Problem Pemekaran Papua pada 1999 Perlu Diantisipasi
Pada 1999, Papua pernah dimekarkan menjadi tiga provinsi, yakni menambah Papua Barat dan Papua Tengah. Namun, implementasi Papua Barat tertunda empat tahun. Adapun Papua Tengah belum terbentuk hingga kini karena konflik.
Oleh
IQBAL BASYARI, RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tertundanya implementasi pembentukan Provinsi Papua Barat dan Papua Tengah pada 1999 harus diantisipasi oleh pembentuk undang-undang. Aturan turunan berikut anggaran, persiapan infrastruktur, dan sumber daya untuk provinsi baru mesti disiapkan setelah UU disahkan.
Saat ini, Dewan Perwakilan Rakyat membahas tiga Rancangan Undang-Undang Daerah Otonom Baru (DOB) Papua, yakni RUU Pembentukan Provinsi Papua Selatan, RUU Pembentukan Papua Pegunungan, dan RUU Pembentukan Papua Tengah. Ketiga RUU ini ditargetkan selesai pada 30 Juni 2022 untuk mengejar pencairan anggaran transfer ke daerah (TKD) dapat diberikan kepada masing-masing DOB. Target ini disesuaikan dengan ketentuan di dalam Pasal 137 UU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah yang mengatur tentang TKD bagi daerah baru.
Pemekaran provinsi di Papua bukan kali pertama dilakukan. Pada 1999, Provinsi Papua pernah dimekarkan menjadi tiga provinsi, yakni menambah Provinsi Papua Barat dan Papua Tengah. Dasar hukum yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong.
Sekalipun UU No 45/1999 disahkan pada 1999, baru tahun 2003 provinsi definitif Papua Barat terbentuk. Adapun Provinsi Papua Tengah yang juga telah ditetapkan tahun 1999 sampai saat ini belum pernah terbentuk secara definitif. Konflik horizontal dalam penentuan ibu kota provinsi menjadi salah satu sebab gagalnya pembentukan Provinsi Papua Tengah kala itu. Elite politik tak menemukan konsensus dalam menentukan ibu kota provinsi antara Timika dan Biak (Kompas, 25/6).
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Nasdem Saan Mustopa, yang dihubungi dari Jakarta, Sabtu (25/6/2022), mengatakan, pembentukan tiga daerah otonom baru (DOB) di Papua membutuhkan komitmen seluruh pihak agar bisa segera diimplementasikan. Setelah UU disahkan, pemerintah mesti segera membentuk aturan turunan dan menyiapkan seluruh prasyarat seperti anggaran, infrastruktur, dan sumber daya sebagai persiapan pembentukan pemerintahan di tiga provinsi tersebut.
Hal ini diperlukan untuk mencegah tertundanya implementasi DOB Papua seperti pada UU No 45/1999 terulang. Komitmen semua pihak pun sangat penting, mulai dari pemerintah pusat, DPR, pemda, hingga semua kelompok kepentingan di Papua. Saan pun menyebut dari dialog dengan berbagai kelompok kepentingan di Papua mayoritas memberikan dukungan atas pemekaran ini.
”Kalau dilihat dari komitmen pemda di Papua mulai dari provinsi, kabupaten, dan kota, mereka semua sudah berkomitmen, bukan hanya setuju pemekaran, tetapi akan merealisasikan,” ujarnya.
Sementara penentuan ibu kota provinsi, lanjut Saan, akan diputuskan setelah mendengar masukan dari kabupaten/kota di provinsi yang baru. Ibu kota provinsi dipilih di tempat yang paling bisa menjembatani seluruh masyarakat di kabupaten/kota dalam provinsi tersebut.
Anggota Panitia Kerja RUU DOB Papua DPR Guspardi Gaus mengatakan, pemekaran Papua tidak dilakukan terburu-buru. Komisi II DPR telah beberapa kali mendapatkan masukan dan usulan pemekaran dari masyarakat Papua. ”Sebetulnya pembahasan ini sudah lama sekali. Sejak di Komisi II DPR, kami menerima banyak usulan pemekaran. Lalu dibahas dulu tentang revisi Otsus Papua,” kata anggota Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) ini.
Di dalam UU Otsus Papua, pemekaran daerah ini bersifat khusus karena sebenarnya saat ini masih berlaku moratorium pemekaran wilayah. Pemerintah belum mencabut moratorium tersebut. Namun, karena UU Otsus Papua merupakan UU yang bersifat khusus (lex specialis), maka dikecualikan dari wilayah Papua.
UU Otsus Papua memberikan ruang pemekaran, dan pemekaran wilayah di Papua itu menjadi amanat UU Otsus Papua. Sejalan dengan banyaknya aspirasi yang diterima oleh Komisi II DPR dalam pemekaran Papua, Komisi II DPR kemudian berinisiatif menjadi pengusul tiga RUU DOB Papua.
”Kalau terkesan cepat pembahasannya, itu karena kami dari awal sudah mempersiapkannya. Maksudnya salah satunya agar anggaran cepat keluar,” katanya.
Guspardi mengatakan, sesuai dengan UU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah, daerah baru yang dibentuk sebelum atau pada 30 Juni, dana TKD dapat dicairkan langsung ke daerah bersangkutan pada tahun anggaran berikutnya. Sebaliknya, jika daerah baru itu dibentuk setelah 30 Juni, TKD itu dicairkan dengan perhitungan proporsional dana TKD dari daerah induk. Dengan pertimbangan pencairan dana TKD itu, Komisi II DPR dan pemerintah sepakat untuk menuntaskan pembahasan pada 30 Juni 2022.