangan yaitu menghargai dan menghormati orang Papua. Jangan lupa, pemerintah juga harus memberikan kesejahteraan dan jaminan kehidupan berdemokrasi, masyarakat Papua tidak boleh dihantui oleh masalah yang tidak tuntas diselesaikan (penyelesaian konflik bersenjata dan penuntasan dugaan kasus HAM berat),” ucap Filep.
Filep menambahkan, kebijakan pemekaran Papua dalam konteks pembangunan sah-sah saja jika memang niat pemerintah ingin mempercepat pembangunan dan meningkatkan pelayanan di Papua. Namun, menurut dia, hal itu tidak akan menyentuh substansi persoalan utama yang dihadapi Papua, yaitu penyelesaian dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu serta rekonsiliasi nasional terkait sejarah politik penyatuan Papua dengan NKRI. Persoalan utama itu jika tak dituntaskan bisa menjadi bom waktu yang subur tertanam dalam generasi muda Papua.
”Sebagai senator kami berharap pemerintah paham dengan karakteristik wilayah Papua, terutama masalah politik yang sampai saat ini belum tuntas. Pemekaran boleh dilakukan, tapi jangan lupakan masalah mendasar, yaitu pemenuhan hak sipil, politik, dan ekosob (ekonomi, sosial, dan budaya). Ini penting untuk memastikan kebijakan benar-benar menjawab substansi persoalan di Papua,” terang Filep.