Jadikan Pemekaran Papua di Masa Lalu sebagai Pelajaran
Kondisi saat pembahasan tiga DOB di Papua kali ini dinilai lebih kurang sama dengan pemekaran Papua pada 1999. Pemekaran Provinsi Papua menjadi Papua Barat dan Papua Tengah dinilai penuh pro dan kontra.
Oleh
IQBAL BASYARI, PRAYOGI DWI SULISTYO
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemekaran provinsi dan kabupaten di Papua di masa lalu harus dijadikan pelajaran bagi pemekaran tiga daerah otonom baru di Papua yang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat. Konsensus mesti diutamakan agar kegagalan pembentukan Provinsi Papua Tengah pada 1999 tidak terulang kembali dan tujuan kesejahteraan bisa dicapai.
Pembahasan tiga Rancangan Undang-Undang Daerah Otonom Baru Papua Telah memasuki tahap akhir setelah draf RUU masuk dalam kajian tim perumus dan tim sinkronisasi. Setelah kerja perumusan dan sinkronisasi tuntas, draf tiga RUU DOB Papua yang terdiri dari RUU Papua Tengah, RUU Papua Pegunungan, dan RUU Papua Selatan itu akan diajukan ke rapat paripurna, 30 Juni 2022.
Sekretaris Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada Arie Ruhyanto, dihubungi dari Jakarta, Jumat (24/6/2022), mengatakan, kondisi saat pembahasan tiga DOB kali ini lebih kurang sama dengan pemekaran Papua pada 1999. Ketika memekarkan Provinsi Papua menjadi Papua Barat dan Papua Tengah, situasinya penuh kontroversi dengan ada kubu yang mendukung dan menolak.
Namun, pembuat UU tetap melanjutkan pembahasan sekalipun uji materi di Mahkamah Konstitusi saat ini masih berlangsung. Sekalipun landasan hukum telah dibuat, dari dua DOB yang harusnya dibentuk saat itu, pembentukan Provinsi Papua Barat tertunda hingga 2003, sedangkan Provinsi Papua Tengah tidak berdiri sampai sekarang. Hal tersebut mesti diantisipasi oleh pemerintah dan DPR agar implementasi pemekaran di tiga provinsi bisa berlanjut.
Dari kasus Provinsi Papua Tengah, salah satu penyebab gagalnya pembentukan daerah tersebut karena konflik horizontal dalam penentuan ibu kota provinsi. Elite politik tidak mampu menemukan konsensus dalam menentukan ibu kota provinsi antara Timika atau Biak. Sementara di Papua Barat, konsensus menemukan kesepakatan untuk memilih Manokwari sebagai ibu kota provinsi.
”Berkaca dari kasus itu, minimal ada konsensus di level elite di level ibu kota, terutama Papua Tengah. Konsensus dicari oleh minimal semua bupati di Papua Tengah. Kalau Papua Selatan dan Papua Pegunungan relatif tidak ada pesaing ibu kota,” kata Arie.
Selain masalah penentuan ibu kota, lanjutnya, potensi konflik vertikal antara Jakarta dan Papua juga harus diantisipasi. Sekalipun Kementerian Dalam Negeri bisa meyakinkan Gubernur Papua Lukas Enembe, kelompok kontra lainnya belum tentu mengikuti pilihan politik Lukas. Gejolak konflik kemungkinan masih ada meski kekuatannya berkurang.
Arie menilai, pemekaran Papua kali ini yang pembahasannya sangat cepat banyak didorong oleh kepentingan teknokratis administratif. Padahal, Papua berbeda dengan daerah lain di Indonesia sehingga seharusnya memiliki perspektif pembangunan perdamaian. Jika perspektif pembangunan perdamaian tak diutamakan, negara akan terus dihadapkan pada konflik yang tak berakhir.
”Mau diberi anggaran berapa banyak, mau dibentuk kabupaten berapa banyak, kalau tidak dijadikan sebagai instrumen politik perdamaian masalahnya akan terus berulang,” ujarnya.
Sementara dalam pemekaran daerah di level kabupaten, pemerintah pusat bersama dengan Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Kabupaten Jayawijaya mulai melakukan pemekaran wilayah pertama kali pada 2002. Pemekaran kabupaten dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2002 dengan membentuk tiga kabupaten baru, yaitu Tolikara, Pegunungan Bintang, dan Yahukimo.
Pemekaran kabupaten kedua dilakukan pada 2008, yaitu pemekaran dari wilayah Kabupaten Jayawijaya dan sebagian wilayah kabupaten pemekaran pertama. Empat kabupaten baru dimekarkan, yakni Memberamo Tengah, Yalimo, Lanny Jaya, dan Nduga. Satu daerah yang akan dimekarkan dari Kabupaten Jayawijaya membuat kotamadya, yakni Lembah Baliem.
Menurut Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Herman Nurcahyadi Suparman, pemekaran yang dilakukan pemerintah di Papua tidak menjamin bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua.
Ketidakefektifan dari pemekaran tersebut terlihat dari data pengukuran daya saing daerah berkelanjutan yang dibuat KPPOD pada 2020.
Pada tahun tersebut, KPPOD mengukur daya saing daerah di semua kabupaten, termasuk di Papua. Permasalahannya, banyak kabupaten di Papua dan Papua Barat yang ketersediaan datanya sangat kurang sehingga tidak disertakan dalam pengukuran.
Meskipun demikian, dari hasil data yang dikompositkan, kabupaten induk, yakni Jayawijaya, memiliki daya saing yang sangat rendah, terutama pilar ekonomi tangguh, sosial, dan tata kelola. Sisi ekonomi tangguh terkait dengan daya dukung ekonomi dan ekosistem investasi. Kemampuan keuangan daerah atau tingkat kemandirian daerah di Jayawijaya masih rendah. Sementara pilar sosial terkait dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), seperti harapan anak sekolah.
Situasi semakin memprihatinkan terjadi pada daerah hasil pemekaran. KPPOD menggunakan indikator tingkat kemandirian fiskal untuk mengukur kinerja keberhasilan dari hasil pemekaran. Dari data yang dihimpun KPPOD, daerah hasil pemekaran dari Jayawijaya belum bergerak dari posisi belum mandiri untuk kemampuan keuangan daerah sejak 2013 sampai 2019.
”(Mereka) sangat bergantung pada dana perimbangan dari pemerintah pusat,” kata Herman. Adapun level yang dibuat KPPOD untuk mengukur kemampuan keuangan daerah yakni belum mandiri berada di tingkat paling bawah, lalu menuju mandiri, mandiri, dan sangat mandiri.
Dari pilar sosial terkait keunggulan sumber daya manusia, harapan sekolah di daerah pemekaran tersebut juga memprihatinkan. Ia menegaskan, harapan sekolah di daerah tersebut hanya sampai tingkat sekolah dasar dan sedikit yang ke sekolah menengah pertama. Pemekaran di tingkat provinsi dinilai Herman juga gagal. IPM serta standar pelayanan publik Papua dan Papua Barat berada di urutan paling bawah.
Herman menegaskan, pemekaran tidak menjamin atau tidak efektif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua. Namun, kalau jalan pemekaran diambil, maka pembinaan dan pengawasan dari pemerintah pusat harus dilakukan. Selain itu, butuh asistensi teknis yang lebih sistematis dari pemerintah pusat terhadap daerah pemekaran di Papua.
Ia menyesalkan di Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, tidak mengenal daerah persiapan. Padahal, di dalam UU No 23/2014 tentang Pemerintah Daerah harus ada daerah persiapan selama tiga tahun sebelum menjadi daerah otonomi baru.
Peneliti Senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta, Vidhyandika Djati Perkasa, mengatakan, legitimasi pemekaran daerah di Papua sering kali lemah karena minimnya konsultasi publik. Meskipun pemerintah mengklaim sudah berdialog dengan orang papua, permasalahan representasi kelompok ataupun adat selalu menjadi masalah. Di sisi lain, selama ini belum ada daerah pemekaran di Papua yang dianggap berhasil. Masyarakat juga selalu skeptis dengan usulan pemekaran karena tidak ada bukti ilmiah keberhasilan pemekaran.
Oleh sebab itu, lanjutnya, pemekaran mesti disertai pembangunan kepercayaan antara orang asli Papua dengan pemerintah, jaminan tidak terjadinya pelanggaran HAM, penyiapan kapasitas sumber daya manusia, dan infrastruktur. ”Perlu ada langkah afirmasi kepada OAP (orang asli Papua), jangan biarkan OAP berkompetisi dengan pendatang dengan memberikan kuota khusus seperti dalam perwakilan di DPRD,” ujar Vidhyandika.
Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Bahtiar menegaskan, proses pembahasan Otonomi Khusus dan pemekaran Papua sudah dibahas sejak Juli 2021. ”Jadi proses ini sebenarnya sudah satu tahun menjaring masukan dari berbagai elemen masyarakat sejak disahkannya UU Nomor 2 tahun 2021 tentang Otsus Papua,” katanya.